"Woi asistant! Enak lu ya jam segini masih molor! Buruan bangun! Jangan sampai gue telat gegara lo!"
Reflek, Bambang menarik guling di sampingnya, dan menggunakannya untuk menutupi wajahnya.
Bugh!
Bambang langsung mengaduh kesakitan saat manusia tanpa akhlak bernama Dudung yang sayangnya adalah abangnya itu, mendorongnya hingga jatuh dari kasur.
"Gila lo, Bang!" pekik Bambang tak terima.
"Lo yang gila! Ke mana pikiran lo? Gue harus sampai ke gedung Ullim tiga puluh menit lagi, dan lo belum nyiapin keperluan gue, peak!"
Bambang langsung berteriak frustrasi.
Salahkan dirinya yang rela menjadi asistant pribadi Dudung selama tiga hari hanya untuk memberikan kado tiket konser pada Savina tempo hari.
"Buruan! Gue tunggu dibawah! Jangan lupa siapin semua perlengkapan gue!"
"Njir, lo bukan artis terkenal! Lagak lo! Apa aja sih yang harus dipersiapin buat lo?"
Dudung langsung menimpuk Bambang menggunakan bantal.
"Siapa bilang gue gak terkenal? Lo gak tahu sebanyak apa Govers?!" seru Dudung tak terima.
Bambang menghela napas berat, lalu segera beranjak menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, pria itu langsung turun ke bawah dan menemui Mbak Siti-- asistant pribadi Dudung yang harus ia gantikan selama tiga hari.
"Mbak, emang apa aja sih yang harus di siapin buat Dudung?" tanya Bambang malas.
Mbak Siti menoleh ke arah Bambang, dan tersenyum tipis.
"Minuman, kotak obat, handsanitizer, kotak masker, baju, buku catatan warna hitam, sama beberapa anduk kecil aja kok. Gak banyak!" terang Mbak Siti.
"Buku apaan? Diary?"
"Bukan, buku catatan not keyboard-nya dia. Kamu tahulah, abangmu itu pelupa."
Bambang merengut, ia lalu berjalan enggan ke arah kamar Dudung, dan menyiapkan semua yang abangnya itu butuhkan.
Setelah mengemasnya dengan asal di tas jinjing yang cukup besar, Bambang pun membawanya turun menuju mobil.
"Kerja gitu doang lelet amat lo!" cibir Dudung begitu Bambang masuk ke dalam mobil.
"Diem lo! Lagian, sok ngartis banget lo pakai bawa beginian segala! Bukannya harusnya udah di sediain staff agensi lo?!" protes Bambang.
"Gue lebih nyaman pakai barang pribadi gue, daripada yang mereka kasih. Bawel lo! Mana vitamin gue, mau gue minum sekarang!"
Bambang menghela napas, meski kesal, ia pun menuruti kemauan Dudung, dan mengambil kotak obat dari dalam tas.
"Nih, ambil sendiri!" Bambang melemparkan kotak tersebut pada abangnya.
Dudung menggaruk kasar rambutnya, setelah membuka kotak yang Bambang berikan.
Entah Bambang tidak tahu, atau dia sengaja mengerjai Dudung. Kotak itu berisi satu botol betadine, alkohol, perban, perekat dan beberapa benda lainnya.
"Kerja yang bener dong lo! Gue minta vitamin! Kenapa jadi betadine? Wah, bisa naek tensi gue lama-lama!"
Bambang melirik cepat kotak di tangan Dudung.
Sial! Dia mengambil kotak yang salah.
"Coba lo keluarin buku hitam gue!" perintah Dudung lagi.
Bukannya apa, ia curiga Bambang mengambil buku yang salah. Jangan sampai pekerjaannya kacau karena Bambang yang tidak becus mengurusi keperluannya.
Bambang pun mengeluarkan buku catatan bersampul hitam dari dalam tas.
Buru-buru Dudung memeriksanya.
"Udah gue duga, lo pasti salah lagi! Bego! Ini buku PR! Gue butuh catatan not keyboard gue, peak!"
"Wah, kampret! Siapa suruh buku lo item semua sampulnya!" sentak Bambang lalu bergegas turun dari mobil dan kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil buku dan kotak obat.
***
Bambang terdiam di sudut ruangan sambil mendengarkan lagu dengan earphone-nya.
Sejujurnya ia sama sekali tidak tertarik dengan karir abangnya. Ayolah, apa bagusnya menjadi anggota Band?
"Sialan!" umpat satu-satunya member perempuan di GPS.
"Apaan lagi sih, Ten?" sahut Ujang, sang basis paling konyol di GPS.
"Gue nggak ngerti ya, apa yang ada di pikiran Govers? Bisa-bisanya mereka pasang-pasangin gue sama kalian! Ya walaupun gue satu-satunya cewek di GPS, gue gak mau juga kali sama kalian! Merinding gue!" cerita Sinten-- sang drummer GPS.
"Weh weeeh, tunggu dulu, Mbak Sinten! Emangnya kita kenape? Itu di luaran sana, cewek-cewek pada tergila-gila gitu sama kita! Lah elo malah ngamuk kalo di jodoh-jodohin sama kita! Kurang apa kita ini di mata elo, ha???" protes Johan.
Sinten merengut kesal, dan menatap tajam mata Johan.
"Menurut lo aja deh, Jo! Lo cowok narsis yang sok ganteng, Ujang saking konyolnya, kek orang bego! Dudung kek triplek berjalan. Sandi? Kulkas dua pintu aja masih kalah dingin dari dia. Apa sih yang diliat mereka dari lo pada?" gerutu Sinten.
"Gue kagak bego! IQ gue 180, njir!" protes Ujang.
Mati-matian Bambang berusaha menahan tawanya. Yah, kalau dipikir-pikir, kasihan juga si Sinten. Dia harus terjebak bersama empat pria menyebalkan dengan puluhan ribu fans yang bucinnya ngalah-ngalahin emaknya yang bucin pemain sinetron kejar tayang yang tiap hari nongol di tv.
"Gini-gini gue punya abs!" Dudung langsung melepas kaosnya dan menunjukkan perutnya pada Sinten.
Sayangnya, Sinten sudah terlalu biasa dengan kelakuan para pria di band-nya itu, hingga ia sama sekali tidak terkejut ataupun tertarik dengan perut kotak Dudung.
Sinten menggeleng jengah, ia lalu menoleh ke arah Bambang dan menatap pria itu tajam.
"Heh, lo asisten Dudung! Besok-besok, jangan lupa beliin dia deodorant! Bauk!"
Setelah mengatakan itu, Sinten pun berlalu meninggalkan studio. Sementara Dudung sendiri langsung mengoceh panjang lebar.
"Itu anak kenapa coba? Mood-nya susah banget ditebak!" gumam Johan sambil mengetuk-ngetukan stick drumb di meja.
"Ini tanggal 20!" sahut Sandi sambil memainkan ponselnya.
"Weh iya. Tanggal 20 kan bulanannya si Sinten. Pantes aja dia ngamuk mulu dari pagi! Gak ngerti lagi, gue! Semua cewek kayak gitu, apa si Sinten doang sih?" samber Ujang.
Dudung menggeleng pelan.
"Mbang, temen cewek lo yang lo kasih tiket itu, siapa namanya?" tanya Dudung tiba-tiba.
"Savina." sahut Bambang dengan raut wajah datar.
"Dia gitu juga gak, kalau lagi bulanan?"
Dudung pasti gila karena menanyakan itu.
Bukan hanya ngamuk, Savina bisa berubah seperti emak-emak yang tupperware-nya dipecahkan anaknya tiap akhir bulan. Itu sebabnya Bambang sendiri sering membolos sekolah tiap akhir bulan.
Tapi, berhubung Bambang adalah teman yang lumayan baik, dia menutupi aib Savina. Terlebih gadis itu kini sangat menggilai GPS.
"Dia kalau bulanan, jadi kalem, manis, gak banyak omong, dan suka menolong." jawab Bambang sambil menahan tawa.
"Yakin, lo?" tanya Dudung tak percaya.
"Ya iyalah yakin!"
"Guys! Kita rekrut aja si Savina! Biar adem terus band kita!" celetuk Ujang, yang langsung di sambut dengan jitakan manja dari Johan.
"Bener kata Sinten! Ujang itu bego!" seru Johan sambil memukul-mukulkan pelan stick drumb yang sedari tadi ia pegang, di lengan Ujang.
"Njir, IQ gue 180!"