Chereads / Antara Cinta dan Nafsu / Chapter 2 - JACKSON

Chapter 2 - JACKSON

Perutku melilit saat kenyataan menghantamku. Seseorang berada di tempat tidur bersamaku. Aku tidur dengan seseorang yang aku tidak kenali. Dan aku mabuk kemarin malam di Jakarta sehingga aku tidur dengan laki-laki yang tidak aku kenali.

Mengabaikan rasa sakit di kepalaku, aku melompat dari tempat tidur dan menarik selimut denganku. Aku meraba-raba, mencari lampu dan menyalakannya. Aku menyipitkan mata saat rasa sakit menembus pelipis ku, dan aku tersentak saat mengenali pria yang berbaring di tempat tidur di sampingku. Tidak terlihat kesal dan keget sama sekali, Jackson menarik dirinya ke posisi duduk dan sembari tersenyum padaku.

"Bukan orang asing," katanya, memberi tahu ku bahwa aku telah mengutarakan pikiran ku dengan keras. "Bagaimana perasaanmu, sayang?"

"Apa yang kamu lakukan disini?"

"Sampai beberapa saat yang lalu, aku sedang tidur. Kamu membutuhkan air putih untuk menyegarkan tubuhmu. Biar aku yang ambilkan untukmu."

"Jangan repot-repot. Maksudku, bagaimana kau bisa naik ke tempat tidurku?"

Dia menyeringai, mengangkat satu tangan ke dadanya dan bersandar ke belakang dengan tangan di bawah kepalanya. Dia tampak dangat tampan dan terlalu nyaman untuk situasi ini.

"Karena ini kamarku, kamu yang ada di tempat tidurku."

Aku melihat sekeliling, ternyata dia benar.

"Apa yang telah terjadi?"

"Aku pikir itu sudah jelas." Dia menunjukkan bungkus kondom yang robek. "Kami berhubungan seks."

Aku menganga padanya. "Kenapa aku berhubungan seks denganmu? Aku tidak menyukaimu!"

Dia mencondongkan tubuh ke depan, mata birunya cerah dalam cahaya redup. Senyumnya jahat, dan aku ingin menghapusnya dari wajahnya dengan tinjuku. "Kau sangat menyukaiku tadi malam. Setidaknya tiga kali."

Kami telah berhubungan seks tiga kali?

"Setidaknya," dia menegaskan. "Aku tidak menghitung orgasme di dalam mobil, dan aku pikir aku melewatkan satu bercinta lainnya di di sofa ku rasa.

Aku tercengang. Aku menatapnya, ngeri. Aku telah tidur dengan bos ku. Lagi.

"Aku tidak percaya aku melakukan itu," gumamku, mencengkeram selimut.

"Itu bukan satu-satunya hal yang kamu lakukan, sayang."

"Apa yang bisa lebih buruk?"

Dia mempelajari ku dengan cermat. Dia menunjukkan tanganku yang mencengkeram selimut.

"Kau menikah denganku."

Pita tipis yang terlalu ketat melingkari jari manisku. Dia mengangkat tangannya, menunjukkan cincin yang serasi.

"Bagaimana dengan yang ini, ibu. Jackson?" Dia menyeringai.

Ruangan berputar, dan perutku naik turun.

Hal terakhir yang kuingat adalah teriakannya sebelum lantai menghambur ke arahku.

Ketidaksadaran tidak pernah begitu disambut.

Aku bangun lebih awal, sudah bersemangat untuk memulai hari. Hari pertama ku sebagai mahasiswa articling. Rasanya seperti bertahun-tahun telah berlalu sejak wawancara ku di Smith and Hodges, sebelum aku memulai dengan mereka, meskipun itu hanya beberapa bulan. 

Aku sangat ingin mencapai tahap karir ku dan berharap untuk mempraktekkan apa yang telah ku pelajari. Pada wawancara ku, mereka menjelaskan bahwa aku akan bekerja dengan dua pengacara selama tahun ku untuk belajar lebih banyak selama waktu ku bersama mereka. 

Aku tahu mahasiswa hukum sering dipekerjakan di akhir tugas mereka, tetapi aku berencana bekerja dengan pengacara di BAM dan mencabut gigi ku di sana sebelum pindah ke ABC. Bill memiliki banyak pengetahuan, dan aku ingin menyerapnya sebelum dia pensiun dan seseorang yang lebih muda menggantikannya.

Ketika nama Jackson Richards disebutkan dalam wawancara, aku sangat senang.

Dan setelah bertemu dengannya, aku menjadi dua kali lipat cemas.

Jackson Richards lebih besar dari kehidupan, dan yang membuatku cemas, aku tidak bisa berhenti memikirkannya sejak pertemuan kami. Dia sangat tampan dan percaya diri, dan mata birunya memancarkan kecerdasan. 

Tidak dapat menolak, aku telah memeriksanya di internet, mata ku melebar pada beragam artikel tentang dia. Dia berusia tiga puluh delapan tahun, lajang, dan pernah bekerja di dua firma hukum lain dalam kariernya. Setiap perubahan telah memindahkannya ke firma yang lebih bergengsi, dan dia telah bersama Smith dan Hodges selama lima tahun. 

Selain artikel hukum dan informasi profesional yang dimiliki situs web perusahaan, aku menemukan banyak foto dirinya dengan wanita. Wanita cantik. Ketika aku fokus pada tanggal, aku perhatikan tidak ada yang bertahan lama. Aku menggelengkan kepala, menutup laptop.

Dia akan menjadi bos ku, dan kehidupan pribadinya bukan urusan ku. Aku akan pergi ke Smith dan Hodges untuk mempelajari semua yang aku bisa untuk tahun depan sehingga aku dapat melanjutkan hidup ku. Tidak ada lagi.

Kalau saja aku bisa meyakinkan pikirkan ku untuk berhenti mengingat bagaimana tanganku terasa di genggaman tangannya.

Dan kini hari yang aku tunggu telah tiba. Langkah selanjutnya dalam perjalanan ku.

Aku turun dari tempat tidurku, mendorong kakiku ke dalam sandal yang selalu ada ku taroh dibawah kasur, dan berjalan terseok-seok ke dapur. Untuk membuat secangkir kopi lalu menuju ke kamar mandi. Setengah jam kemudian, aku duduk di meja kecil ku, menikmati secangkir kopi yang panas dan beraroma sangat harum. Aku melihat sekeliling apartemenku, ruang yang selalu membuat ku merasa nyaman dan tentram.

Aku tinggal di sebuah apartemen kecil, terletak di pusat kota Jakarta. Berjalan kaki lima menit membawa ku ke keramaian dan hiruk pikuk kota Jakarta, tetapi jalan tempat ku tinggal relatif terbilang sepi. Itu adalah tempat dua kamar tidur, penuh dengan pesona dan karakter. Lantai kayu keras yang berderit di bawah kaki, dinding plester, langit-langit tinggi, dan jendela dengan bingkai kaca bertimbal yang berkilau di bawah sinar matahari dan membutuhkan semua usaha ku untuk membukanya. 

Dapur ku memiliki lemari kayu asli, dan bak mandi kaki cakar di kamar mandi sangat ideal untuk berendam lama. Aku menyukai setiap incinya.

Ayah ku merasa ngeri dengan pilihan tempat tinggal ku ini.

"Pamanmu memiliki beberapa kompleks apartemen paling mewah di Jakarta," bantahnya. "Kamu lebih memilih apartemen seperti ini. Apa yang kau pikirkan, Maria?" dia bertanya sambil melihat sekeliling, curiga.

Aku menggerakkan jariku di atas rel kursi, kayu seperti sutra di bawah sentuhan ku. "Aku suka tempat ini." Aku meletakkan tanganku di lengannya. "Aku suka tempat ini, Ayah. Lingkungan besar. Gedungnya aman. Ada AC baru di jendela kamar tidur, dan aku akan mengambil salah satu yang portabel di sini. 

Aku bisa menaiki tiga anak tangga dengan mudah." Aku bertemu matanya, mengangkat alisku sebagai pengingat diam. "Aku yakin mereka punya tempat dengan walk-up," dengusnya.