Penolakan sang ibu terhadap jati dirinya, sungguh menjadi pedang yang menusuk perasaannya, menciptakan lubang hitam kosong yang menyakitkan.
Soma berlari sejauh yang dia bisa sampai suatu ketika dia kelelahan dan memilih untuk istirahat. Air mata yang jatuh sepanjang jalan, meninggalkan jejaknya.
Kini, mata biru kemerahan itu sudah tak dapat menangis lagi.
Di bawah hamparan salju dalam hutan, Soma termenung mengingat perlakuan sang ibu, meski perasaan sakit hati itu menciptakan bekas, dia berpikir untuk meminta sang ibu agar dirinya diterima kembali.
Soma duduk di atas pohon kayu nan lapuk dekat jurang, di dekatnya terdapat topi lapuk yang tersangkut di ranting. Pandangannya lurus, mentalnya masih terpukul dan otaknya terbayang-bayang kejadian tadi.
Soma menarik napas dengan sedikit tersedan-sedan. Gemetaran tangannya menyentuh luka di ujung kepala, lalu menyelus kepalanya yang gundul.
