Hiro sedang bosan. Wajahnya menumpu di antara lengan di meja. Pandangannya kosong mengarah pada jendela yang menampilkan pemandangan kota hantu di bawah jurang.
Untuk seukuran rumah yang berpenghuni, suasananya terlalu sepi, bahkan tak ada bunyi. Hiro sudah mirip patung hidup yang bisu. Sejak tadi, wajahnya cemberut karena tidak diizinkan Nenek Rubah untuk meninggalkan rumah. Sementara si tua itu pergi ke Kota untuk mengunjungi pasien.
Hari sebentar lagi akan malam, Hiro enggan beranjak dari depan jendela. Yang dilakukannya hanya bernapas.
Bunyi seruling begitu merdu dari arah hutan di depan rumah. Hiro bangkit dari lamunannya. Jendela dibukanya, setengah tubuhnya muncul dari ambang jendela.
Matanya mengamati sekitar hutan sebanyak dua kali. Hutan dan segenap isinya tampak bisa saja, tetapi para tupai yang melompat-lompat mengundang rasa senang Hiro.
Alunan lagu yang tak asing di telinga menjadi pendorong utama senyumnya yang lebar.
[ Dia datang! ]