"Mama pergi dulu ya, kamu jagain adik-adik, terus juga jangan nakal!" ucap Aisyah pada Yahya.
Cowok itu mengangguk, menerima uang makannya yang di berikan Aisyah dengan erat.
"Mama gak lama kan?" tanya Yahya yang nampak sedih.
Wanita itu menggeleng, memberikan senyuman, dan berkata, "Engga kok, kamu tenang aja!"
Alra menghela, memperhatikan Aisyah yang kini sedang asyik mengobrol dengan Diah - kakak sepupunya dari kakak kandung mamanya.
Mereka berdua terlihat tertawa, kemudian Aisyah memberikan sesuatu yang jelas adalah uang. Setelah itu ia memberikan lambaian tangan pada anak-anaknya, berjalan menjauh, dan memasuki mobil berwarna hitam itu.
Gadis kecil itu kembali menghela, berjalan mendekati Yahya, "Mama ngasih uang berapa Bang?"
Cowok itu menoleh, menghitung uangnya cepat, "Tiga ratus, bagi tiga seratusan."
"Hm, oke," sahutnya sebelum melenggang pergi memasuki rumah Diah.
Wanita itu tersenyum ketika melihat Aura yang sejak tadi memperhatikan jalanan. Berjalan mendekat, dan menyentuh punggung kecil itu.
"Aura, kenapa?" tanya Diah.
Gadis kecil itu menggeleng, tak ada niatan untuk mengeluarkan suaranya yang kecil.
"Aura, kelas berapa sih? Mba gak tahu loh kamu kelas berapa, mba cuman tahu kelasnya alra," ucap Diah lagi yang mencoba untuk mengakrabkan diri dengan Aura.
"Kelas dua," sahut Aura dengan suara yang begitu lirih.
Wanita itu kembali tersenyum, kemudian merangkul Aura dengan erat, "Makan yuk! Mba masak banyak hari ini."
Aura hanya mengangguk, dan pergi berjalan masuk bersama Diah dengan langkah yang pelan.
Wanita itu mulai mengeluarkan semua makanan yang sudah ia masak. Meletakannya di atas lantai yang terbalut karpet berbulu. Yahya ikut membantu, menyiapkan es teh manis yang sudah di siapkan sejak tadi.
"Ayo, makan!" ucap Diah dengan begitu gembira.
Yahya, Diah, dan Aura mulai mengambil makanan mereka di atas piring. Menikmati makanan sederhana dengan begitu lahap, sementara Alra masih membisu. Memperhatikan setiap sajian makanan dengan tatapan tak selera.
"Alra, kenapa? Kok keliatan gak suka gitu, makanannya gak enak ya?" tanya Diah sedih.
"Penampakannya emang gak cantik Al, tapi rasanya enak kok," imbuh Yahya.
Alra tersenyum tipis, "Engga kok, tadi lagi mikir mau makan yang mana."
"Makan semuanya aja gapapa kok Al, nanti Mba masak lagi."
"Jangan ah Mba, itu boros," ucap Alra sebelum akhirnya menuangkan nasi, dan beberapa lauk ke dalam piringnya.
Gadis kecil itu mulai menyendok makanannya, memasukan ke dalam mulut, dan mulai di kunyah. Raut mukanya di rubah menjadi senang, ia tidak mau Diah yang masih memperhatikannya merasa sedih karena masakannya yang terasa tidak enak.
Menurut Alra masakannya enak, semua bumbu menyatu dengan sempurna. Hanya tampilannya yang pergi di ubah, menjadi lebih cantik agar setiap orang yang melihatnya menjadi ingin cepat makan karena merasa lapar.
"Mba Diah tinggal sendirian di rumah?" tanya Yahya sebelum menegak habis es teh manisnya.
"Engga, ada mas mif, cuman lagi kerja."
"Oh iya, Mba kan udah nikah, aku lupa hehe!" sahut Yahya dengan kekehannya.
Diah ikut tertawa kecil, menumpuk piring kotornya bersama piring kotir Aura, dan Yahya.
"Kamu sekolah di mana? Kelas berapa?" tanya Diah penasaran.
"Aku di PGRI, masih kelas tujuh."
"Mba pikir udah SMA, masih kecil ternyata, haha!"
"Iya, banyak yang bilang kaya gitu, udah gak kaget sih."
"Kamu sih ketinggian!"
"Ahaha! Keturunan, nanti kalau pendek kan jadi jelek," ucap Yahya.
Mereka tertawa, dan kembali membicarakan tentang tatanan pendidikan di sekolah Yahya. Sementara Alra hanya diam, memperhatikan dua orang dewasa itu dengan tatapan kosongnya.
Ia merasa bosan, di tambah lagi ruangan ini terlalu kecil. Hanya kamar dengan toilet, dan dapur kecil. Tidak ada tempat untuknya bersantai sendirian, ini tidak nyaman, tapi Alra harus betah, sampai Aisyah kembali menjemputnya.
***
Mobil berwarna hitam itu berhenti di depan tanah kosong. Seseorang keluar dari sana, keningnya bertaut dalam, ia tidak suka dengan tanah yang di belinya. Tidak sesuai dengan yang di katakan.
Dian menghela panjang, berkacak pinggang karena merasa kesal. Rasanya ingin memukul orang hari ini, tapi seseorang mengelus punggungnya. Membuat rasa kesal itu menghilang sedikit demi sedikit.
"Sabar, jangan emosi!" peringat Aisyah.
"Gimana aku gak emosi? Lihat, pohonnya hilang semua, satu aja gak ada sisain buat aku."
"Nanti kita beli kayu sendiri, gak usah marah!"
"Iya Ma, tapi kalau ada pohonnya kan kita jadi lebih hemat, gak usah beli kayu sama bambu lagi," jelas Dian yang mencoba untuk menahan emosinya.
"Udah sabar! Damar lagi jalan ke sini."
Dian mendengus, menoleh kebelakang, memperhatikan Damar - suami dari Wiwin adik kandung Aisyah. Pria gempal dengan kumis lumayan tebal itu berjalan menghampiri Dian, dan Aisyah dengan senyum yang terus merekah.
Pergerakannya yang menurut Dian tengil itu membuat Dian semakin emosi. Jika bukan adik ipar istrinya, mungkin Damar sudah tidak berbentuk. Habis di hajar Dian karena melakukan kesalahan yang sangat fatal.
"Mas, aku mau ngasih tahu kalau tanah kamu cuman dari sini sampe sana, terus di sebelahnya yang masih di tumbuhin pohon itu punyaku," ucap Damar sambil menunjuk tanahnya.
Kening Dian bertaut dalam, ini berbeda dengan perjanjian. Lagi-lagi Damar melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya, tidak bermusyawarah terlebih dahulu.
"Bukannya kita setengahan? Kamu di bagian sini, aku di sini," sahut Dian sambil menunjuk tanah di belakangnya.
"Iya tadinya gitu, tapi kan aku yang ngelunasin uang tanahnya, kamu cuman bayar dp awal."
"Loh, meskipun dp awal, tapi kan tetep bayar setengahan. Kita sama-sama bayar lima puluh juta buat tanah ini, kenapa kamu minta tanah bagianku?"
Melihat suaminya yang mulai emosi dengan raut muka yang berubah membuat Aisyah segera menggenggam tangan kanan Dian. Mencoba untuk membuat pria itu sabar agar tidak ada keributan.
"Iya, tapi ini udah jadi punyaku, aku udah ganti nama sertifikatnya. Ini punya kamu, ini punyaku," sahut Damar sambil memberikan sertifikat tanahnya pada Dian.
Pria itu menghela, mencoba untuk sabar dengan kelakuan iparnya yang melewati batas.
"Aku ada rapat dewan guru, jadi aku duluan ya Mas, Mba!" ucap Damar sebelum melenggang pergi meninggalkan tempat itu dengan senyum yang merekah.
Dian mencoba untuk menahan emosinya yang sejak tadi ingin keluar. Mengambil napas dalam, dan mengeluarkannya secara perlahan. Pria gempal itu tidak tahu malu, mengambil hak orang lain, dan langsung mengganti namanya di dalam sertifikat.
"Udah sabar, jangan emosi! Biarin aja, karma pasti ada!" ucap Aisyah yang mencoba menenangkan Dian dengan cara mengelus lengan kekar itu.
"Dia kurang ajar, gak ada ngasih tahu aku soal tanahnya. Ini yang kedua, kalau ada lagi yang ketiga awas aja!"
"Jangan, dia saudara kita!"
"Saudara apanya? Emang ada saudara kaya dia? Ada saudara yang ngerebut hak saudaranya?"