Semua nampak biasa saja, dengan hari yang terus berganti seiring berjalannya waktu. Terasa begitu lamban dengan perasaan sedikit tenang. Perkampungan yang katanya memberikan ketenangan, nyatanya hanya angan.
Hidup di kampung terasa tidak menyenangkan dengan adanya tetangga yang selalu mengomentari setiap kegiatan orang lain. Berbeda jauh dengan orang kota yang lebih memilih untuk bodo amat dengan lingkungan sekitar.
Gadis itu menghela panjang, mengamati setiap rumah yang dia lihat dari atas sana. Semuanya nampak sama karena model yang memang sama, hanya warna cat yang membuatnya berbeda. Orang di sini tidak peduli dengan rumah, lebih memilih rumah yang biasa saja, tapi memiliki sawah, dan perkebunan yang begitu luas.
"Keliatannya doang miskin, aslinya banyak duit," gumam Alra tak suka.
Keluarganya tengah sibuk mempersiapkan sarapan di bawah. Memasak makanan yang tercium enak, dengan air mineral sebagai pendamping. Mereka bekerja bersama, tidak peduli dia perempuan ataupun laki-laki.
Dian sibuk dengan tanamannya di depan, Yahya yang menyapu halaman rumah bersama Acha, dan Aura sibuk membantu Aisyah memasak di dapur. Semuanya nampak begitu akur, tapi Alra hanya tersenyum tipis dari atas sana.
Gadis itu tidak suka dengan keadaannya kali ini. Terlalu benci untuk mulai menyukai daerah baru yang masih terasa asing, dan tidak nyaman.
"Alra?" panggil Yahya mendongak ke atas, menatap Alra dengan kening bertaut dalam.
Alra hanya menoleh dengan muka datarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Cucian piring ada banyak, buru bantuin mama!" teriak Yahya lagi.
Gadis itu kembali mendengus, berdecak kesal dengan petintah yang datang dengan tiba-tiba ketika dia sedang bersantai di balkon. Alra segera melenggang, menuruni anak tangga dengan cepat, dan pergi menuju dapur. Tatapannya masih datar, tapi masih bisa terlihat mimik wajah kesal.
Tumpukan piring kotor kini terlihat jelas, begitu banyak dengan wajan, dan panci yang terlalu besar. Alra kembali mendengus, menggulung lengan piyamanya, dan mulai mencuci setiap piring dengan sabun.
Terlalu banyak membuatnya lebih kesal lagi. Gadis itu terus menggerutu dengan suara yang begitu pelan, jujur saja tidak ikhlas harus melakukan aktivitas seperti ini. Alra malas, ia lebih suka duduk melamun, atau tidur di atas ranjangnya yang terasa begitu empuk, dan nyaman.
"Alra, senin ini kamu sama Aura udah mulai sekolah ya! Jagain adiknya biar betah di sekolah!" ucap Aisyah yang masih sibuk dengan masakannya, "Oh iya, buat beberapa hari mama masih nungguin Aura di sekolah."
"Kenapa harus di tunggu?" sahut Alra tanpa menatap lawan bicaranya.
"Kamu kan tahu sendiri Aura gimana, dia itu pemalu. Jadi mama harus nunggu buat beberapa hari, terus gak di tungguin lagi. Kalau kamu kan udah gede, kamu juga mandiri, lebih berani ketimbang Aura," jelas Aisyah.
Alra menghela panjang, meletakkan semua piring kotornya ke dalam rak, dan berkata, "Mama masak apa?"
"Penyet ayam, sama sayur sop. Sambalnya lumayan pedes, nanti ambilnya jangan banyak-banyak ya!"
Gadis itu hanya mengangguk, perhatiannya beralih pada gadis yang lebih kecil darinya tengah berdiri di dekat meja. Memotong beberapa sayuran yang akan di gunakan sebagai sop.
Alra kembali menghela, kemudian melenggang pergi meninggalkan dapur. Menghampiri Dian yang kini tengah duduk di atas kursi panjang yang dekat dengan pohon mangga. Menikmati tempe goreng yang masih panas bersama Acha pagi ini.
Gadis itu mulai duduk, tatapannya masih datar. Sebenarnya dia ingin kembali ke dalam kamar, dan kembali tidur dengan durasi yang lebih lama.
"Papa, kapan kita pulang ke rumah yang lama?" tanya Alra.
Dian menoleh, tatapannya nampak kebingungan, "Kenapa? Kamu gak betah tinggal di sini?"
"Aku gak suka di sini. Di sini sepi, gak ada temen kaya di rumah lama. Orang-orang di sini ramah, tapi suka ngurusin idup orang," jelas Alra kesal.
"Kakak tahu dari mana kalau mereka suka ngurusin hidup orang?" tanya Acha penasaran.
"Denger pas jalan buat beli jajan di warung sana. Banyak ibu-ibu sama anak kecil lagi ngobrolin keluarga kita, aku gak suka sama mereka," sahut Alra.
"Udahlah Al, biarin aja! Kita lebih bodo amat aja sama mereka, lagian mereka gak ngebuat kita rugi dari gosip yang mereka buat. Justru mereka yang rugi karena udah ngeluarin banyak tenaga cuman buat gosip," jelas Dian dengan senyum tipisnya.
"Pa, aku juga gak suka sama om damar. Kenapa om damar jadi beda ya? Gak kaya dulu, dulu kan dia baik banget, sekarang engga. Kalau airnya di pake suka di matiin tiba-tiba, listrik juga suka di matiin."
"Alra, kita masih numpang listrik sama air buat sementara. Biarin aja om damar mau gimana, mungkin om damar takut pulsa listriknya habis. Jadi, mendingan kita sabar dulu ya, jangan kesulut emosi!"
"Papa sama mama selalu ngajarin buat sabar, tapi aku gak bisa sabar Pa! Om damar itu pelit, padahal dia suka pinjem motor sama mobil tanpa ngebeliin bensin. Kita diem aja, gak ada yang permasalahin. Papa sama mama jangan terlalu baik ke om damar, nanti di manfaatin!"
"Alra, mendingan sekarang kamu mandi, terus belajar buat persiapan sekolah!" titah Dian dengan tegas.
Alra tersentak, tidak sesuai dengan ekspektasinya. Gadis itu segera beranjak, dan berlari memasuki kamarnya untuk segera mandi.
***
Cowok itu tengah sibuk menggosok rambutnya yang penuh dengan shampo. Namun, tiba-tiba saja keran airnya mati. Padahal listrik tidak mati, lampu kamar mandinya masih menyala seperti biasa.
Yahya menghela panjang, mencuci rambutnya menggunakan air yang tersedia di dalam bak. Ia segera mengambil handuk, dan memakai pakaiannya dengan cepat.
"Papa, airnya mati," ucap Yahya, berdiri di ambang pintu sambil menatap Dian yang masih duduk di atas kursi panjang.
"Kamu udah selesai mandi?" tanya Dian.
"Belum, baru keramas sama sikat gigi ini."
"Kita numpang di rumah pak yusuf dulu aja ya!" Dian mulai beranjak, membenahi sarung yang mulai longgar itu.
"Airnya mati lagi?" tanya Aisyah yang baru saja keluar dari dalam dapur.
Cowok itu mengangguk kecil.
Aisyah hanya bisa menghela, menatap suaminya dengan tatapan yang begitu sedih. Hidup miskin membuat mereka tertekan. Menahan rasa kesal yang terus - menerus datang.
"Kan, udah aku bilang juga apa. Kita mama, sama papa terlalu sabar ngadepin tetangga depan," ucap Alra lirih. Gadis itu berdiri di balkon kamarnya, memperhatikan gerak-gerik keluarganya yang ada di bawah sana dengan senyum miring.
"Mama, aku mau ke toilet," ucap Aura tiba-tiba.
"Kita pinjem kamar mandi pak yusuf aja ya! Kita ke sana sekarang, yuk!" ajak Dian sebelum menggandeng lengan kecil Acha.
Mereka semua mulai berjalan keluar, menuju rumah Pak Yusuf yang tidak jauh dari tempatnya.
Tepat di balik gorden berwarna cokelat itu terlihat sosok pria berkumis tengah tersenyum miring.