Chereads / LINDAP / Chapter 7 - T U J U H

Chapter 7 - T U J U H

"Aku mau pergi ke kota aja ya, buat kerja. Aku dapet undangan buat kerja di sana, menurut kamu gimana?" ucap Diam sambil menyesap kopi panasnya malam itu.

Aisyah masih terdiam, memperhatikan tanaman di depannya dengan tatapan yang susah untuk di baca.

"Kamu mau pergi ke mana Pa? Kota mana?"

"Sumba. Kamu tenang aja, aku punya banyak saudara yang bisa aku pake numpang tinggal. Nanti uangnya aku kirim setiap minggu, kamu di sini jaga anak-anak ya!" jelas Dian.

"Kamu mau pake apa ke sana? Kita gak punya uang buat beli tiket pesawat."

"Aku naik kapal laut aja, lebih murah biayanya."

"Tapi ombak kan lagi besar. Jangan dulu buat pergi, kamu kerja di sini aja dulu ya!" ucap Aisyah khawatir.

Pria paruh baya itu menghela panjang, masalah ekonomi membuatnya harus pergi untuk mencari uang. Agar bisa membeli listrik, dan memasang PDAM agar tidak menumpang lagi.

Saudara iparnya terlalu pelit untuk memberikan sedikit. Padahal kondisi keuangan sedang tidak stabil, jika sudah stabil pasti tidak akan menumpang.

"Tenang aja, yang penting kamu doain aku aja!"

***

Gadis kecil itu menghela samar, memunggungi pintu masuk rumahnya. Raut mukanya nampak begitu sedih, krisis ekonomi membuat keluarganya menjadi miskin. Tidak seperti dulu lagi yang selalu memiliki uang untuk keperluan yang besar ataupun kecil.

Alra segera pergi, menaiki anak tangga dengan berlari kecil, dan masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya pelan sebelum akhirnya merebahkan tubuh mungil itu di atas ranjang empuk.

Helaan panjang kembali di keluarkan, Alra tidak mengerti harus berbuat apa agar dia memiliki uang. Membantu krisis ekonomi keluarganya kali ini, tapi Alra tidak memiliki ide. Bakatnya tidak bisa di ubah menjadi uang, dia juga tidak bisa bernyanyi untuk mengamen dari rumah ke rumah.

Bakat melukisnya juga tidak akan bisa di jual, itu hanya lukisan biasa yang di gambar anak SD. Tidak ada yang menarik, apa lagi dengan arti di dalam lukisannya yang tidak pernah bisa di lihat.

"Tetangga depan kenapa pelit banget sih? Padahal kan dulu waktu mereka susah juga keluargaku yang bantu, waktu mereka gak punya perkakas rumah tangga juga mama yang ngasih pinjem, malahan di kasih cuma-cuma juga buat barang-barang yang lain," omel Alra kesal, "Keliatannya doang dari luar kaya orang yang alim, rajin ibadah, murah senyum, loyal, dih! Nyatanya juga kaya setan yang pelit, jahat, kang adu domba."

Alra mendengus, mengubah posisinya menjadi duduk, dan beralih mengambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Sejak tadi ponselnya berdering dengan lirih.

"Hallo!" ucap Alra ketus.

"Woy! Kamu di mana? Kok gak pernah keliatan sih?" sahut seorang gadis di seberang sana.

"Aku pindah sekolah, pindah rumah juga. Tiba-tiba aja gitu, padahal aku nunggu perpisahan, sama pengambilan rapor," jelas Alra, berjalan mendekati balkon kamarnya.

"Aku pikir kamu bolos tau, mana tugas akhir seni belum kamu kumpulin. Kayanya bakalan dapet nol deh, atau mungkin setengah? Aku gak tau sih," ucap Vita.

Alra hanya tertawa hambar, "Bodo amat sih kalau dapet nol, aku udah gak mikirin lagi, toh aku udah di sini, mama sama papa juga  udah ngurusin semuanya buat cepet pindah."

"Hahaha! Iya juga sih, terus liburan kali ini kamu mau ke mana?"

"Hm, kayanya di rumah aja deh. Soalnya masih banyak keperluan rumah yang harus di selesain, sama di isi. Banyak banget barang-barang yang belum di ambil dari rumah tetangga."

"Kalau udah gak sibuk, atau bener-bener bisa liburan, kamu ke Bali lagi ya! Main sama aku, nanti kita jalan-jalan kaya dulu lagi."

"Gampang kalau yang itu!"

***

Kedua kelopak mata itu terbuka dengan lebar. Alra segera beranjak dari tidurnya, melihat ke arah jendela dengan panik, dan mulai membasuh wajahnya cepat.

Berlari keluar, menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Gadis itu tidak mau tertinggal lagi, ia ingin melihat Dian pagi ini. Namun, lagi-lagi rumahnya sudah kosong. Dapur juga ikut kosong, tidak ada orang di mana-mana.

Alra kembali berlari keluar, menghela panjang, dan segera menghampiri Aisyah yang sedang menyirami tanaman kesayangan Dian.

"Mama, papa di mana?" tanya Alra.

"Udah berangkat tadi subuh, kenapa Al?"

"Terus yang lain ke mana? Kok gak ada di dalem?"

"Ada di atas, ruang tv kayanya. Ini kan hari minggu, banyak kartun kan di tv? Mereka pasti di sana," jelas Aisyah.

Gadis kecil itu menghela samar, melangkahkan kakinya menuju pagar rumah. Memperhatikan rumah tetangga depannya tatapan tak suka.

"Kamu ngapain si Al?" tanya Aisyah heran.

"Di rumah om damar gak ada orang ya Ma?" sahut Alra yang balik bertanya.

"Gak ada, tadi mama liat mereka pergi, tapi gak bilang mau ke mana."

"Kenapa mereka jahat sama kita Ma? Padahal kita selalu baik sama dia, selalu ngasih apa yang kita punya dan apa yang mereka gak punya," ucap Alra dengan ketus.

"Mau mereka jahat, atau engga, kita harus berbuat baik Alra! Gak boleh doain orang yang jelek-jelek, gak boleh juga perlakuin orang lain dengan perlakuan jelek!"

"Tapi mereka kaya gitu," sahut Alra, menoleh ke arah Aisyah dengan kening bertaut karena kesal.

"Itu urusan mereka, lagian Tuhan itu maha adil. Nanti Tuhan yang bakal ngasih karma, kita yang cuman jadi umat diem aja, banyak berdoa supaya mereka sadar," jelas Aisyah.

Alra mendengus, berjalan dengan kepala tegak, dan berkata, "Mama sama papa itu terlalu sabar sama orang kaya mereka."

***

Alra menghela panjang, menatap tembok kamarnya sambil merebahkan kepalanya di atas meja belajar. Semua materi yang dia baca tidak dapat di pahami dengan cepat.

Terlalu susah untuk fokus ketika pikirannya tengah kacau hari ini. Gadis kecil itu hanya busa menghela panjang, menegakkan tubuhnya sambil menatap rak bukunya datar.

Alra memilih untuk mengambil ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya. Membuka aplikasi pesan, dan membaca salah satu pesan dari temannya. Kedua sudut bibirnya tertarik keatas, sesekali ia tertawa kecil ketika membaca pesannya.

"Al?"

Suara itu membuat Alra menoleh, salah satu alisnya tertarik ke atas. Meminta jawaban tentang panggilan yang baru saja di lontarkan Yahya.

"Kamu di suruh turun sama mama!"

"Ngapain?"

"Makanlah, apa lagi?" sahut Yahya kesal.

"Gak laper, aku gak makan, malem ini."

"Kenapa?" tanya Yahya yang kini berjalan mendekat, menempelkan punggungnya pada dinding dekat pintu kamar itu.

"Gak laper, apa lagi? Masa iya gak mai makan harus ada alasan lain selain gak laper? Gak nafsu makan gitu maksudnya?" sahut Alra.

"Engga sih, tapi... beneran gak makan?"

Alra menggeleng.

"Oke, bye!" ucap Yahya sebelum pergi, dan menutup pintu kamar Alra dengan pelan.

Gadis itu hanya memperhatikan pintu kamarnya dalam diam, sebelum akhirnya kembali melamun untuk waktu yang lebih panjang.