Alunan musik pernikahan terdengar begitu jelas dengan suara burung. Tidurnya terasa terusik hari ini, padahal ia sangat kelelahan karena perjalanan jauh yang baru saja dia lakukan, tepatnya kemarin.
Kedua alisnya bertaut dalam, dengan kelopak mata yang mulai terbuka secara perlahan. Kotoran mata terlihat jelas kali ini, di tambah dengan wajah yang terlihat begitu jelek karena belum mandi.
Gadis itu menghela, memperhatikan sekelilingnya yang sudah kosong. Ruangan kecil itu hanya ada dia sendiri, entah pergi kemana ketiga saudaranya pagi ini.
Alra hanya memperhatikan langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu berwarna merah muda itu. Helaan napasnya kembali keluar, ia segera bangkit. Berjalan dengan gontai menuju toilet yang jaraknya lumayan jauh karena berada di dapur.
Jika di rumahnya sendiri tidak perlu jauh-jauh pergi, di dalam kamarnya sudah tersedia toilet yang sangat luas dengan isi yang begitu sempurna. Bukan ingin mengeluh, hanya saja Alra merasa keputusan yang di ambil orang tuanya sangat salah.
Pintu dapur mulai terlihat, dan suara musik pernikahan itu juga mulai mengecil. Mungkin Damar sudah bosan mendengarkan, dan beralih dengan suara berita pagi.
"Eh! Kanjeng ratu udah bangun, mau makan apa?"
Suara Acha, dan Aura yang berbarengan itu hanya di lirik Alra dengan tatapan tajam. Tidak peduli jika mereka berdua adalah adik kandungnya, dia tidak suka dengan lelucon yang benar-benar tidak lucu pagi ini.
Alra segera masuk ke dalam toilet. Lagi-lagi helaan napas keluar dengan berat, ruangan gelap dengan penerangan kecil ini membuatnya kesal setengah mati. Toiletnya tidak bagus, sebenarnya dia merasa jijik dengan toilet yang sangat jelek ini.
Namun, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menurut, dan segera membereskan tubuhnya yang sudah tidak wangi lagi. Alra segera menggosok giginya, dan mencuci wajahnya dengan cepat sebelum membuka bajunya untuk benar-benar mandi.
Berbeda dengan Alra yang terus menerus kesal, di dalam dapur terlihat Aura, dan Acha yang terus tertawa bahagia. Kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak sambil memakan singkong goreng keju buatan Aisyah, dan Wiwin yang masih panas.
"Kak alra sukanya marah-marah mulu, pasti nanti dia jadi nenek sihir yang ada di barbie," ucap Aura dengan gelak tawanya.
"Iya, idungnya panjang, mukanya jelek hahaha!"
"Temennya kok bisa suka ya sama dia? Padahal kan kak alra itu galak."
"Kayanya dia gak jahat kalau sama temennya."
"Bisa jadi, tapi kenapa sama kita galak sih? Jadi gak suka aku ih!" sahut Aura kesal.
Acha hanya mengangkat bahunya acuh sambil menghela samar. Kembali memakan singkong gorengnya sambil memperhatikan pintu toilet yang mulai terbuka. Menampakkan Alra dengan wajah datarnya keluar. Gadis itu masih mengenakan piyama hitamnya yang mulai basah kuyup.
Alra melangkah keluar, menghampiri kedua adik perempuannya, dan ikut mencicipi singkong goreng meskipun hanya sedikit.
"Kakak kok pake piyama lagi sih?" tanya Acha bingung.
"Nanti ganti. Kamu sama Aura ngapain belum mandi? Bau, iler di mana-mana, mana udah ganti baju bagus lagi," sahut Alra.
Acha, dan Aura hanya tertawa setelah bertatap beberapa saat.
"Kata papa kita cantik kok," sahut Acha.
"Iya, kata mama juga kita cantik meskipun belum mandi," imbuh Aura yang masih terkekeh.
Alra hanya menggeleng kecil, "Mandi buruan! Bentar lagi kan kita persiapan buat nata barang di rumah."
"Emang pagernya udah jadi ya?" tanya Acha yang masih mengunyah singkong gorengnya.
"Kata mama sih udah, kemarin di lembur, terus pagi ini juga lagi di kerjain yang belum selesai."
"Ayo, Kak kita mandi!" ajak Acha, dan di jawab anggukan oleh Aura dengan begitu semangat.
***
Gadis kecil itu menghela panjang, meletakkan barang bawaannya yang sangat berat di atas tanah yang lumayan basah. Keringatnya mulai keluar, di seka dengan punggung tangannya yang penuh dengan debu.
Tidak jauh memang rumahnya, dari rumah tetangga yang mereka gunakan untuk menitipkan barang-barangnya. Namun, Alra merasa kelelahan karena terlalu banyak barang yang dia bawa, dan semua barangnya sangat berat.
Gadis kecil itu mulai mengambil napas dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan, dan kembali membawa tas besar berwarna cokelat itu sambil berjalan dengan cepat. Meletakannya tepat di dalam ruangan kosong yang kini penuh dengan tumpukan barang.
Aisyah berjalan berkekeliling di dalam ruangan. Memilah barang yang akan dia gunakan, dan anak-anaknya gunakan. Alra yang duduk di atas lantai itu hanya memperhatikan ibunya tanpa ingin membantu karena kelelahan.
"Yahya?" panggil Aisyah kencang.
Anak laki-laki tinggi itu datang dengan cepat, "Kenapa Ma?"
"Ini, bantuin mama buat pisahin semua barang yang ada di sini! Kita tata di tempat yang sesuai ya!" jelas Aisyah.
Alra yang mendengar itu segera berdiri, mencari-cari barangnya untuk segera di pindahkan. Terlalu banyak sampai-sampai ia bingung harus membuka yang mana. Gadis kecil itu kembali menghela untuk yang ke sekian kalinya, mengambil salah satu tas besar berwarna hitam, dan membukanya.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seulas senyuman karena tas yang dia ambil adalah barangnya sendiri. Alra segera membawa tas besar itu menaiki tangga, memasuki kamarnya yang berada di lantai dua.
Kamarnya kali ini sangat kecil, tidak sebesar kamarnya yang dulu. Namun, tidak apa-apa, Alra suka dengan konsep minimalis yang kata Dian cocok untuknya.
Segera di tata rapi semua barang-barangnya. Meletakkan semua pakaiannya ke dalam lemari, dan menata mainan robot beserta boneka babinya di atas kasur yang sudah terpasang sepray berwarna hitam polos. Gadis itu tersenyum lebar, merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil memperhatikan langit-langit kamarnya yang masih terlihat bagus itu.
Pemandangan yang di berikan jendela kamarnya sangat tidak asyik. Hanya atap rumah tetangga, dan pohon-pohon besar yang terlihat menyeramkan.
Alra segera beranjak, kembali keluar dengan berlari untuk membantu kedua orang tuanya lagi. Namun, ruangan yang tadinya penuh dengan barang-barang itu sudah mulai kosong. Keningnya bertaut dalam, suara teriakan dari Aisyah yang tiba-tiba memanggilnya membuat Alra segera berlari keluar.
"Alra?" teriak Aisyah lagi.
Gadis itu mendengus, berlari menuju dapur. Di dalam dapur yang lumayan kecil itu telah di penuhi keluarganya yang sedang duduk di atas karpet berwarna merah dengan meja yang berbentuk lingkaran.
"Kenapa gak ada kursinya?" tanya Alra sebelum ikut duduk di samping Yahya.
"Papa pengen konsep yang beda, duduk kaya gini jauh lebih asyik ketimbang pakai kursi," sahut Dian sambil memakan ubi rebusnya.
Alra hanya ber'oh ria, dan mulai mencari-cari makanan yang dia suka. Semua makanan yang tersedia di atas meja makannya tidak terlalu nikmat, semuanya nampak aneh, apa lagi nasi berwarna putih kecokelatan dengan parutan kepala di sana.
"Ayo, di makan!" titah Aisyah sebelum ikut duduk dengan membawa beberapa piring.
"Kok makanannya kaya gini sih? Gak ada makanan yang lain apa ya? Mie instan aja deh gak ada?" tanya Alra.
"Gak ada Al, uang mama sama Papa udah habis buat bangun rumah ini. Sekarang makan seadanya ya, jangan banyak mau dulu sampai Papa punya yang kaya dulu lagi!" sahut Dian.
Alra hanya mengangguk, dan segera mengambil nasi putih, dengan tempe, dan sambal.
Sementara kedua adiknya hanya makan nasi, dan sayur kelor. Alra merasa kehidupannya mulai berubah, tidak seenak dulu yang bisa memakan apa pun sesukanya. Hidup dengan uang yang berlimpah dari keluarganya, tapi itu dulu.