Malam ini lesehan kopi di pinggir jalan, tepatnya di depan toko yang sedang tutup itu tengah ramai remaja dengan usia yang berbeda sedang berkumpul bersama teman-temannya. Meminum kopi hitam seharga dua ribu satu gelasnya, mereka juga memesan dua bungkus kacang beserta satu bungkus kuaci rasa vanilla.
Cowok berkulit sawo matang itu tertawa terbahak-bahak ketika salah satu temannya selesai memberikan lelucon yang cukup lucu. Hendrik memakan kacangnya lagi beserta setegak kopi hitam yang lumayan manisnya itu.
"Eh! Iya, hubunganmu sama alra gimana? Kapan jadiannya anjir? Lama banget," ucap Alex dengan tatapan tak sabarnya.
Hendrik mengangkat kedua bahunya, dan berkata, "Gak tau, anaknya gak ada perasaan sih sampai sekarang. Masih dingin sih, kurang deh kayanya. Anaknya sendiri yang bilang kalau gak mau pacaran, masih SD."
"Ahahaha! Anaknya pinter juga masih bocah gak mau punya pacar, tapi ya emang bener sih," sahut Usup, kembali melahap kacang untuk yang kesekian sampai-sampai dia yang memiliki banyak kulit kacang di dekat gelas kopi yang tersisa setengah. Hampir habis, kembali dia tegak kopi hitam yang sudah dingin itu.
"Beh! Kayanya beda deh sama dia, dia ada di atas cuk!" Hendrik mengangkat kedua tangannya, tapi tangan kanan jauh lebih tinggi dari tangan kirinya, "Gak bisa, gak percaya sih dia bisa mau sama aku."
"Cantik banget cuk anaknya, cuman orang yang tau kalau dia cantik yang mau sama kamu," celetuk Alex dengan gelak tawanya.
Hendrik langsung memukul kepala Alex yang sebelah kanan, membuat cowok itu mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya, "Sakit cuk!" ucapnya.
Hendrik memberikan lirikan tajam untuk Alex, dan dia berkata, "Jadi yang bilang dia jelek baru mau sama aku?"
"Ya... bisa di bilang gitu sih."
Mendengar jawaban itu membuat Hendrik mendengus kesal. Dia memilih untuk menghabiskan kopi yang sudah dingin dengan cepat, hanya beberapa tegukan, dan sekarang gelasnya tersisa ampas kopi. Yang lain malah tertawa melihat temannya yang nampak frustasi, padahal hanya gadis kota yang sangat cantik.
Iya, hanya gadis kota karena di tempat mereka tinggal ada banyak gadis cantik yang mau dengan Hendrik. Mereka mau karena Hendrik juga tampan, hanya Alra yang tidak mau karena prinsip hidup yang dia pegang. Memang benar jika masih kecil belum boleh tahu apa itu pacaran, lagi pula mereka masih sangat kecil. Alra yang masih kelas empat, dan Hendrik kelas lima. Seharusnya yang mereka habiskan itu waktu untuk bermain sampai puas, bukan malah memikirkan soal perasaan yang jelas-jelas belum ada, cinta monyet istilahnya.
Hendrik kembali menghembuskan napas panjangnya, masih tak percaya dengan apa yang dia rasakan sekarang. Cowok itu berdecak kesal, mengusap kepalanya dengan kasar, dan kemudian berkata, "Anjir! Harus move on kalau kaya gini."
"Baru cinta monyet, gampang buat move on," sahut Usup.
"Gampang matamu!"
"Lah! Kok malah ngegas? Kan bener baru cinta monyet, lagian kalian berdua bisa jadi teman dekat soalnya alra gak minat pacaran. Ada yang salah dari yang aku bilang?" Usup mengangkat kedua tangannya, kemudian kedua bahunya sebelum kembali memakan kacang, "Kamu yang terlalu berharap sama orang yang gak pernah nganggep perasaan kamu itu nyata. Alra itu tipe perempuan yang bakalan bucin kalau udah nemu pasangan yang cocok, kalau bukan sekarang bisa aja nanti pas udah masuk SMP atau mungkin SMA."
"SMP kan juga masih kecil pasti kata alra, yakin banget sih pas udah lulus SMA," sahut Alex.
Hendrik menghembuskan napas untuk yang kesekian kalinya, memang ada benarnya yang dikatakan kedua temannya ini. Alra bukan gadis yang gampang termakan kalimat manis, bukan juga gadis yang mudah untuk di pengaruhi, apa lagi di ajak berpacaran dengan embel-embel di bahagiakan oleh cinta. Tidak, gadis itu sangat cerdik, sangat berbeda dengan gadis yang lain. Ada sesuatu yang membuat Hendrik tidak bisa mendapatkannya, tapi dia juga merasa minder jika harus dekat-dekat. Rasanya Alra memang ada di atas, sementara dia ada di dasar.
Hendrik pikir dia harus memiliki usaha yang lebih besar dari ini, tapi dia juga berpikir akan sia-sia. Tak akan dia bisa mendapatkan gadis itu sekarang, mungkin nanti ketika mereka sudah lulus SMP atau mungkin sudah lulus SMA. Tak akan mungkin dia bisa mendapatkan Alra sekarang, Hendrik sangat yakin dengan hal itu.
"Hen, mendingan cari yang lain! Tuh liat si nina yang gak kalah cantik, nungguin kamu terus, tapi kamunya malah nunggu yang gak pasti. Sekarang yang bodoh siapa?" ucap Alex tiba-tiba.
Hendrik menatap Alex sekilas, kembali memperhatikan karpet biru yang dia duduki sebagai alas yang lumayan kotor di karenakan kulit kacang ada di mana-mana. Masih belum paham dengan perasaannya sendiri, dia harap Alra bisa berubah pikiran karena sampai detik ini yang ada di kepalanya hanya Alra, dan gadis itu yang sangat dominan di dalam benak beserta otaknya.
"Hp kamu dari tadi nyala terus, gak mau di cek dulu?" ucap Usup.
Hendrik tak menjawab, tapi langsung meraih ponsel yang ada di dekat kulit kacang. Ada banyak pesan dari teman perempuannya yang lain, tapi pesannya yang dia kirim untuk Alra yang kemarin masih belum di baca. Entah ada di mana gadis itu, biasanya kalau bukan malam pasti siang sedang membuka aplikasi BBM.
Hendrik kembali meletakkan ponselnya, tak ada niatan untuk membalas karena memang tidak tertarik dengan semua gadis yang ada di sana. Menurutnya mereka semua sangat agresif karena mendekati duluan, maksudnya bukan Hendrik yang mengejar. Untuk Alra si gadis misterius dengan segudang pertanyaan yang ingin di sampai Hendrik, tapi tidak berani karena terlalu takut itu yang membuat Hendrik semakin jatuh cinta. Penasaran dengan gadis bernama Alra sampai dia merasa galau.
"Astaga! Susah sih ngomong sama orang yang keras kepala soal cinta, udah tau di tolak, masih aja berharap," gerutu Usup.
Alex menepuk pundak kanan Usup dengan senyum menyuruh sabar, "Masih ada di fase tergila-gila, nanti juga bosen, liat aja!"
"Lama, percaya deh bakal lama!"
"Hen, aku kasih tau lagi. Alra manggil ke temennya yang di kota itu lo - gue, jadi pikirin baik-baik deh kalau kalian itu beda!" Alex membuka kotak rokok, dan merogoh sakunya mencari korek api, "Gak usah berharap lebih!"
"Gimana kalau dia juga suka sama aku?"
"Ahahaha! Gak mungkin!"
"Kenapa?" raut muka Hendrik kembali sedih, bingung dengan apa yang ingin dia lakukan sekarang karena teman-temannya yang memang tidak memberikan dukugan, "Aduh! Capek mendingan tidur di rumah."
"Lah! Mau pulang?" tanya Alex terkejut, "Jangan buru-buru!"
"Bosen cuk mikirin alra."
"Makanya move on bego!" cetus Usup.