Wajahnya berubah pucat kebingungan, ranselnya sudah dia buka dengan lebar. Tidak ada yang terlihat sekarang, hanya ada buku gambar, kotak pensil, dan buku sesuai mata pelajaran hari ini. Alra mendengus karena kebodohannya kali ini, bagaimana bisa dia melupakan pensil warna yang merupakan alat terpenting dalam lukisannya nanti?
Tahu ada banyak lukisan yang sudah dia selesaikan dari rumah sejak beberapa minggu yang lalu, ada sangat banyak sampai tersisa dua lembar dalam buku gambar A3 itu. Sementara yang lain sudah mulai melukis dengan tenang di dalam buku gambar A4.
Buku gambar A4 harganya jauh lebih murah ketimbang A3, selisih setengah harga. Sayangnya Alra sudah terbiasa menggunakan A3 ketimbang A4, rasanya sempit menggunakan buku gambar A4 padahal guru seni-budaya sudah menyuruhnya untuk mengganti buku gambar karena katanya terlalu besar untuk anak seukuran dia.
Alra tidak tahu kenapa cara berpikir guru di kota, dan di desa berbeda. Ada banyak perbedaan yang tak bisa dia ingat terutama dalam cara mengajar, bab yang datang di buku, keterlambatan dalam penyampaian materi, dan perbedaan isi otak. Apa lagi dengan bahasa inggris, di sini mereka mengatakan tidak bisa menggunakan bahasa inggris karena kesusahan, tapi tidak mau belajar ketika ada pelajaran bahasa inggris.
Maksudnya ketika ada guru, mereka bertanya lebih jauh, seperti teman Alra yang ada di kota. Mereka akan bertanya menggunakan bahasa inggris kemudian guru pun menjawab dengan bahasa inggris juga meskipun bercampur dengan bahasa indonesia agar yang lain paham, karena tidak semua murid dalam kelas bisa lancar berbahasa inggris.
Alra tak mau berpikir yang lain lagi, ketika pria paruh baya itu masuk ke dalam kelas, dia segera meletakkan buku gambar terbesarnya di atas meja. Membuat garis tepi yang cukup besar kemudian melukis. Namun, tiba-tiba saja fokusnya terbagi karena seseorang duduk di sebelahnya.
Laila, gadis yang paling populer di sekolah karena dia seorang penyanyi cilik, selalu mendapat rangking satu di kelas, katanya gadis yang paling cantik seantero, dan kemudian yang paling dekat dengan guru. Akan tetapi, menurut Alra gadis ini lebih mendekati anak-anak yang suka cari perhatian pada guru, selalu mendekati meja guru guna berbincang sok akrab kemudian pamer tentang album mininya yang mulai beredar di luar pulau Jawa.
Alra tak menyukainya, tapi lebih baik diam ketimbang berbicara di depan gadis itu.
"Alra, kamu gak bawa pensil warna?" tanya Laila sambil terus melukis.
"Engga, lupa bawa hari ini."
"Aku bawa, harganya mahal jadi aku simpan di laci, jangan kasih tau siapa-siapa supaya gak ada yang pinjem!" Laila menunjuk laci mejanya, pensil warna merek faber-castell dengan ukuran kecil yang masih utuh.
Alra tidak tahu apa maksudnya, tapi dia memilih untuk mengangguk ramah dengan senyum yang membuat kedua matanya menyipit. Kembali fokus pada lukisannya kali ini, agak aneh karena motor yang dia buat sedikit jelek, apa lagi dengan gunungnya. Tak sesempurna biasanya, tapi tak apa ini hanya kelas melukis yang tidak ada kata spesial. Bahkan lukisannya yang cantik hanya mendapatkan apresiasi kecil, dan tidak ada satu guru pun yang menyuruhnya untuk mengikuti lomba. Ini tempat yang terlalu kecil, dan Alra pikir bakatnya akan terpendam jika harus berlama-lama tinggal di sini. Cara lain harus dia lakukan untuk mendapatkan bakat yang lain, yang akan di dukung, dan akan berkembang tanpa bantuan guru sekolah
"Alra, tolong buatin pohon kelapa di sini!" Laila menunjuk ujung buku gambarnya, sudut kiri bawah yang dekat dengan air pantai buatannya.
Alra melirik, memperhatikan gambarannya sebelum menarik buku gambar kecil itu. Dia tumpuk di atas buku gambarnya yang begitu besar, dan sekarang terlihat jelas perbedaan ukurannya. Alra segera melukis pohon kelapanya tanpa ada kepala, tapi daun yang timbul dia buat warna hijau menggunakan spidol hijau bercampur kuning yang dia bawa dari rumah.
"Aaa! Makasih Alra, cantik banget pohonnya kaya aku!"
"Ah! Iya," sahut Alra sedikit geli, melanjutkan kembali kegiatannya yang sempat tertunda.
Sekarang gadis yang ada di sampingnya ini sibuk memberikan warna yang sesuai dengan lukisannya, sementara Alra hanya memperhatikan. Dia ingin meminjam, tapi rasanya tidak berani untuk sekadar mengucapkan kata pinjam. Entahlah, ini aneh padahal Laila tidak memiliki rasa sungkan menyuruhnya melukis.
"La?" panggil Alra sedikit berbisik, "Boleh pinjem pensil warnanya?"
"Oh ini, boleh ambil aja!" sahutnya begitu enteng.
Alra mengangguk dengan senyum yang begitu lebar, segera mengambil satu warna yang sangat dia butuhkan untuk banyak lukisan yang dia buat, kemudian berpindah pada warna lain. Alra tahu diri, dia hanya menggunakan sedikit dengan warna yang sangat tipis agar tidak membuat pensil warnanya habis terkikis. Ini salahnya sendiri karena lupa membawa alat terpenting itu.
Sebenarnya Alra bisa pulang ke rumah karena jaraknya yang memang dekat, tapi malas untuk meluangkan waktu sekadar berlari mengambil benda berwarna itu. Pasti dia akan kelelahan dengan wajah yang merah kemudian Aisyah akan mengomel karena putrinya yang ini sangat ringkih. Sudah ringkih, sering sakit, memiliki banyak penyakit dan alergi kemudian sekarang berlari guna mengambil pensil warna yang seharusnya bisa dia lupakan.
Tidak, Alra tak akan mau mendengarkan omelan Aisyah untuk yang kesekian kalinya lagi.
Lukisannya selesai dengan cepat, Alra segera beranjak dan menyodorkan lukisannya pada Pak Trisna. Pria berkumis tipis itu memperhatikan lukisan Alra agak lama, kemudian melihatnya dari sisi lain dengan menjauhkan lukisannya. Entah apa yang Trisna pikirkan, tapi dari ekspresi yang datar bisa Alra ketahui jika Trisna tidak tertarik dengan lukisannya kali ini.
"Buatnya hari ini?" tanyanya dengan melirik.
Alra mengangguk, "Iya, saya selalu buat hari ini Pak, gak pernah ngasih lukisan lama yang udah selesai."
"Masa?" raut mukanya nampak tak percaya dengan senyum meremehkan, Trisna mulai membuka lembaran sebelum lukisan Alra.
Ada banyak lukisan dengan tanggal pembuatannya, tanpa ada kolom nilai juga. Tak ada yang pernah Alra setorkan padanya, anak itu memang jujur, dan Trisna patut memberikan apresiasi. Segera dia memberikan nilai yang menurut Alra asal.
"Pak, sejak kapan nilai seni-budaya itu ada yang sembilan puluh delapan?"
"Sejak saya jadi guru seni."
Jawabannya tak masuk akal, tidak bukan tidak masuk akal, ini masuk akal karena memang sesuka hati Trisna, tapi seharusnya pria ini memberikan nilai yang sesuai. Misalnya dengan nilai A, B, atau mungkin C. Bukan angka yang hampir mendekati seratus, ini tidak masuk akal bagi Alra yang tidak pernah mendapatkan nilai ini.
"Bapak gak pernah pengen ngasih nilai A gitu?"
Trisna menggeleng, "Nilai sembilan puluh itu ciri khas saya, kamu gak mau emangnya?"
"Mau Pak, makasih banyak!" sahut Alra sebelum melenggang.