"Hallo! Selamat malam."
Alra hanya tersenyum tipis, merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menunggu lanjutan kalimat dari si penelepon.
"Ih! Gak di jawab, gak asik!" sahut cowok di seberang sana dengan nada suara yang teramat jengkel, sedang gadis bersurai hitam pekat itu terkekeh geli di buatnya.
Sampai-sampai dia menahan tawa yang akan keluar keras sebab anggota keluarga sudah tidur. Ini pukul sembilan malam, biasanya yang masih terjaga hanya Alra, dan Yahya jika cowok itu memiliki banyak tugas atau meminta ijin kepada Aisyah untuk main keluar bersama rombongan temannya yang sudah datang menjemput. Ada banyak, tapi masih bisa di hitung dengan jari.
Biasanya mereka mencari tempat tongkrongan di bengkel motor, pinggir jalan tepatnya di penjual kopi lesehan yang buka dari pukul lima sore sampai dua belas malam. Itu pun kalau masih ingat pulang, biasanya sampai subuh. Intinya uang mengalir dengan jam yang bertambah kata si pemilik kedai kopi.
Jika tidak di dua tempat itu, biasanya Yahya menghabiskan malam di rumah neneknya - ibu Dian yang rumahnya tak begitu jauh, tapi lebih dekat dengan sekolah Yahya sekarang ini. Apa lagi teman-temannya juga banyak yang tinggal di daerah itu, sangat banyak dengan teman baru juga yang memiliki hobi sama dengannya.
"Bentar ya, aku liat kamar keluarga dulu masih aktif atau engga. Soalnya aku takutnya mereka denger kita lagi ngobrol, terus aku di marahin, abis itu di suruh tidur," ucap Alra, beranjak dari kasurnya, dan mulai mengambil langkah lamban.
Hendrik tak berbicara sepatah kata pun, sesuai dengan instruksi. Cowok itu manut saja dengan apa yang perintahkan, padahal suaranya tak akan terdengar meskipun dia berbicara dengan lantang, yang menjadi sumber masalah adalah suara Alra yang tak bisa dia kecilkan volumenya. Terlalu besar, apa lagi ketika tertawa. Kadang-kadang Aisyah memberikan peringatan setelah marah, atau menegurnya agar bisa bersikap lebih anggun.
Tertawa dengan volume yang cukup, tidak begitu lebar dengan membuka bibir yang amat besar. Lalu etika makan pun wanita itu selalu memberitahu, tidak boleh bersuara antara piring dengan sendok atau garpu, tak boleh makan dengan suara di mulut karena tak sopan, kemudian tidak boleh memasukkan banyak makanan sekaligus, harus sedikit demi sedikit yang penting selesai meskipun waktunya cukup lama.
Lampu kamar sudah mati, lampu ruang tamu pun sudah mati. Alra menghembuskan napas leganya sebelum berlari menuju kamar, mengunci kamarnya, dan kemudian mematikan lampu. Dia suka tempat gelap, tapi takut dengan hantu meskipun tak pernah melihat sosok itu, hanya tahu dari film bioskop atau film hantu yang tayang di televisi, dan YouTube.
"Udah pada tidur," ucap Alra, menoleh ke arah jam dinding, jarum jam menunjuk pada angka 21.30 malam. Sudah waktunya untuk tidur bagi anak umur 14tahun, "Kamu gak tidur Hen?"
"Tadi katanya kamu gak bisa tidur, jadi sebagai teman yang baik aku mencoba untuk memberikan suara sebagai teman sebelum tidur," sahut Hendrik di seberang sana dengan kekehan.
Alra memutar bola matanya malas karena kalimat itu terdengar sangat alay, begitu jelek sampai dia tak ingin mendengarnya lagi, "Kamu lagi di mana? Rame banget tempatnya."
"Lagi di tempat tongkrongan sama temen, kamu mau ke sini?"
"Gila! Di marahinlah aku entar sama ibu, kamu tuh kalau ngomong gak mau di pikir dulu!"
"Ehehe! Kan tawaran doang Alra, bukan perintah. Santai dong santai!" ucap Hendrik, kekehannya masih berlanjut setelah kalimat itu selesai dia lontarkan.
Alra kembali menghembuskan napas panjangnya, mengubah posisinya menjadi tidur, tapi kaki masih ada di bawah seakan dia duduk, "Besok gak ada matematika, tapi aku bingung jawab apa sama temen kelas soal bolos tadi."
"Bilang aja kalau kamu bolos, apa salahnya jujur? Lagian cuman temen kelas kan?"
"Mereka tuh cepu! Suka ngadu, suka cari muka sama guru. Gila ya, anak-anak di sini aneh semua, dari kecil udah paham sama yang namanya pacaran, adu domba, cepu, sok jaim padahal ewh! Terus juga suka banget deket sama guru biar dapet perhatian, sok banget jadi yang paling pinter," omel Alra, mengeluarkan semua gerutuan, dan unek-unek di dalam kepalanya dengan jengkel.
"Waduh! Banyak juga, tapi di kelasku mereka emang pinter, cuman... masih mau temenan sama semua anak perempuan. Kelasmu mah engga, bikin geng kaya gitu buat apa?"
"Nah! Itu dia, tau gak sih mereka anak pinter awal-awal deket sama aku, terus pas tau aku gak pandai di beberapa bidang langsung gak temenan sama aku lagi astaga! Padahal kan gak harus pinter di segala mata pelajaran, aku jago di bagian seni, tapi engga di matematika, terus aku bodoh? Enggalah!"
"Iya kamu bener kok, aku juga gak pinter di matematika, tapi aku bisa di bidang olahraga, sama mapel IPS. Gak semuanya bisa nerima kekurangan kamu Al, ada banyak orang yang mempermasalahkan soal itu, tapi gak semua orang juga yang kaya gitu, ada sebagian orang yang gak begitu mentingin kekurangan kamu kok," sahut Hendrik dengan bijak.
Alra mengangguk paham, dia juga merasakan hal itu di rumahnya. Aisyah, dan Dian selalu menerima semua nilainya yang jelek, tapi harus jujur untuk syarat paling sulit, dan paling gampang. Jujur memang mudah, tapi untuk kemarin ketika mendapatkan nilai nol membuatnya merasa bersalah, apa lagi dengan kenangan yang dulu.
Ketika dia mengambil sebuah kotak pensil yang ada di kolong meja. Milik salah satu kakak kelasnya, anak kelas enam. Anak perempuan yang entah namanya siapa, meminta untuk di kembalikan. Dia juga mengadu pada kepala sekolah, tapi tak ada teguran yang Alra dapat. Teman-temannya menyuruhnya untuk mengembalikan, dan meminta untuk membuka tasnya.
Dia lakukan setelah menyembunyikan kotak pensil itu di tempat yang aman. Teman-temannya percaya, tapi tidak dengan si pemilik kotak pensil. Sampai akhirnya bell pulang, Alra pulang dengan jantung yang berdegup dengan kencang, masuk ke dalam kamarnya melihat isi dari kotak pensilnya. Isinya seperti milik anak kelas enam yang akan mengikuti ujian Nasional, lengkap dengan penggarisnya. Tak lama dia buang ke kebun belakang rumah, dia pendam di dalam tanah sebelum kembali ke kamar.
Masih tidak tahu kenapa melakukan itu, padahal tak ada rasa senang, dan jengkel. Malahan merasa bersalah, ketakutan sampai besoknya tak mau ke sekolah. Alasannya pada ayah karena tak ada pelajaran sejak kemarin, jam kosong. Memang ada benarnya, tapi ternyata di hari dia membolos ada pengambilan nilai penting di salah satu mata pelajaran.
"Alra, udah jam segini kamu gak tidur?" ucap Hendrik.
"Udah ngantuk, aku duluan ya!" sahut Alra sebelum akhirnya menutup sambungan telepon, dan tidur.