Langkah kaki kecil dua bocah bersepatu lengkap dengan kaos kaki nampak begitu lirih. Salah satunya sesekali menendang kerikil yang ada di atas permukaan jalanan sebelum akhirnya berhenti. Di depan pagar hitam yang menjulang tinggi, terlihat kunci pagarnya terbuka. Membuat pintu pagar itu tak bisa diam di tempatnya karena di terpa angin yang lumayan kencang.
Alra memposisikan dirinya menjadi berhadapan dengan Hendrik. Memberikan tatapan tanpa arti, tatapan datar seperti biasanya, "Mau mampir?"
"Ada siapa di rumah?"
"Ibu doang sih, kenapa?"
Hendrik tersenyum sambil memperhatikan rumah besar itu, dan kemudian menggelengkan kepalanya. Entah apa yang cowok itu pikirkan, tapi Alra nampak biasa saja. Tidak mau peduli dengan isi kepala Hendrik, lagi pula dia memiliki masalah sendiri yang harus dia pecahkan. Masalah yang menurutnya lebih rumit dari pada masalahnya dengan orang lain.
Terlalu banyak orang yang tidak menyukainya membuat Alra risih secara tiba-tiba, tapi kemudian kembali cuek untuk melangkah pergi dengan sangat percaya diri. Semua orang menjadi geram, dan semakin membuat rumor yang selalu saja aneh. Tak bisa dia terima, tapi menurutnya jika tidak benar, untuk apa marah? Biarkan saja mengalir, dan pasti akan hilang dengan sendirinya.
Orang-orang yang tidak menyukainya itu yang kekurangan pekerjaan, seharusnya mereka meluangkan waktu untuk mencintai diri sendiri dengan melakukan sesuatu yang berguna. Akan tetapi, ini tidak seperti itu, hal yang tak berguna mereka lakukan dengan perasaan kesal serta senang yang bercampur menjadi satu. Seakan ada bom di dalamnya, yang pasti akan meledak sewaktu-waktu, hanya saja Alra belum tahu kapan benda itu meledak. Jika sebentar lagi dia harap mereka semua akan sadar dengan apa yang mereka lakukan.
"Aku langsung aja ya Al."
"Kenapa?" sahut Alra datar.
"Gapapa, udah waktunya pulang. Aku belum ambil tas juga," jelas Hendrik dengan alasan yang membuat Alra berdecih.
"Temenmu kan yang bawa tasnya? Mana mungkin di tinggal di kelas, aku gak percaya."
Cowok itu terkekeh sambil menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal, "Ehehe! Iya, jadi sekarang mau ke tempat tongkrongan buat ambil tasnya."
"Di rumah makan tadi?"
Hendrik menggeleng, mengubah posisi tangannya menjadi lebih nyaman, dan berkata, "Engga, aku sama yang lain kalau jam-jam segini suka nongkrong di bengkel."
"Oh gitu. Oke, take care ya!"
"Ha?"
"Hati-hati di jalan!"
"Oh iya!" sahut Hendrik dengan senyum sebelum berlari meninggalkan Alra. Gadis itu memperhatikan punggung Hendrik yang semakin lama tak terlihat, menghilang memasuki gang yang lumayan lebar dengan lari yang cepat.
Alra menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis sebelum akhirnya masuk. Mengunci pintu pagarnya agar tidak tertiup angin seperti tadi, dan dia rasa semua anggota keluarganya sudah ada di rumah. Yahya pun sudah pulang, padahal biasanya dia datang jam tiga atau jam empat sore.
"Yang tadi siapa?"
Alra menoleh, langkahnya terhenti di dekat gazebo. Menatap Yahya datar, dan kemudian mengangkat kedua bahunya, "Temen, kakak kelas."
"Temen beneran?"
"Iyalah, mana mungkin aku punya pacar. Itu gak akan mungkin terjadi! Masih SD juga udah mau punya pacar?" Alra menggeleng, "Temen beneran kok, temen main."
"Kenapa temennya gak di ajak mampir sih Al? Harusnya kamu ajak makan siang bareng!" ucap Aisyah, membawa nampan berisikan makanan. Dia letakkan di gazebo tempat Yahya duduk.
Tak lama Aura datang membawa botol minum dingin beserta gelas, sementara Acha membawa piring yang lumayan banyak, dan pasti berat. Mereka mulai duduk melingkar, dan Alra masih ada di posisinya. Berdiri sambil memperhatikan.
"Alra, ayo makan! Ganti baju terus ikut makan cepet!" titah Aisyah, membuka toples kerupuk.
"Iya." Alra berlari memasuki rumah, menaiki anak tangga dengan cepat. Dia segera mencuci tangan, wajah, kaki, dan kemudian mengganti pakaiannya dalam waktu singkat. Sepertinya hanya lima menit sebelum akhirnya ikut duduk di samping Yahya.
Makan seperti ini jauh lebih enak ketimbang harus duduk di atas kursi, dan menikmati dengan meja makan. Alra suka dengan lesehan di atas gazebo rumahnya, biasanya mereka makan seperti ini karena ada Dian atau tamu keluarga dari Aisyah, Dian, atau mungkin seorang teman lama yang tiba-tiba bertamu.
"Ayah, tadi telepon katanya masih belum bisa kirim uang lewat ATM, di sana masih belum ada bank. Jadi lewat toko-toko gitu, minimarket yang lumayan canggih," ucap Aisyah di sela makannya, "Jadi nanti tolong kamu ambil uangnya di indomart sama Alra ya Yahya!"
Yahya mengangguk menurut, "Iya Ma, nanti aku ambil."
"Alra, lain kali kalau ada temen jangan berdiri di depan pintu! Ajak masuk, ajak makan juga sekalian!"
"Iya, tadi aku tawarin buat mampir kok, cuman dia mau pulang buru-buru makanya lari. Emang anaknya gak punya rejeki aja, makanya buru-buru pulang," sahut Alra dengan enteng.
Aisyah menggeleng tak percaya dengan apa yang anaknya katakan barusan, "Mama tadi nemu kertas di belakang, punyamu ya? Dapet angka nol di soal matematika."
Alra tertegun, jantungnya berdegup lebih cepat dengan kepanikan. Tak tahu harus berkata apa, tapi dia mencoba untuk bersikap lebih tenang dengan menatap manik mata Aisyah, "Iya, punyaku. Kan aku udah bilang sama Mama kalau aku gak bisa, sampai di pukul gitu sama gurunya. Mama kan udah tau, udah aku ceritain juga kemarin."
"Oh yang itu, tapi kenapa harus di buang kertasnya? Emang udah gak penting?"
"Iya, buat apa sih Ma harus ada nilai jelek di buku? Mendingan di sobek, di buang jauh-jauh. Eh, tapi gak jauh, buktinya Mama temuin juga."
Aisyah menghembuskan napas panjangnya, menatap putrinya dengan tatapan tak percaya sambil menggeleng, "Sebenernya gak papa mau dapet nilai berapa aja, mama sama papa gak pernah nuntut nilai bagus, tapi tetep harus belajar beneran! Maksudnya kalian harus semangat sekolah supaya nanti bisa jadi orang yang berguna."
"Berguna buat siapa? Buat bangsa sama.negara?" Alra menatap Aisyah dengan tatapan yang tak bisa di mengerti, "Berat Ma, mendingan Mana suruh kita jadi anak-anak yang berbakti sama orang tua aja! Tugas yang ini gak begitu berat ketimbang harus sama negara."
"Astaga! Bisa aja kamu ngelesnya!"
Alra terkekeh kecil, kembali menikmati makanannya dengan suasana hati yang mulai membaik. Jantungnya juga berdegup lebih santai sekarang, sepertinya suasana tegang tadi telah menghilang, Alra berhasil.
"Ma, tadi aku dapet nilai seratus buat ulangan harian matematika!" ucap Aura dengan wajah yang penuh semangat.
"Wah! Pinter anak mama, bisa dapet nilai seratus. Pasti guru Aura juga suka, bisa punya murid pinter!"
"Iya dong, satu kelas yang dapet seratus bisa di hitung, aku salah satunya!"