Aisyah meletakkan dua piring di atas meja, salah satunya berisi ikan tongkol, dan satunya yang menggunakan piring kaca berisi sayur kacang panjang. Alra ikut meletakkan sambal kesukaan keluarganya, sambal orek kata Dian. Hanya berisi tiga cabai rawit merah, garam, micin, dan kemudian perasan jeruk sambal. Terasa nikmat ketika menyantapnya dengan nasi panas beserta ikan laut.
Gadis itu duduk di samping Yahya, mengambil piring bulat pipih berwarna putih dengan diameter lebih dari 20cm. Alra sangat suka dengan piring yang satu ini, padahal yang lainnya memilih piring biasa. Tak begitu lebar, dan tak begitu rata, sesuai dengan piring yang orang miliki.
Malam ini mereka memulai makan malam tanpa Dian untuk yang kesekian kalinya. Pria itu masih belum pulang, katanya pekerjaan di kota itu masih belum selesai, masih sangat banyak, dan harus segera dia selesaikan dengan waktu yang mungkin bisa di katakan cukup panjang.
"Ambilnya satu aja Acha, nanti gak abis!" ucap Alra sambil meletakkan satu ikan tongkol yang ukurannya lumayan besar pada piring berbeda, tepat antara dia, dan Ahca, "Ini buat berdua atau bisa bertiga, nanti pas abis ambil lagi!"
"Iya-iya," sahut gadis kecil itu dengan sedikit jengkel.
Aisyah yang melihat perlakuan kasar Alra pada adiknya menggeleng dengan kening bertaut, "Alra, jangan kaya gitu! Lauknya masih banyak, mau ambil berapa pun gapapa!"
"Iya Mama, tapi kan harus habis, gak boleh sisain makanan!"
Aisyah menghembuskan napas perlahan, tak akan menyela lagi karena memang yang dikatakan anak perempuannya ini memang benar. Tak ada yang salah, dan tak bisa di marahi lagi. Lagi pula itu juga dia sendiri yang mengajari kepada semua anak-anaknya untuk tidak membuang-buang makanan.
Para orang tua kesulitan untuk mencari uang yang akan digunakan untuk membeli bahan makanan, menjadikan bahan-bahan mentah itu sebagai makanan dengan cita rasa yang begitu lezat, dan sangat di sayangkan jika mereka di buang begitu saja. Nasi akan menangis kata orang dulu, dan katanya juga akan ada hari kejujuran setelah kematian. Hari di mana semua akan berkata jujur atas apa yang kita lakukan selama di bumi, termasuk benda-benda mati ini.
Alra menikmati makanannya kembali dengan nikmat, sambal yang dia buat sudah habis tak tersisa. Semua anggota keluarganya menyukai sambal yang lumayan pedas itu, Aisyah yang tidak begitu suka pedas. Katanya akan kesulitan untuk menahan BAB ke toilet, makanya Alra hanya memakai tiga buah cabai rawit. Kadang dia memakai empat, tapi menjawab jika hanya memakai tiga. Kebohongan demi memanjakan lidahnya sendiri, tapi tidak memikirkan orang lain namanya egois, Alra tahu, tapi dia tidak merasa bersalah untuk beberapa kali.
"Besok pagi mau di buatin sarapan apa?" ucap Aisyah memecahkan keheningan meja makan.
"Nasi goreng tanpa saus aja Ma!" sahut Acha dengan begitu semangat.
"Tambah telur!" imbuh Aura yang tak kalah semangatnya, bahkan mulutnya masih penuh dengan makanan yang belum selesai di kunyah.
"Iya, besok nasi goreng pakai telur ya!"
Alra hanya mengangguk tanpa menatap ibunya, sibuk memilah daging berwarna hitam, dan putih. Katanya daging berwarna hitam ini tak begitu enak, lebih banyak rasa pahitnya.
"Alra, besok mau bawa bekal ke sekolah atau engga?"
Gadis itu menggeleng, kali ini dengan menatap Aisyah, "Gak mau, gak suka, besok aku pulang aja ke rumah kalau pengen makan nasi gorengnya lagi."
"Kalau kamu Yahya?" Aisyah mengalihkan pandangannya pada anak laki-lakinya yang masih sibuk menegak air mineral.
"Aku bawain satu kotak aja Ma, telurnya yang tebus setengah matang ya!" sahutnya setelah selesai meletakkan gelas kosong di atas piring kotor.
"Berarti yang gak bawa bekal cuman Alra ya?"
"Iya," sahut Alra, mengambil satu ikan lagi yang ukurannya lebih kecil dari sebelumnya beserta nasi hangat. Perutnya masih belum terasa penuh, masih ingin menghabiskan hasil laut yang berbau amis, tapi sangat lezat di lidahnya.
Sementara Yahya dan Aura memilih untuk menikmati sayur kacang panjang tanpa adanya nasi. Katanya sih lebih enak, dan lebih sehat, padahal menurut Alra lebih enak menikmati sayur sop, atau sayur yang lain, tapi bukan kacang panjang. Gadis itu tak menyukai kacang panjang, tapi masih bisa menikmati sayur itu.
"Kalau makannya udah selesai, sekarang cuci tangan, sikat gigi, terus tidur!" ucap Aisyah sebelum beranjak membawa piring kotornya ke wastafel.
****
Gadis cantik itu masih saja memperhatikan bulan, kembarannya yang terlihat lebih kecil darinya. Tempat tinggalnya di angkasa bersama satelit, dan planet-planet lainnya. Ada banyak teman yang pasti terasa lebih seru ketimbang teman Alra di bumi, padahal manusia bisa berbicara panjang lebar dengan cerita yang bisa di katakan sangat menarik.
Alra mulai menghembuskan napas panjang. Beralih merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Tak ada yang ingin dia lakukan sekarang, kantuk juga belum datang, padahal ini sudah pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk tidur, tapi kedua netranya masih ingin terjaga lebih lama.
Sepertinya ini karena pelajaran matematika yang tadi, masih terbawa hingga sekarang, dan menurut Alra, ia trauma. Trauma dengan kemarahan Pak Narto, apa lagi dengan penggaris kayu panjang itu, astaga! Rasanya tak ingin kembali menemui manusia itu, dan mengikuti pelajarannya seperti biasa.
Alra kembali menghembuskan napas panjang, mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap sambil menutup wajahnya dengan dua tangan dari samping kanan. Ini akan menjadi mimpi paling buruknya dengan mata panda pasti, dan mungkin juga dia akan bangun kesiangan besok karena masih belum bisa tidur.
Alra tak tahu, dia tak berani untuk keluar, dan di permalukan lagi oleh pria itu. Mengadu pada Aisyah pun tak ada gunanya, apa lagi dengan Dian, tentu ayahnya akan marah dan memberikan ceramah beserta bentakan di dalam telepon. Suara yang lebih tegas dari Pak Narto, tapi tak membuatnya trauma itu jauh lebih menakutkan.
Alra tak peduli lagi, tapi dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan hari esok. Sudah jelas dengan siapa, dan di mana. Bisa dia pastikan besok adalah hari yang paling berbeda, bisa dikatakan dia akan menjadi nakal.
"Alra, lampunya di matiin terus cepet tidur!"
Suara lantang dari Aisyah itu membuat Alra terbangun, beranjak dari kasur dan segera merebahkan tubuhnya lagi. Berpura-pura tidur ketika suara langkah terdengar mendekat.
Pintu kamarnya terbuka agak lebar, tapi tak ada kalimat yang Aisyah keluarkan. Wanita itu mematikan lampu kamar putrinya sebelum menutup kembali pintu kamar itu.
Alra menghembuskan napas leganya, posisinya dia ubah lagi menjadi tengkurap sambil membuka selimut tebal yang membuatnya gerah. Lagi-lagi posisinya tak menyenangkan, tapi terserah, Alra memejamkan matanya, dan mulai membuat mimpi dengan sesuka hati.