Chereads / LINDAP / Chapter 24 - Dua Puluh Empat

Chapter 24 - Dua Puluh Empat

Langit nampak begitu cerah pagi ini, suara burung berkicau pun terdengar begitu gembira padahal gadis yang sedang berdiri di balik gorden jendela nampak begitu murung. Segera dia tutup gorden keduanya agar tak bisa melihat awan lagi, hembusan napas kesal keluar begitu dia menarik ransel hitam yang sudah siap di meja belajar.

Kaki jenjangnya melangkah keluar, menuruni anak tangga menuju ruang makan keluarga yang terlihat sudah penuh. Mereka semua nampak begitu ceria dengan kegiatan yang akan segera dilakukan, sementara Alra memutar bola matanya sebelum akhirnya duduk, dan melahap nasi goreng tanpa kecap ataupun saus.

Rasanya enak, tapi tak senyaman biasanya untuk menyantap makanan di pagi hari. Moodnya sudah kacau dengan pelajaran matematika siang nanti, tepat jam pertama setelah bel istirahat berakhir.

"Susunya di minum Al!" Aisyah meletakkan susu cokelat tepat di samping putrinya kemudian mengelus puncak kepala Alra lembut.

Gadis itu mengangguk setuju, melahap habis sarapannya sebelum menegak air mineral sedikit, dan beralih pada susu cokelat lezat kesukaannya. Namun, tetap saja perasaannya kacau, dan di selimuti ketakutan yang cukup mendalam.

Alra menghembuskan napas panjangnya sebelum beranjak, "Aku berangkat duluan ya!"

"Loh! Kenapa cepet banget Al? Ini masih jam setengah tujuh kurang, biasanya juga jam tujuh kurang lima belas kamu berangkat sama Aura," ucap Aisyah.

"Mau ngerjain tugas sama temen Ma."

"Kamu kalau punya masalah sama temen ngomong sama mama ya sayang!" Aisyah memberikan tatapan khawatir pada putrinya yang satu ini.

"Gak ada Mama, beneran gak bohong."

Aisyah menghembuskan napas berat sambil menatap Alra dengan tatapan yang tak bisa di artikan. Alra segera menghampiri ibunya, dan mencium punggung tangan yang mulai nampak akan keriput sejenak. Kemudian berjalan pergi, menuju neraka. Tempat mengerikan yang seharusnya bisa menjadi tempat paling nyaman untuk di huni.

Entahlah, Alra tak tahu harus apa, tapi dia tetap wajib ke sekolah. Aisyah tak akan memberikan ijin untuknya bolos sekolah atau memberitahu jika sedang sakit yang di buat-buat. Wanita itu tahu segalanya, kecuali jika dia benar-benar sakit. Biasanya sakit perut karena habis memakan rujak pedas, tapi sedang tidak ada rujak, dan tidak bisa berbohong. Alra menyerah.

Tak lama dia sampai di sekolah, menginjakkan kakinya tepat di ambang pintu pagar sekolah dengan hembusan napas panjang. Rasanya ingin pulang, tapi strategi yang sudah dia lakukan pasti akan berhasil hari ini. Lagi-lagi gadis itu menghembuskan napas panjang, melangkah maju dengan penuh percaya diri.

*****

Jam istirahat telah berakhir, Alra tak ada di mana pun. Kelas pun sudah penuh, dan hanya kursinya yang kosong. Tas ranselnya pun tak ada, dan anehnya tak ada seorang pun yang mencarinya atau merasa jika ada satu orang yang kurang. Memang tetap diam, sibuk dengan buku pelajarannya. Tak lama kemudian pria paruh baya dengan tubuh jakung tinggi datang, membawa buku tebal matematika beserta buku lain yang entah apa isinya.

Pak Narto membuka buku absensi, memanggil setiap nama dari awal sampai akhir, tapi dia juga tidak merasa aneh. Tak ada jawaban dari murid terakhir bernama Alra pun merasa biasa saja, pelajaran di mulai dengan semestinya.

Sementara di bagian belakang sekolah, dekat dengan tempat pembuangan sampah berbak besar dengan warna hijau yang dominan terlihat Alra sibuk mencari-cari sesuatu yang bisa dia pijaki. Tak ada batu di sana, tak ada apa pun, dan tidak akan mungkin dia menaiki bak sampah penuh dengan wangi tak sedap. Ibunya akan tahu jika dirinya membolos, dan pasti wangi tak sedapnya akan terus melekat layaknya parfum dengan harga yang sangat mahal.

"Mau ngapain?"

Suara itu membuatnya membeku, kedua netra Alra membulat sempurna tanpa ada niatan untuk menoleh ke belakang.

"Mati gue!" gumamnya, mulai menoleh secara perlahan.

"Hai!"

Sontak saja Alra melotot, menghampiri cowok sok ganteng itu, dan memukul lengan kanan Hendrik dengan kasar, "Ngapain sih nakutin gitu?"

"Kan nanya mau ngapain, emangnya salah?" sahut Hendrik dengan tampang tak berdosa.

"Kan udah keliatan kalau mau kabur, ngapain harus nanya dulu sih? Aneh banget jadi orang, heran deh gue bisa papasan mulu sama lo." Alra berkacak pinggang, menghembuskan napas kesal dan kembali berbalik untuk mencari cara lain agar bisa keluar dari gedung ini.

"Mau gue bantu?"

"Emang bisa?" Alra menoleh, salah satu alisnya terangkat, "Nanti lo gendong gue atau gue naik ke atas punggung lo kaya di film-film?"

"Hadeh! Capek, malah ngomongin film. Udah ayo ikut!" Hendrik menggandeng lengan Alra erat, mendekati tembok yang lumayan tinggi dan mulai mengambil ancang-ancang.

Cowok itu tetap berdiri, tapi sedikit membungkuk. Memberikan tangan yang membentuk, sebuah kode untuk Alra. Gadis itu paham, memposisikan salah satu kakinya tepat pada tangan Hendrik yang sudah siap. Sekarang dia naik, mencoba untuk lebih tinggi lagi sampai akhirnya duduk di atas.

"Lo gimana?" tanya Alra, menoleh ke bawah, tapi tak lama Hendrik sudah ada di sampingnya dengan cara melompat, "Anjir cepet banget."

"Jadi kita mau ke mana? Biasanya anak kota kalau bolos sukanya ke mall sih, kamu mau ke mall? Eh tapi di sini gak ada mall, adanya swalayan."

Kening Alra bertaut dalam, dia tak pernah bolos sekolah di sekolahnya yang dulu. Ini kali pertamanya, tapi tak mungkin juga membahas soal itu yang ada Hendrik akan tertawa terbahak-bahak sampai guru lain dengar kemudian memberikan mereka hukuman.

Gadis itu tak menjawab apa pun, memilih untuk turun, dan berjalan menjauh. Sementara Hendrik hanya terkekeh, dan berlari setelah turun mengejar Alra yang cukup jauh dari tempatnya. Sekarang mereka berjalan beriringan, sesekali Hendrik memberikan lelucon yang sama sekali tidak lucu, sementara Alra tetap membisu dengan wajah juteknya.

Ada banyak beban pikiran yang harus dia pecahkan, semua masalah berkumpul menjadi satu, tapi tak satu pun bisa dia selesaikan dengan waktu singkat. Yang ada malah berbulan-bulan dan menjadi semakin rumit atau mungkin terlupakan.

"Mau ke hutan?"

"Banyak nyamuk," tolak Alra ketus.

"Kalau main time zone mau?"

"Emang ada?"

"Gak ada." Hendrik tertawa terbahak-bahak, raut muka kesal Alra tak membuatnya berhenti. Masih saja tertawa sampai akhirnya perut itu terasa sakit, "Oke-oke, maaf ya aku bercanda. Emang gak ada time zone kaya di kota, tapi kayanya dua atau empat tahun lagi pasti ada time zone."

"Udah gede, gak seru lagi main time zone."

"Mau ke sungai? Di sini ada sungai panjang yang di panggil kanal, mau? Jernih kok airnya, ada banyak keong sama kerang juga. Kadang aku sama yang lain suka nyari kerang terus di bakar, di makan rame-rame," ucap Hendrik panjang lebar, dan Alra hanya mendengarkan.