Chereads / LINDAP / Chapter 19 - SEMBILAN BELAS

Chapter 19 - SEMBILAN BELAS

Pelajaran terakhir selesai dengan cepat, dan adzan dzuhur pun telah berkumandang begitu nyaring. Seluruh siswa di dalam mulai mengemas alat tulisnya, memasukkannya ke dalam ransel, dan mulai beranjak untuk pergi keluar.

Gadis berambut panjang itu mempercepat memasukan semua alat tulisnya ke dalam tas, dan berlari menghampiri Tina yang sedang berdiri di ambang pintu kelas dengan temannya yang lain.

"Tina, ada tugas matematika di bab dua, aku gak punya bukunya. Bisa liat tugasnya di buku kamu?" Ujar Alra tanpa basa-basi.

Tina menoleh, memberikan senyum tipis setelah teman-temannya pergi meninggalkan kelas.

"Boleh, tapi bukunya ada di rumah," sahut Tina.

"Gak papa, aku mau kok ke rumah kamu."

"Serius? Rumahku jelek loh, gak sebagus rumah kamu."

Kening Alra bertaut, dia tidak pernah mempermasalahkan rumah teman-temannya yang jelek atau bagus. Bahkan dia juga tidak pernah memberikan ejekan tentang hunian mereka, tapi entah kenapa Tina berkata seakan-akan Alra akan mengejek rumahnya.

"Kenapa kamu nanya kaya gitu?" tanya Alra.

Tina mengangkat bahunya acuh, "Engga, gak papa, ayo pulang!"

Alra masih memperhatikan punggung Tina yang mulai menjauh dengan kening yang bertaut semakin dalam. Tingkah teman barunya itu sangat aneh, dan seharusnya dia memberikan alasan ketika Alra bertanya, bukan jawaban yang tidak menjelaskan sesuatu seperti tadi.

Alra menghela sekilas sebelum akhirnya berlari menyusul Tina yang mulai menjauh.

Mereka berdua berjalan beriringan dengan siswa lain yang katanya tetangga dekat Tina. Sepanjang perjalanan Alra memperhatikan sekitarnya yang menurutnya masih asing, jalanan jelek dengan batu krikil, seharusnya aparat desa memberikan bantuan untuk memperbaiki jalanan yang tidak layak ini.

Orang yang melewati jalanan rusak ini juga pasti merasa tidak nyaman, terutama dengan pengendara bermotor yang akan takut kendaraannya rusak, dan pejalan kaki yang takut paru-parunya rusak karena debu yang datang.

Sekarang kanal mulai terlihat, Alra, dan teman-temannya yang lain mengambil langkah untuk menyeberangi jalanan yang lumayan besar itu.

Mereka berjalan di tepi kanal panjang secara beriringan. Tempat ini masih sangat asri dengan area pesawahan yang membentang dengan begitu luas.

Di pinggir kanal sekarang terlihat jejeran rumah yang berada di bawah, Alra, dan Tina turun sedikit. Masuk ke dalam rumah dari kayu yang sangat pendek. Kira-kira tingginya hanya dua setengah meter, tidak setinggi Rumah Alra, tapi suasananya terasa begitu nyaman karena angin yang terus berdatangan.

"Eh Al, kamu tunggu di luar ya!" titah Tina tiba-tiba.

"Ah! Iya," sahut Alra, berjalan keluar, dan duduk di salah satu kursi yang terbuat dari bambu.

Gadis itu masih memperhatikan sekelilingnya. Teras rumah milik Tina sangat kecil, tapi tidak sempit juga, ada banyak tanaman hias yang dia letakkan di depan. Tanpa adanya pot pun taman kecilnya terlihat indah, bahkan lebih indah dari kebun miliknya yang ada di rumah.

Alra tersenyum tipis, dia suka dengan tempat ini. Angin yang datang membuatnya mengantuk, tapi ada juga yang membuatnya takut. Banyak pertanyaan tentang banjir yang datang, dan bagimana jika ada air kanal  yang keluar? Alra terus berpikiran negatif karena di sini di jadikan pemukiman, seharusnya orang-orang membeli rumah yang jauh  dari kanal.

"Ini bukunya, aku mau ke barat dulu ya Al." Tina memberikan buku paket matematika itu tiba-tiba.

Alra menoleh dengan kening bertaut saat menerima bukunya, "Kamu mau ke mana?"

"Ke barat."

"Mau ngapain?"

"Buang air, kamu tunggu di sini ya!" sahut Tina  cepat, berlari mengambil sepedah kayuhnya, dan melesat pergi dengan cepat.

Alra semakin penasaran dengan tempat ini, tapi dia urungkan untuk banyak bertanya atau mencari tahu sendiri. Lebih baik menunggu Tina sambil mengerjakan semua tugas miliknya yang belum selesai.

Gadis itu mengambil posisi yang lebih nyaman, mengeluarkan buku-bukunya di atas kursi, dan mulai mengerjalan.

Tugasnya lumayan sulit, tapi Alra tidak mempermasalahkannya. Dia terus mengerjakan sesuai kemampuannya, masa bodo dengan salah atau benar nantinya, yang terpenting tugasnya selesai dengan cepat, dan sesuai dengan hari yang di tentukan.

Suara sepeda yang berhenti itu terdengar, Alra menoleh. Memperhatikan Tina yang sekarang berjalan mendekatinya, dan ikut duduk di depan Alra.

"Kamu kenapa gak buang air di rumah aja? Malah pergi ke sana?" Alra menunjuk tempat yang Tina hampiri tadi.

"Rumahku gak ada toiletnya, cuman buat mandi, sama buang air kecil doang," sahut Tina dengan begitu santai.

Alra membuka bibirnya dengan raut muka tak percaya. Dia benar-benar terkejut akan penjelasan Tina barusan, ini sudah tahun dua ribu tiga belas, bagaimana bisa masih ada orang yang tidak memiliki toilet di dalam rumahnya?

"Kenapa kaget sih? Di sini tuh yang tinggal deket kanal gak ada yang punya toilet. Malahan tetangga yang di rumah kamu juga ada yang gak punya toilet," ucap Tina.

"Seriusan? Kenapa bisa gak punya toilet? Emangnya gak bingunh waktu mau buang air besar?"

Tina menggelengkan kepalanya, "Aku gak tau sih alesan kenapanya, tapi emang gak ada yang punya. Kalau mau buang air ya tinggal pergi, terus ke kanal yang sepi supaya bisa buang air."

"Kalau malem gimana?"

"Biasanya sih kalau aku minta di anterin sama kakak atau ibu, kalau gak gitu ya di tahan, apa lagi pas lagi hujan."

"Di tahan? Kamu kuat ya bisa tahan BAB kaya gitu? Wah! Gila sih, kenapa gak beli aja sih Tin?" ucap Alra yang masih tidak percaya.

"Mahal Al, gak semurah itu. Mungkin menurut kamu murah, tapi buat aku sama warga yang lain tuh mahal. Uang dua ratus ribu buat beli itu bisa di pake makan selama sebulan. Belum lagi uang buat bayar tukang yang juga bisa di pake buat makan selama sebulan," jelas Tina.

Penjelasan itu memang benar, Alra tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang membutuhkan uang seperti orang-orang di sini. Dia juga tidak tahu bagaimana rasanya kekurangan.

Alra menganggukkan kepalanya pelan, ekspresi terkejutnya tadi membuat dia merasa bersalah sekarang.

"Kamu tau gak, kanal di sini itu di manfaatin. Ibu-ibu di sini pake airnya buat cuci baju, cuci piring, pokoknya semuanya di pake," ucap Tina.

"Oh, ibu-ibu tadi itu lagi cuci baju ya?"

Tina mengangguk.

"Kenapa cucinya di kanal? Kenapa gak di rumah aja?"

"Kalau bisa di kanal kenapa harus di rumah? Enakan di kanal, kan bisa sekalian bilas, pulang-pulang bajunya bersih tinggal di jemur aja," jelas Tina.

Alra kembali berpikir, dia tidak bisa melakukan hal itu. Tempat ini di gunakan untuk buang besar, dan kecil. Di pakai untuk mandi, dan segala keperluan rumah tangga yang pasti akan menumpuk bakteri. Bagaimana bisa air yang bercampur dengan tinja di gunakan untuk mencuci baju dan piring?

"Tenang aja kali, airnya gak di pake buat minum."

"Terus beli?"

Tina mengangguk.