Kelas siang ini telah selesai dengan begitu cepat. Namun, sayangnya materi yang di sampaikan guru matematika itu tak ada satu pun yang masuk ke dalam otak Alra. Dia merasa semua angka yang di lihat tadi sangat rumit, apa lagi dengan tambahan rumus yang begitu banyak, dan bercabang.
Hanya helaan napas lega yang dia keluarkan setelah pria paruh baya yang memiliki tinggi sekitar 170cm itu keluar ruangan. Semua alat tulis yang ada di mejanya juga langsung di singkirkan, sekarang kelas kembali sepi. Keheningan kembali melanda dengan suasana hati yang lumayan tenang.
Gadis itu mulai beranjak, mendekati jendela kelas yang ada di bagian belakang. Tepatnya dekat dengan lemari yang berisi alat kebersihan kelas. Di luar sana banyak anak laki-laki yang sedang bermain sepak bola dengan kelas sebelah, ada beberapa anak yang Alra hapal tentunya. Lalu salah satunya sangat tidak asing, anak laki-laki yang suka ikut campur dalam urusannya, dan merasa yang paling tahu.
Akan tetapi Alra suka dengan sikapnya, meskipun tidak semua dia sukai. Ada beberapa ketika dia merasa kelelahan, dan bosan dengan kehidupan barunya sekarang ini.
"Hendrik tuh baik tau."
Suara serak itu membuat Alra menoleh, menatap gadis bernama Bintang itu dengan tatapan datar. Entah apa yang sebenarnya ingin dia katakan, tapi kalimatnya masih berlanjut. Perhatiannya pun masih pada pemandangan luar jendela, seakan ada hal menarik selain permainan sepak bola anak laki-laki di luar sana.
Tak mendapatkan kalimat yang di inginkan membuat Alra kembali menoleh ke depan. Tatapan yang masih datar tanpa ada seulas senyum untuk orang-orang yang berlalu-lalang.
"Alra?" panggil Bintang.
Tanpa menoleh Alra hanya berdeham.
"Tahun lalu aku anak pindahan di kelas, satu kelas sama mereka semua, terus... Jadi salah satu diantara yang lain buat Hendrik deketin. Dia anak yang baik, anak yang lucu, cuman minusnya suka numpang di banyak hati."
Penjelasan Bintang sangat bertele-tele, Alra tidak ingin memperpanjang percakapan ini, tapi gadis itu terus saja berbicara lebih panjang. Padahal Alra tidak berminat sama sekali, apa lagi dengan masalah percintaan yang menurutnya sangat rumit. Dia masih duduk di bangku sekolah dasar, waktunya untuk menekan banyak ilmu dari berbagai macam guru yang hadir.
Bukan bermain hati yang seperti di katakan Bintang barusan. Bukan belajar untuk mencari pacar, dan siapa yang akan mendapatkan banyak hati untuk di huni. Alra tidak mau hal itu terjadi, itu bukan dia, dan bukan juga keinginannya untuk mendekati kata cinta itu.
Helaan napas Alra keluar ketika Bintang selesai berbicara, menoleh ke samping, dan berkata, "Jujur ya Bintang, aku tuh gak suka sama yang namanya Hendrik. Kita deket juga cuman temen, perasaan yang dia punya selama ini tuh cuman antara temen. Perasaan biasa aja yang gak bisa di bilang jatuh cinta. Kita masih kecil, masih jauh banget buat tau yang namanya cinta."
Kening Bintang bertaut, raut mukanya berubah menjadi kesal, "Aku cuman ngasih tau kamu aja, bukan berarti aku nyuruh kamu nerima hendrik!"
"Kalau emang bener ngasih tau aja kenapa marah kaya gini? Aku gak paham sama cara berpikir kalian, kenapa masih kecil udah paham sama yang namanya cinta? Kenapa kalian gampang bilang sayang ke orang yang baru kalian temuin? Terus sekarang kamu ngasih tau soal Hendrik ke aku yang padahal aku gak suka sama dia."
Bintang menghela panjang, beralih menatap ke depan, "Terserah kamu!"
"Memang terserah aku!" sahut Alra sebelum melenggang pergi.
*******
Langkah gadis itu semakin di percepat ketika melewati koridor yang mulai ramai. Anak laki-laki di sebelah kiri masih sibuk bermain sepak bola, dan cara menendangnya pun sangat asal-asalan. Bolanya datang dengan kecepatan di atas rata-rata, sesekali hampir mengenai Alra ketika dia ingin menyeberang ke koridor sebelah.
Mereka sudah pernah mendapatkan peringatan dari kepala sekolah karena memecahkan jendela kaca kelas enam. Seharusnya sekarang merasa jera, dan bermain lebih baik, tapi malah semakin kacau.
Alra menghela lega ketika sampai di kantin, untungnya kantin siang ini sudah sepi. Memilih kursi yang ada di ujung setelah memesan satu batagor pedas dengan air mineral. Perhatiannya masih pada halaman sekolah yang terlihat silau akibat sinar matahari. Terlihat jelas dari tempatnya jika anak-anak itu memiliki banyak keringat, pasti merasa lelah karena sudah berlari di bawah terik sinar matahari selama dua puluh menit lebih.
Suara ketukan mangkuk dengan meja membuat Alra menoleh, memberikan senyum beserta ucapan Terima kasih pada wanita yang sudah membuatkannya batagor pedas. Segera dia nikmati makanan yang terlihat nikmat itu dengan perlahan. Rasa pedas dengan gorengan yang masih panas membuatnya kesusahan untuk menikmati. Keringat mulai muncul di pelipisnya karena hawa yang terasa semakin panas.
"Hai! Alra?"
Gadis itu menatap cowok berkeringat yang dengan santai duduk di depannya. Senyum lebar itu Hendrik berikan untuk Alra, tanpa merasa malu karena bau badan dia masih memberikan senyum yang sekarang lebih lebar.
"Kamu gak cuci muka?" tanya Alra.
"Udah, ini basah akibat air keran tadi kok. Bukan keringat, bau ya?" Hendrik mencium aroma tubuhnya beberapa kali, dan kembali menatap Alra, "Perasaan engga deh Al, aku udah pakai sabun cuci muka sama parfum punya temen. Banyak banget kok aku pakenya, masa masih bau?"
Alra hendak tertawa, tapi dia tahan, dan memilih untuk tertawa di dalam hati. Cowok di depannya ini benar-benar lucu, hanya melihat raut muka Alra saja sudah cukup untuknya tahu soal isi kepala gadis itu.
"Engga kok Hen, gak sesuai sama apa yang kamu pikirin," bohong Alra.
"Ah! Masa sih? Dari raut mukamu aja udah keliatan jelas waktu liat aku tadi, tapi gapapa deh intinya aku gak bau." Hendrik mengambil satu botol air mineral, dan menegaknya hingga habis setengah botol. Dia benar-benar haus sekarang, "Aku pengen batagor juga, tapi punya kamu udah mau abis. Kalau punyaku udah dateng temenin makan ya!"
"Eh?" Alra menatap Hendrik tak percaya, ini kali pertamanya melihat anak laki-laki yang meminta sesuatu secara langsung, dan di depan mata.
"Temenin ya Al!" pinta Hendrik lagi sebelum beranjak, dan memesan satu mangkuk batagor pada Bu Nur.
Setelah selesai memesan, dan pesanannya jadi, Hendrik segera membawa satu mangkuk hangat itu menuju meja yang masih di duduki Alra. Sesuai dengan posisinya yang tadi Hendrik mulai menikmati makanannya, sementara Alra hanya memperhatikan cowok di depannya karena makanannya sudah habis.
Sesuai dengan prediksi Hendrik, dan permintaan cowok itu. Alra duduk diam sambil memperhatikan, sesekali perhatiannya beralih ke luar jendela.
"Tadi kamu berantem sama Bintang ya?"
Alra menoleh, "Engga, cuman ngobrolin hal gak penting."
"Gak usah di dengerin dia ngomong apa ya!"
"Emang."