Pagi ini Timun kembali mendapati kancil yang masih saja berani mencuri timun dari ladangnya.
"Aku sudah memperingatkanmu kancil kecil, dan jangan pikir aku akan kembali melepaskanmu kali ini!"
Kancil yang belum sempat menghabiskan mentimun pertamanya segera berjengit saat suara gadis muda itu tiba-tiba mengejutkannya. Kancil segera berlari secepat kilat kembali kearah hutan. Timun pun tak mau mengalah, gadis itu benar-benar tidak segan mengejarnya walau hingga sampai jauh ke dalam hutan sekalipun.
"Sudah kubilang aku tetap akan menemukanmu kaki kecil!"
"Keluarlah atau aku yang harus menyeret ekormu ! "
Kancil yang masih terengah-engah dalam persembunyiannya sadar jika percuma saja bersembunyi dari gadis itu, bagaimanapun Timun tetap akan menemukannya. Kancil pun akhirnya keluar dari persembunyiannya dengan menggoyang-goyangkan ekor kecilnya berjalan takut-takut mendekati Timun yang sudah berkacak pinggang siap dengan kemurkaannya.
"Suda kuperingatkan jangan pernah berani mencuri di ladangku!"
"Maaf, Timun, aku sangat lapar," rengek si kancil.
"Kau bohong! terlalu banyak makanan di hutan ini jika kau menginginkannya, tapi kau lebih suka membuat orang tuaku sedih karena kau merusak ladangnya lagi."
"Maafkan aku, Timun, aku sudah berharti-hati untuk tidak menginjak benih mentimun yang baru di tanam orang tuamu."
"Omong kosong! kau tetap pencuri kancil! dan aku tidak suka berteman dengan pencuri !" tegas Timun kesal.
Sebenarnya mereka sudah seperti sahabat, meski kancil masih sering menjengkelkan dengan tingkah nakalnya.
"Aku tidak akan menyelamatkanmu lagi jika orang tuaku kembali berhasil menangkapmu!" acam Timun masih sambil berkacak pinggang.
Kancil memang sering kali merengek tiap kali terjebak dalam perangkap yang dibuat orangtuanya. Awalnya Timun hanya bosan karena cuma dirinya yang bisa mendengar rengekan si kancil tiap kali orang tuanya mengurungnya di dalam kurungan ayam di dapur mereka. Rengekan si kancil memang mengganggu sampai Timun tidak tahan dan terpaksa melepaskannya. Sebenarnya tidak ada kancil yang benar-benar cerdas, menurut Timun yang ada hanyalah 'kancil yang rewel!'
"Lain kali akan kubiarkan kau menjadi menu makan malam keluargaku !"
"Aku tidak percaya kau tega melakukannya."
"Mungkin aku hanya akan mengunyah-ngunyahmu kemudian kumuntahkan lagi, jujur kancil kurus yang hanya di bubuhi garam di atas meja benar-benar bukan seleraku!"
Keluarga Timun yang miskin memang tidak pernah memiliki variasi dalam mengolah makanan. Ayahnya hanya bisa pergi ke kampung terdekat tiap dua bulan sekali untuk menjual hasil panen mereka. Satu gerobak mentimun sering kali hanya bisa di tukar dengan sekarung beras dan beberapa kantong garam. Garam sering kali sangat berguna untuk mengawetkan makanan, karena itu mereka paling sering menukar garam jika masih ada sisa dari membeli beras. Garam bisa mereka gunakan untuk mengawetakan ikan yang mereka tangkap di sungai. Karena cuaca tidak selalu baik untuk mereka bisa menangkap ikan setiap hari. Timun tidak mau makan daging apapun karena menurutnya mereka semua bisa bicara, kecuali ikan.
Bayangkan sesederhana apa Timun dibesarkan, tapi gadis itu memang tidak pernah mengeluh, karena Timun sangat mencintai kedua orang tuanya dan mencintai tempat tinggalnya.
Anak mereka sudah tumbuh menjadi anak gadis yang cantik, tapi semakin hari kecemasan mereka juga semakin menjadi-jadi dan sulit untuk ditutup-tutupi lagi. Membayangkan putri cantiknya itu harus menjadi santapan raksasa bertubuh hijau adalah mimpi paling mengerikan yang sampai saat ini masih sulit untuk mereka hadapi. Meskipun masing-masing dari mereka masih ingat jelas dengan janji yang pernah mereka ucapkan pada sang raksasa.
Raksasa itu akan datang lagi saat umur Timun genap tujuh belas tahun, dan sepertinya mereka memang hanya bisa menunggun mimpi yang mengerikan, pasangan suami-istri itu tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengajarkan putri mereka untuk berlari secepat mungkin.
*****