Malam itu Timun kembali bermimpi buruk dan terbangun di tengah malam, dia segera menatap keluar dari jendela kamarnya yang ternyata masih terbuka. Bagaimana bisa dirinya selalu lupa menutup jendela kamarnya di malam hari, keluh Timun dalam hati dan segera turun dari tempat tidur kerasnya yang terbuat dari batang bambu yang di pipihkan dan hanya di lapisi anyaman daun pandan sungai.
Gadis itu berjalan mendekati jendela bermaksud untuk menutupnya ketika langkahnya kembali terhenti saat dia menatap cahaya pucat sang bulan yang berpendar lembut seperti sedang berbalik menatapnya dengan sedih dan iba.
Bagaimana jika hari itu benar-benar datang? seperti mimpi-mimpi buruknya belakangan ini. Sebelumnya Timun memang tidak pernah menganggap serius tentang kecemasan kedua orang tuanya, namun belakangan ini mimpi-mimpi itu terus mengganggunya, rasanya juga semakin nyata hingga tiap malam kadang dirinya harus tiba-tiba tebangun degan keringat dingin dan sisa jantung yang berdendam-dentam meskipun saat itu Timun sudah sadar jika dirinya hanya sedang bermimpi. Begitulah mimpi-mimpi buruk terus mulai menghantuinya setiap malam, sampai kadang Timun takut untuk memejamkan mata.' Lantas bagaimana jika dirinya benar-benar harus pergi?'
'Apakah orang tuanya juga akan bersedih seperti Dewi Bulan yang rindu menimang buah hatinya?'
Timun kembali memperhatikan pendar cahaya perak di atas langit yang mulai tertutup awan tipis.
Pikiran Timun mulai berkelana jauh memikirkan berbagai macam bayangan mengerikan.
Jika benar dirinya memang ditakdirkan harus pergi dari kedua orang tuanya meskipun dia tidak menginginkan, paling tidak Timun sudah berjuang untuk bersama mereka. Saat itu Timun masih sangat yakin jika sangat mustahil dirinya ingin meningalkan keluarganya, tak peduli apapun alasanya. Karena itu sampai saat ini Timun hanya bisa menebak-nebak apa sekiranya yang membuat kedua orang tuanya begitu yakin jika dirinya kelak memang harus pergi.
Timun memang pernah sangat menginginkan teman wanita untuk sekedar bercerita atau teman pria untuk sekedar melihatnya. Tapi sepertinya semua itu tidak akan sebanding untuk membuat dirinya rela pergi dari gubuk kecilnya ini, karena itu Timun memutuskan mungkin memang bukan perkara sesederhana itu alasanya. Meskipun berulang kali Timun tergoda untuk menanyakannya kepada sang ibu, tapi niat itu selalu saja dia urungkan. Timun tidak mau melihat kedua orangtuanya sedih meski sebenarnya mereka sendiri juga tidak penah luput dari kesedihannya belakangan ini. Tapi paling tidak Timun tidak ingin ikut serta menambah beban kesedihan mereka, karenanya Timun selalu berusaha terlihat ceria meskipun sebenarnya dirinya sudah menumpuk ratusan pertanyaan di kepalanya.
Pagi harinya Timun pergi ke hutan berharap dengan menemui sahabat-sahabatnya dia bisa sedikit melupakan kecemasannya.
Sebentar lagi usianya akan genap tujuh belas tahun. ,Bagaimana jika semua ketakutan orangtuanya itu benar?' bagaimana jika benar suatu hari dirinya harus pergi jauh meninggalkan mereka semua? Timun kembali memperhatikan kancil yang masih melompat-lompat berusaha menirukan gerakan anak kelinci yang sedang bermain di sekitar induknya.
Pikiran itu selalu membuat Timun semakin sedih. Timun sedih jika dirinya harus pergi meninggalkan mereka semua. Bagi Timun mereka semua bukan hanya sekedar hewan-hewan yang bisa dia ajak bicara mereka juga teman dan keluarga.
Sebenarnya kancil tahu kesedihan Timun tapi dia sengaja untuk tidak bertanya.