25.
"Kau sungguh-sungguh akan membuatnya di sini?" Tanya Nathan pada Daniel yang sedang mengamati sekitar.
Daniel Alvern Adyatama terlihat sedang mengamati air tenang yang ada di dekat sana.
"Air..." gumam Daniel pelan.
Helaan napas kasar serta bola mata yang berputar malas seolah mewakili Nathan bahwa pria itu sedang kesal karena sang kakak yang mengabaikan dirinya.
"Abaikan saja aku. Kau tidak perlu menganggapku ada." Kesal Nathan dengan kasar
Nathan sepertinya memang terabaikan. Buktinya, Daniel masih tidak mempedulikan kembarannya tersebut.
Dia justru kini mulai beralih ke temannya yang lain.
"Niel, aku merasa lokasi ini yang sejak lama kita cari. Bagaimana bisa kita melewatkannya selama ini?" Ucap Tanisha sembari menepuk pundak Daniel.
Tatapan mata Daniel masih dingin, sama seperti biasanya. Hanya saja, Daniel tidak secuek itu pada Tanisha. Karena wanita yang lebih tua tiga tahun darinya ini dia anggap seperti kakak sendiri.
Mereka bekerja sama cukup lama.
Membahas proyek ini.
Ya, ini bukanlah sebuah proyek baru.
Pembuatan mesin waktu yang kini mereka sebut dengan nama Chronos tersebut sudah berjalan sepuluh tahun lamanya.
Hanya saja, kegagalan berkali-kali jatuh pada senior Daniel hingga membuat mereka menghentikannya.
Dan beberapa tahun yang lalu, Daniel dengan beraninya membuka proyek ini lagi. Hanya saja, kematian sang ibu membuat Daniel memutuskan resign dan proyek ini pun terbengkalai.
"Ada yang tidak beres." Gumam Daniel.
Sejak lama, dia mencari sebuah lokasi yang jauh dari penduduk, memiliki air dan radiasi di sekitar yang cukup tinggi. Tak hanya itu, Daniel juga menyeimbangkannya dengan pantulan matahari yang akan sangat membantu mereka.
"Apa yang tidak beres? Ah, pasti karena selama ini kita mencari lokasi tetapi lupa kesini bukan?" sahut Tanisha.
Daniel melirik Tanisha sejenak, kemudian beralih menuju Nathan.
"Nathan, kau ingat kalau aku pernah mengajakmu kesini beberapa tahun yang lalu? Sebelum kematian Mama." Tanya Daniel langsung, tanpa basa-basi.
Nathan yang tadinya kesal menjawab asal-asalan. "Wah, kau gila?! Bagaimana mungkin aku ingat tempat yang bertahun-tahun lalu ku kunjung—" Nathan mengggantung ucapannya sewaktu menyadari sesuatu.
Dia pernah ke tempat ini. Tetapi, ada yang tidak beres.
Tempat ini seolah berbeda jauh. Sangat jauh.
"Tunggu, kau benar. Kita pernah ke sini. Tetapi, waktu itu tidak ada danau... tidak ada pegunungan. Hanya hamparan tanah tandus yang ditumbuhi padi." Kata Nathan, membuat Daniel tersenyum tipis.
Artinya, itu bukan halusinasi Daniel saja.
"Wait... kalau danau masih mungkin. Tetapi untuk rumput dan pohon hijau... lalu Pegunungannya?! Tidak mungkin mereka tumbuh sendiri dalam waktu dekat 'kan?" Ucap Nathan.
Daniel berdeham. Dia melirik jam tangannya, menyadari bahwa dirinya sudah terlambat. Bisa-bisa, Caelia mengamuk nanti.
"Kenapa?" Tanya Nathan yang sadar saat Daniel mengecek jam tangannya.
Itu sebuah kebiasaan yang jarang Daniel lakukan. Pria yang sangat bebas tanpa hambatan itu cenderung keluar tanpa kenal waktu sehingga sangat jarang mengecek jam tangannya.
Bahkan, sepertinya baru kali ini Nathan melihat sang kakak kembarnya melakukan hal itu.
"Caeya. Dia akan marah." Jawab Daniel, berhasil menbuat gelak tawa Nathan keluar.
Tawa Nathan sayangnya tak berlangsung lama karena tatapan mata Daniel yang terlampau tajam seolah hendak memangsanya.
"Oke-oke, kita pulang. Haha..."
***
***
Mobil yang Nathan dan Daniel kendarai kini melaju cukup kencang di jalan pegunungan yang terbilang sepi. Dengan Daniel yang menjadi supir, Nathan kini bisa bersantai ria sembari memainkan ponsel milik kakak kembarnya.
Meski dirinya sendiri memiliki ponsel, tetap saja milik orang lain lebih menggoda.
Lagipula, Daniel cukup terbuka dengan keluarganya. Pria itu selalu membiarkan keluarganya melihat ponselnya, membukanya.
Daniel bukannya ceroboh. Dia hanya percaya bahwa keluarganya tidak akan bertindak melewati batas. Mereka pasti menghargai privasi yang Daniel miliki.
Seperti Nathan, dia hanya bermain game di ponsel Daniel. Tidak lebih.
"Shit! Sialan, siapa yang berani menghubungiku saat aku sedang bermain game?!" Desis Nathan, merasa terganggu.
Dia sepertinya lupa sedang meminjam ponsel milik kakaknya.
"Itu ponselku, sialan!" Sahut Daniel.
Nathan hanya cengengesan. Dia kemudian menjawab panggilan tersebut tanpa perlu bertanya.
"Siapa?" Tanya Daniel.
"Tertulisnya Tiger, bodyguard mansion utama." Jawab Nathan, mulai memencet ikon speaker.
"T-tuan, gawat..." baru dua kata yang terdengar, tangan Daniel mencekram erat setir mobil. Perasaanya mendadak tidak enak.
Dia tahu, terjadi sesuatu pada Caelia.
"Apa yang terjadi padanya?! Sudah kubilang dia tidak boleh terluka sedikitpun sialan!" Teriak Daniel, membuat Nathan merinding.
"Maaf Tuan, Nona Caelia diculik."