Keesokan harinya, saat mentari pagi mulai menerobos masuk ke dalam kamar Ryan Fernandez. Pria itu mulai terusik dan memaksa dirinya untuk membuka matanya. Mendadak ia kesal saat mendapati dirinya terbangun dan sudah berada di kamarnya sendiri. Ia pun menarik rambutnya sendiri sambil bangkit dari ranjang yang baru saja ditidurinya.
"Sial! Asisten gadungan itu justru membawaku ke rumah ini," gerutunya sambil berjalan ke kamar mandi. Ryan sama sekali tak ingin kembali ke rumah keluarganya. Selama ini, ia memilih untuk tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah di dekat kantornya. Pria itu terlalu bosan mendengarkan keluhan ibunya yang terus menerus memintanya untuk segera menikah. Atau paling tidak berhubungan serius dengan satu wanita saja.
Baru saja keluar dari kamar mandi, Ryan Fernandez dikejutkan dengan sosok wanita yang sudah melahirkan dirinya dan juga sangat menyayanginya. "Bagaimana Mama bisa berada di kamar ini?" tanyanya tanpa mendekati sang ibu.
"Apa salah kalau Mama masuk ke kamar anak Mama sendiri?" kesal Diana Fernandez pada anak lelaki kesayangannya. Wanita itu langsung melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana Ryan sedang memasang dasi di kemejanya. "Biar Mama yang memakaikannya." Dengan gerakan yang cukup cepat dan tepat, Diana berhasil memasangkan dasi pada anak lelaki satu-satunya.
"Terima kasih, Ma. Sebenarnya aku bisa memasangnya sendiri." Ryan pun mengambil jam tangan di laci lalu memakai di pergelangan tangan kirinya. Tiba-tiba saja, ia membalikkan badannya lalu menatap tajam wajah Diana sambil mengerutkan keningnya. "Apa Mama yang meminta asisten gadungan itu membawaku ke sini?" tanyanya dengan wajah kesal.
Sebuah senyuman sinis terukir begitu jelas dari wajah Diana. Pertanyaan yang diajukan oleh Ryan tentu saja membongkar semua rencananya.
"Asisten gadungan itu juga sepupumu sendiri. Mama memang sengaja menyuruh Steve untuk mengawasimu. Dia membawamu ke rumah juga atas permintaan Mama," jelasnya sambil tersenyum dengan wajah yang salah tingkah. Diana tak menduga jika anak lelakinya itu akan mengetahui jika Steve adalah seseorang yang dipercayainya.
"Sudah ku duga sebelumnya." Ryan langsung terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Ia tak habis pikir jika ibunya akan memperlakukannya dengan berlebihan. "Bukankah itu semua berlebihan? Aku bukan anak kecil lagi," protesnya dengan amarah yang tertahan di dasar hati yang paling dalam.
Ryan tak akan mungkin marah atau mengamuk pada wanita yang sudah melahirkan dan juga menyayanginya selama ini. Seburuk-buruknya Ryan, ia sangat mencintai ibunya.
Diana langsung terkekeh mendengar perkataan anaknya sendiri. "Apanya yang berlebihan, Ryan? Kamu adalah anakku, tentu saja aku akan sangat memperhatikanmu," balas wanita yang mulai kesal dengan sikap anaknya. Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun belum juga keluar, Diana menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan. "Jemput Reine di bandara sebelum jam makan siang," ucapnya sembari memandang Ryan yang sedang merapikan rambutnya.
"Pagi ini aku ada undangan khusus dari klien, jadi Mama saja yang menjemputnya. Setelah acara selesai aku akan segera menemui gadis manja itu," jawab Ryan sambil melangkahkan kakinya menghampirinya sang ibunda. "Ryan janji akan segera kembali begitu acara selesai," tegasnya sambil meraih jemari tangan wanita cantik yang sudah berumur itu.
Dengan sangat terpaksa, Diana mengulas senyuman di wajahnya. Memandang lelaki di depannya dengan tatapan hangat. "Mama berharap kamu tak mengingkarinya kali ini," ucapnya dengan suara lembut yang penuh harap.
"Aku pasti datang." Sebuah pelukan hangat langsung diberikan oleh Ryan pada ibunya. Ia tak ingin membuat wanita di depannya itu menjadi sedih ataupun kecewa. "Ryan sayang Mama." Sebuah kata ajaib yang langsung meluluhkan hati setiap orang yang mendengarnya. Setelah puas memeluk ibunya, Ryan langsung pamit untuk berangkat ke sebuah hotel di mana dirinya mendapatkan undangan. Meskipun dengan berat hati, Diana pun akhirnya merelakan kepergian anaknya.
Sampai di garasi rumah mewah keluarganya, Ryan langsung masuk ke dalam sebuah mobil yang terparkir di sana. Ia pun segera melajukan mobilnya ke sebuah hotel berbintang di mana acara itu berlangsung.
Begitu sampai di lobby hotel, seorang petugas mengantarnya ke ballroom hotel yang sudah di desain khusus untuk acara peluncuran sebuah produk baru milik perusahaan yang menjadi kliennya.
"Selamat datang, Mr. Ryan. Asisten Anda sudah menunggu sejak tadi. Mari saya antarkan ke meja Anda ," sapa sang tuan rumah begitu melihat Ryan datang ke acara itu. Kedua pria itu langsung berjalan menuju ke sebuah meja paling depan. "Silahkan duduk dan nikmati acaranya." Pria itu langsung kembali ke depan pintu untuk menyambut tamu lainnya.
"Ternyata asisten gadungan sudah berada di sini," sindir Ryan pada Steve yang terlihat cukup tampan dengan balutan pakaian resmi yang cukup elegan.
"Gadungan? Apa maksudmu, Bos?" Steve berpura-pura tak mengerti dengan ucapan atasannya itu. Sebenarnya ia sangat tahu apa yang dimaksudkan oleh sepupunya itu. Belum ada setengah jam, Diana baru saja menghubunginya dan memberitahukan jika aksinya bak mata-mata telah terbongkar.
Sebuah tatapan dingin tanpa senyuman sedikit pun dilemparkan Ryan pada sang asisten. Dia tak menyangka jika sepupunya itu sudah bermain di belakangnya.
"Panggil saja dengan namaku! Aku juga bukan atasanmu. Bukankah kamu bekerja untuk Nyonya Diana Fernandez?" cibirnya dengan tatapan sinis. Ryan langsung menghabiskan sebotol air mineral di atas meja. Ia ingin mendinginkan hati dan juga kepalanya karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh sepupunya sendiri. "Bagaimana wajahmu bisa setenang itu setelah pengkhianatanmu terbongkar?" tanyanya tanpa perasaan.
"Aku melakukannya untuk kebaikanmu," tegas Steve pada sepupu dan juga atasannya di kantor itu. Lelaki itu hanya ingin membantu Diana untuk memastikan keadaan Ryan. Steve merasa berhutang budi pada keluarga Fernandez hingga ia bersedia menjadi asisten sekaligus mata-mata bagi keluarga Fernandez.
Ryan justru terkekeh mendengar jawaban Steve. Rasa kesal dan juga kecewa telah menutupi hati dan juga pikirannya. "Kebaikan yang mana yang kamu maksudkan?" serunya pada sepupunya itu.
Steve terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat. Ia pun memandang sekeliling untuk mendapatkan celah yang mungkin saja bisa membuat dirinya berkilah atas pertanyaan Ryan. Dan ... Dewi Fortuna seolah sedang berpihak kepadanya. Steve melihat seseorang yang mungkin bisa menyelamatkannya dari kekesalan sang atasnya.
"Bos! Bukankah itu DJ Angel?" ucapnya sambil memandang ke arah wanita dan seorang pria yang sedang berjalan begitu mesra memasuki ballroom hotel.
"Jangan mencoba menipuku! Aku tak akan masuk ke dalam perangkapmu," sahut Ryan tanpa menoleh ke arah yang ditujukan oleh asistennya. Namun tak berapa lama, ia menjadi sangat penasaran dan langsung memalingkan wajahnya ke arah di mana Steve juga memandang.
"Angel! Untuk apa wanita itu di sini?" Secara spontan Ryan langsung berdiri dan menghampiri wanita yang sudah menolak dirinya di sebuah night club. "Angel!" sapanya pada wanita yang berdiri di sebelah pengusaha yang cukup di kenalnya.
"Mr. Ryan Fernandez." Pria di sebelah Angel terlihat sangat terkejut melihat sosok pengusaha muda yang cukup ternama sedang menghampirinya.