Chereads / Ciuman Hangat Bos Arogan / Chapter 20 - Bukan Pembantu!

Chapter 20 - Bukan Pembantu!

"Apa yang sedang kamu lakukan di tempat menjijikkan ini, Steve?" tanya Reine pada sosok pria yang selama ini banyak menghabiskan waktu bersama kakaknya.

Reine masih memandangi wajah tampan dari seorang sepupu yang sudah berkali-kali menolak perasaannya itu. Perasaan itu masih sama, tak berkurang apalagi menghilang. Perempuan itu hanya mencoba untuk mengendalikan dirinya sebaik mungkin.

"Tentu saja aku datang untuk menjemput Ryan. Kebetulan mobilnya ada di kediaman Fernandez," jelas Steve pada seorang perempuan yang cukup cantik namun terlihat sedikit kurus. "Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya.

"Aku datang untuk menjemput Ryan dan mengantarnya ke psikiater. Papa sudah tak bisa mentolerir pria gila itu. Jadi ... aku akan membawanya untuk konsultasi dengan sahabatku." Reine bisa melihat jika Ryan seolah belum mengetahui hal itu. Dari ekspresi wajahnya saja, pria itu tampak sedikit terkejut.

Steve akhirnya mengetahui alasan kedatangan Reine ke apartemen kakaknya. Tanpa memberikan balasan apapun, pria itu membereskan kekacauan di seluruh ruangan. Belum juga Steve selesai membersihkannya, perempuan itu mendekati dan menariknya saat akan membersihkan pecahan kaca di lantai.

"Hentikan, Steve! Kamu bukan pembantu Ryan. Biarkan petugas kebersihan yang mengurusnya!" kesal Reine saat melihat seorang pria yang dicintainya harus melakukan pekerjaan yang membahayakan. Rasanya sangat takut jika sepupunya sampai terluka.

"Tak masalah, Reine. Sebelum petugas kebersihan datang, aku bisa membereskan yang gampang-gampang dulu." Tak mendengar larangan itu, Steve kembali memungut pecahan kaca di lantai. Entah apa yang telah terjadi ... dalam waktu singkat, jari Steve akhirnya terluka hingga darah segar mengalir.

Saat perempuan itu menyadarinya, ia langsung menarik paksa Steve dan memeluknya. Reine tak peduli jika pria itu akan mendorongnya agar menjauh.

"Hentikan, Steve! Aku tak bisa melihatmu terluka," ucap Reine lirih dalam air mata yang sudah menggenang dan siap mengalir. "Kamu boleh menghindari aku, tapi jangan biarkan kamu sampai terluka," imbuhnya dengan perasaan sedih yang penuh dengan luka.

Steve sama sekali tak berniat untuk menanggapi perkataan sepupunya. Toh ... semua yang dikatakannya adalah kenyataan. Dia tak mungkin bisa menyanggah atau mencari pembenaran dalam dirinya.

Pria dan perempuan itu masih terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Steve membiarkan Reine terus memeluknya dari belakang. Dia sangat tahu jika adik dari Ryan Fernandez itu masih sangat mencintainya.

"Haruskah kita membatalkan janji konsultasi hari ini? Sepertinya kalian masih ingin melepaskan kerinduan," sindir Ryan begitu keluar dari kamar dan menyaksikan adiknya sedang memeluk Reine.

Seketika itu juga, Steve berusaha melepaskan pelukan Reine dari tubuhnya. Dia tak ingin jika sepupunya itu sampai berpikir yang tidak-tidak tentang hubungan mereka.

"Ada apa denganmu, Reine? Apakah Steve menolak perasaanmu lagi hingga kamu harus menangis?" tanya Ryan saat menyadari mata merah dengan air mata menggenang di wajah adik perempuannya.

Hati Steve terasa berhenti untuk beberapa saat. Dia benar-benar tak mengetahui jika Reine sedang menahan air matanya. Mendadak hatinya terasah sangat sesak, rasanya tak tahan melihat kesedihan di mata sepupunya.

"Steve! Kamu saja yang mengantarkan kami. Jika gadis manja ini yang membawa mobil, aku justru takut jika akan mati muda," ucap Ryan pada asisten dan juga sepupunya itu.

"Aku? Siapa yang akan mengurus pekerjaan di kantor jika kita berdua pergi?" kilah Steve karena tak ingin pergi bersama dengan Reine. Pastinya akan ada kecanggungan di antara mereka berdua. Steve dan Reine memiliki sebuah hubungan yang cukup rumit.

Ryan tersenyum sengit pada sepupunya itu. Dia berpikir jika Steve selalu saja beralasan jika itu menyangkut Reine. Seakan adiknya itu adalah sosok perempuan yang harus dihindari. Namun bukan Ryan Fernandez kalau ia tak bisa membuat Steve ikut bersama mereka.

"Sebenarnya ... siapa sih bos-nya di sini? Urusan pekerjaan itu adalah masalahku! Menemaniku menemui psikiater adalah tugasmu juga," tegas Ryan dengan kekesalan karena penolakan Steve secara terang-terangan. Pria itu tak mau tahu dengan alasan apapun. Steve harus ikut pergi dengannya dan juga Reine.

Tak mungkin lagi bisa menolak ... dengan terpaksa Steve harus menerima hal itu. Ryan memang sepupunya, namun ia juga seorang asisten yang sudah seharusnya bersama dengan pria itu.

"Baiklah! Aku tunggu di mobil saja." Secepat kilat, Steve langsung keluar dari apartemen dan memilih untuk menunggu di dalam mobil. Dia benar-benar tak nyaman berada di ruangan yang sama dengan Reine.

Begitu Steve pergi, Ryan mendekati adik perempuannya yang masih saja terdiam tanpa kata. Terlukis sangat jelas kesedihan di matanya. Air matanya saja masih tertahan dan hampir tumpah keluar.

"Apa yang membuatmu begitu sedih, Reine? Apakah kehadiran Steve justru membuatmu terluka?" Ryan ingin memastikan jika adiknya baik-baik saja. Tak ingin perempuan itu terpuruk dalam luka di masa lalunya.

"Tangan Steve terluka karena membereskan pecahan kaca!" Reine setengah berteriak menjawab pertanyaan itu. Dia ingin menyalahkan kakaknya karena telah membuat kekacauan dan Steve harus membereskan semuanya. "Steve itu asistenmu, bukan pembantu!" lanjutnya.

Sebuah jawaban yang semakin memperjelas perasaan Reine terhadap sepupunya itu. Setelah tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun, perasaan perempuan itu pada Steve tak pernah berubah. Justru semakin besar dan juga mendalam.

Ryan cukup mengerti hal itu. Dia tak ingin menanggapi ataupun memperjelas semuanya.

"Ayo kita berangkat sekarang! Atau kita batalkan saja sampai perasaanmu jauh lebih baik," bujuk Ryan pada seorang perempuan cantik yang sangat disayanginya.

"Terlalu sulit untuk mengatur waktu dengannya. Kita akan tetap pergi sekarang." Dengan langkahnya yang tak bertenaga, Reine beranjak keluar dari apartemen itu. Dia sudah mengatur konsultasi itu dengan susah payah, tak mungkin akan membatalkan begitu saja.

Mereka berdua akhirnya menuju ke lobby dengan apartemen. Steve sudah menunggu di sana. Tak ingin membuang waktu, pasangan adik kakak itu langsung masuk ke dalam mobil. Suasana terasa sangat menegangkan dan cukup menyesakan dada. Tak ada sapaan apapun yang dilontarkan oleh mereka.

"Berikan alamatnya!" ucap Steve dalam ekspresi datar.

"Gardenia Hills," jawab Reine tanpa menyebutkan sebuah alamat lengkap yang berada di pinggiran kota yang berbukit itu.

Perjalanan ke lokasi itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Alasan itu juga yang membuat Reine datang pagi-pagi sekali. Perjalanan membutuhkan waktu dua jam lebih jika tak ada kemacetan.

"Mengapa temanmu tinggal sejauh itu? Apakah akan ada pasien di tempat terpencil itu?" Ryan asal berbicara dan menyebutnya kota terpencil. Tak bisa dipungkiri jika lokasi itu cukup jauh dari pusat kota. Tentunya hal itu yang membuat kakak laki-laki Reine itu menyebutkan 'terpencil'.

"Nanti kamu akan melihatnya sendiri." Tanpa menjelaskan apapun, Reine hanya mengatakan hal itu pada kakaknya.