Setelah menggeser badannya mendekat, Meisa menjangkau rokok di meja depan Hardiman. Dan Hardiman menghidupkan mancis dan membakarkan ujung rokok yang sudah berada di bibir Meisa. Dihirupnya panjang. Namun hembusan asapnya tidak mulus. Disertai dengan batuk.
"Cara hirup rokok kretek beda dengan rokok filter. Pelan-pelan. Nikmati dulu," kata Hardiman seraya mengusap bahu Meisa. "Jangan buru-buru."
Meisa pun menerapkan apa yang disebutkan Hardiman. Memang berhasil. Kemudian hembusan rokoknya tidak disertai batuk lagi. Gadis itu tersenyum mengacungkan jempol.
"Sudah boleh berkelahi kita, Bro. Sudah ada wasitnya," ujar Hanjo mengingatkan.
Inge dan Meisa memandang dengan mata bulat. "Berkelahi?" tanya Inge heran.
Hardiman terkekeh. Menertawakan diri kenapa sampai lupa dengan perkelahian itu. "Betul, Bro. Betul," angguknya berkali-kali.
Usai melirik Inge dan Meisa, dia berkata, "Wasit ini sepertinya tidak akan netral. Mungkin malah ikut berkelahi juga."
Inge dan Meisa kian bingung dengan pembicaraan kedua pria itu. "Berkelahi. Wasit. Ada apa ini?" tanyanya.
Gantian Hanjo yang terbahak. "Kita berdua ada masalah. Mesti berkelahi menyelesaikannya," tutur Hanjo seenaknya.
"Heran. Bingung aku," ujar Meisa dengan bibir membulat.
Hardiman dan Hanjo tertawa bersama. Panjang. Membuat kedua gadis itu bertambah heran.
"Bingung kalian kan?" tanya Hardiman. Inge dan Meisa mengiyakan. "Biar aku jelaskan," tambahnya.
Usai menegak segelas bir hingga tak bersisa, Hardiman bukannya buka mulut. Ia malah berdiri.
Ia melangkah melewati beberapa meja. Menuju ke sudut depan.
Inge dan Meisa kian heran melihat tingkah Hardiman. Beda dengan Hanjo. Ia sudah bisa menebak ke mana tujuannya dan apa yang akan dilakukannya. Ia sangat paham dengan karakter dan kesukaan Hardiman.
Dan tak salah tebakan Hanjo. Detik berikutnya, Hardiman sudah berdiri di samping meja keyboard organ tunggal. Diterimanya mic dari pemain keyboard. Tak lama, terdengar alunan musik yang segar dan enak didengar. "Save Your Tears", lagu hitnya The Weeknd.
Tidak kalah dengan penyanyi aslinya. The Weeknd. Suara mereka nyaris tidak jauh beda. Bila tidak tampak sosok pria Batak itu, pastilah dikira suara penyanyi berkulit hitam itu. Penyanyi ini memang salah satu idolanya Hardiman.
Sadar vokal mereka susah dibedakan penonton, Hardiman tidak berpindah ke lagu penyanyi lain. Masih The Weeknd. Ia mengetengahkan "Starboy". Dan terakhir ia menyanyikan dengan penuh penghayatan tembang terlaris penyanyi berambut gondrong itu, "Blinding Light".
Tidak saja dari meja Hanjo. Tepukan tangan terdengar dari segenap penjuru. Menyampaikan apresiasi dan pujian. Mereka terkesan sekali dengan penampilan Hardiman.
Meski sejumlah orang meminta menambah lagu, namun Hardiman tetap membungkukkan badan lalu melambaikan tangan. Dengan senyuman ia melangkah ke meja.
"Wuih, hebat! Kalah penyanyi aslinya," sambut Meisa seraya berdiri. Tidak hanya menyalami. Meisa juga memberikan pelukan. Pelukan hangat. Inge juga menyalami. Sementara Hanjo menepuk-nepuk pundaknya.
Tepuk tangan, pujian dan pelukan semacam itu adalah yang biasa bagi Hardiman. Bila menyanyi ia akan tampil dengan totalitas penuh. Tidak asal buka mulut. Atau menyanyikan lagu yang tak disukai. Baginya, menyanyi itu tidak hanya untuk dirinya. Tetapi juga untuk orang lain. Untuk para penonton. Hardiman sangat peduli dengan kepuasan penonton.
Malam masih panjang. Bosan di pub, mereka berpindah ke ruang diskotik. Ke bangunan yang berbeda lagi. Masih berupa bangunan kayu. Namun ternyata itu hanya tampak luarnya saja. Bagian dalam justu bangunan beton. Pantas tidak terdengar suara apa-apa di luar.
Ketika pintu terbuka, mereka disambut hentakan musik ceria. House music. Juga kerlap-kerlip lampu bersinar tajam yang menyilaukan mata. Ruangannya tidak sebesar pub. Tetapi isinya justru lebih ramai. Pengunjung duduk di bangku-bangku kecil tinggi. Puluhan orang bergoyang di depan panggung.
Pelayan diskotik yang menyambut, mengantar mereka ke meja khsusus. Tidak ke meja kecil tinggi. Ke sisi ruangan. Berada lebih tinggi dari lantai. Terdapat dua sofa di sana. Saling berhadapan dipisahkan meja.
Inge dan Meisa seperti masuk ke dunia mereka. Semenjak masuk dalam ruangan, keduanya seakan tidak bisa menghentikan goyangan kaki dan tangan. Berjalan sambil bergoyang dengan lenggokan yang menantang.
Setelah berada di tempat duduk khusus, kedua tidak langsung duduk. Mereka meneruskan goyangan. "Asik sekali musiknya," ujar Inge dengan suara melengking.
Tidak jauh beda dengan Meisa. Ia asyik sendiri.
Hanjo dan Hardiman memilih duduk sofa. Mencicipi minuman yang sudah tersedia di atas meja. Ternyata bukan bir. Minuman beralkohol yang lebih tinggi kadarnya. Terasa kelat dan asam. Keduanya tertawa riang setelah mengadu gelas di udara. Meneguk minuman barengan.
Setelah minum dua atau tiga gelas kecil, Hanjo merasa kakinya pegal-pegal. Mungkin karena lama duduk. Ia langsung berdiri ketika Inge mengulurkan tangannya. Hanjo ikut bergoyang.
Seakan tidak mau ketinggalan, Meisa pun merangkul Hardiman. Mengajak goyang bersama. Dua pasangan itu kemudian terbenam dalam goyangan.
Bergoyang. Musik berganti. Duduk. Minum. Musik bergantia lagi. Bergoyang lagi. Berulang-ulang begitu. Sejam atau dua jam. Sampai kemudian Hanjo angkat tangan. Capek. Kemejanya pun basah oleh keringat. Wajahnya basah memerah.
Duduk di sofa, keduanya pasangan itu tidak berjarak lagi. Duduk saling berpelukan.
"Wow, mantap goyangannya," ujar Hanjo yang matanya terus jelalatan. Terlihat olehnya tiga atau empat orang gadis bergoyang. Meliuk-liuk di atas panggung.
Kalau boleh jujur. Bukan hanya goyangan dan liukkan mereka yang menarik pandangan Hanjo. Tetapi penampilan keempat cewek-cewek itu. Mereka hanya memakai dua sobekan kain penutup tubuh dengan sepatu boots hingga betis.
Empat orang cewek itu terbagi menjadi dua pasangan. Dua pasangan itu seakan tengah berlomba. Masing-masing pasangan saling mempertontontan goyangan terbaik. Bergoyang dan meliukan tubuh yang tampak mulus diterpa cahaya lampu. Terlihat gunung dan bukit mereka meloncat-loncat seakan mau jatuh.
Hardiman mesti memiringkan kepalanya untuk melihat. Ia pun ikut menikmati pemandangan yang tersaji itu. Kenapa baru tahu sekarang?
"Pindah duduknya, Bro. Bisa juling memandang miring begitu," usik Hanjo.
Hardiman tersenyum. "Betul juga yang Bro bilang," ujar sambil menggeser posisi ujang sofa.
Dalam pandangan Hardiman, goyangan mereka sangat mengasyikan sekali. Pandai mereka memancing hingga mata para penonton tidak berkedit sedikit pun.
"Itu mah belum seberapa?" ucap Meisa dengan suara seperti melecehkan.
"Belum seberapa?"
"Masih segini apa yang mereka lakukan," kata Meisa lagi seraya menyentikan ujung kukunya.
"Jadi, pertunjukan mereka akan berlanjut?" tanya Hanjo.
"Pertunjukan mereka mah sampai segitu aja," tambah Inge. "Sampai pagi pun gitu-gitu aja."
"Kalau pertunjukan yang lebih dari itu?"
Meisa tertawa. "Itu jagonya," tunjuknya pada Inge. Gadis itu tersenyum. "Dia juga hebat." Inge balik menunjuk Meisa.
"Kalian mau tampil juga di atas sana?" tanya Hanjo.
Meisa dan Inge tertawa. "Mau menontonnya?" Inge malah menjawab dengan tanya pula.
Hardiman dan Hanjo beradu pandangan. Lalu keduanya tertawa.
"Kalau kami tidak di sana tempat pertunjukannya," jelas Meisa.
"Lalu di mana?"
Keduanya kembali tertawa. "Hehe, belagak pilon si Abang dan si Mas ini," kata Inge mengerling manja.
Hanjo dan Hardiman kembali saling pandang. Sama-sama mengakui kepilonan mereka. Tapi itu hanya sedetik dua detik. Detik berikutnya, Hanjo paham. Ia segera tertawa lebar. "Oke, oke," ujarnya disela tawa.