Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 21 - Sampai Keluar Air Matanya

Chapter 21 - Sampai Keluar Air Matanya

Jumat sore di Pelabuhan Marina Ancol

Hanjo melirik jam di pergelangan tangan. Lirikan yang ke lima atau ke tujuh. Bersandar pada pagar besar di ujung dermaga, matanya hanya singgah pada tiga tempat. Kawasan parkir, jalur naik ke kapal dan jam di tangannya. Itu saja berganti-ganti.

Sudah setengah jam ia bersandar di pagar besi itu. Sudah beberapa kali didengarnya pengumuman melalui pengeras suara bahwa kapal dengan tujuan Pulau Seribu akan segera berangkat. Para penumpang diminta untuk segera naik kapal.

Namun yang ditunggunya belum juga nongol. Kenapa tidak menghubungi dia saja? Pasti di mana posisinya? Atau jangan-jangan lupa?

Hanjo segera mengeluarkan HP dari tas tangan. Dicari dan dipencetnya sebuah nama yang tertera di layar HP. Tetapi belum tersambung segera dikenselnya. Tak jadi menghubungi.

Hanjo teringat akan dirinya yang sangat jengkel sekali bila tengah nyetir terdengar deringan HP. Pasti tidak akan diangkatnya. Dibiarkan berdering sampai mati kelelahan sendiri. Biasanya, setelah mobil berhenti atau sampai di pariran, baru dia kembali menghubungi si penelpon. Itu pun melihat siapa yang mengontaknya. Bila tidak penting betul dibiarkannya saja.

Pikir Hanjo pula, tentu ia tidak datang sendirian. Mungkin diantar atau bisa juga naik taksi. Bisa pula pakai mobil sewa online. Hubungi saja.

Pikiran dan kemungkinan-kemungkinan itu membuat Hanjo makin gundah. Ia sudah siap semuanya. Mulai dari keberangkatan dari Pelabuhan Marina Ancol ini hingga tiba di Pulau Pari. Kamar termahal di salah satu resort termewah yang ada di pulau itu. Ia juga sudah mengontak seorang kenalan untuk menyiapkan selimut hangat. Semua sudah siap. Sudah oke!

Sampai penumpang terakhir naik kapal, sampai petugas tiket meminta untuk naik karena kapal segera berangkat, orang yang ditungguh Hanjo tak tampak juga. Tidak ada orang yang berlari tergopoh-gopoh dari kawasan parkir. Tidak ada orang yang berteriak minta ditunggu. Tidak ada.

"Aku berangkat dengan kapal berikutnya," kata Hanjo pada petugas berseragam biru yang mempertanyakan kenapa ia tidak naik kapal.

"Aduh, tidak bisa, Pak. Sesuai dengan tiketnya, Bapak berangkat dengan kapal ini. Sekarang," jelas petugas itu.

"Aku menunggu teman. Dan dia belum datang!" dengus Hanjo.

"Tapi, Pak..."

"Aku urus nanti ke dalam. Kalau perlu kubeli lagi tiketnya!" ujar Hanjo dengan nada tinggi dan jengkel.

Petugas pria berseragam itu terkejut. Ia minta maaf dan kemudian berlalu. Dan kapal cepat yang akan ditumpanginya itu pun melaju membelah ombak. Berangkat.

Hanjo melepaskan nafas. Terdengar bergemuruh. Ia mencari tempat duduk. Hanjo pun heran, sepanjang menunggu tadi ia tahan berdiri. Tidak merasa capek.

Namun setelah duduk di bangku panjang di ruang tunggu penumpang, Hanjo merasakan kakinya pegal-pegal. Tak hanya kaki. Tangan, kepala dan lehernya pun terasa pegal. Dadanya malah terasa sesak.

Hanjo menghela nafas. Benar-benar di luar dugaannya. Batal semua yang sudah direncanakannya. Kacau semua skenarionya. Kenapa ia tidak datang?

Hanjo membakar rokok. Dihirupnya dalam-dalam. Lalu dihembuskan dengan panjang. Gumpalan asap rokok tampak bagai asap yang keluar dari belakang kapal cepat sebelum berangkat.

Belum kacau, ujar hatinya yang lain. Masih ada kapal yang akan berangkat. Dia pasti datang. Mungkin telat karena macet di jalan. Tunggu saja.

"Tidak jadi berangkat, Bapak?" tanya seseorang yang berdiri di samping Hanjo duduk.

Hanjo menoleh sekilas. Ia hanya menggeleng.

Orang itu masih berdiri. Tidak pergi. Hanjo menaikan kepala memandanginya. Pria muda berwajah klimis. Pakaian kemeja putih lengan panjang dengan celana jeans. Pakai kacamata hitam.

Melihat pakaiannya stelan rapi begitu, Hanjo bersuara, "Menunggu teman. Mungkin ganti kapal berikutnya." Dalam perkiraan Hanjo, pria muda itu tentulah petugas pelabuhan atau staf perusahaan pelayaran.

"Tidak masalah itu, Pak. Bisa dikensel. Sudah bayar kan?" ujarnya.

"Tentu sudah."

"Tinggal lapor ke sana, Pak," tunjuknya ke bangunan konter penjual tiket.

Hanjo tersenyum dalam hati. Tidak salah dugaannya. Pasti dia petugas di sini.

Pria muda itu, empat atau lima tahun dibawah Hanjo, duduk di bangku panjang. Berjarak satu meter dari tempat Hanjo duduk.

"Bapak mau liburan sepertinya. Mau ke pulau mana?"

"Mungkin ke Pulau Pari," jelasnya.

"Baik, Bapak. Semoga kawannya segera datang dan liburan menjadi menyenangkan. Maaf menganggu," tutur pria muda itu yang kemudian pamit.

Hanjo menjawab dengan ajungan jempol.

Sudah seperempat jam kapal tadi berangkat. Sekitar sejam lagi akan bertolak pula kapal berikutnya. Hanjo meluruskan badan. Bersandar sepenuhnya pada bangku panjang dari baja ringan itu.

Hanjo memejamkan mata. Tidak ada yang bisa dilakukan selain duduk. Duduk menunggu. Tidak perlu juga mendatangi petugas tiket karena orang yang ditunggunya belum datang. Artinya, masih belum ada kepastian ia jadi berangkat.

Hanjo tidak tahu apakah ia tertidur atau hanya melamun dengan pikiran kosong, saat ia tersentak kaget. Ada orang yang menyentuh bahu kirinya. Hanjo gelagapan. Menghela kaki dan memperbaiki posisi duduk. Ia menoleh ke kiri.

"Sori, Bro. Aku telat. Aduh, macet tidak karuan," ujar pria yang berdiri dengan menyandang tas di bahunya.

Hanjo mengusap wajah dengan tisu. Ia memiringkan kepala memandangi Hardiman.

"Tidak bisa bergerak samasekali. Macet betul," tambah Hardiman, pria bertubuh mendekati gendut itu, dengan wajah bersalah.

"Tak masalah," jawab Hanjo dengan nada datar.

"Belum berangkat kan kapalnya?" tanya Hardiman pula.

"Sudah hampir sampai pula di sana."

"Aduh, sori, sori. Mana tiketnya biar aku urusan ke sana. Biar bisa berangkat dengan kapal berikutnya." Hardiman mengulurkan tangannya.

Dan ia segera berlari ke ruangan penjualan tiket kapal. Tidak sampai lima menit ia sudah kembali. Duduk di sebelah Hanjo.

"Tak ada masalah yang tidak akan selesai kalau kita membicarakannya dengan kapala dingin," ujar seraya menyerahkan tiket kapal kepada Hanjo.

Hardiman membakar rokok. "Masih lama kan berangkatnya?" tanyanya. Hanjo tidak menjawab. Ia pun tidak tahu.

"Jadi ke mana kita ini?" tanya Hardiman lagi.

"Ke Pulau Pari."

"Apa istimewanya Pulau Pari itu? Aku sepertinya belum pernah ke sana," aku Hardiman jujur.

"Ada resort yang mantap di sana."

Hardiman tertawa. "Hehe, aku percaya itu. Kalau Bro bilang mantap itu artinya lebih dari mantap. Mantap plus, begitu kan?"

Hanjo menarik bibirnya. Ikut tertawa. Itu tawa pertama Pak Bos CEO itu pada hari ini.

"Aku juga pertama ini ke sana," tutur Hanjo.

"Ah, mana mungkin?" Hardiman menoleh heran.

"Maksud aku pertama pergi tanpa bersama Mamoi. Hehehe," sebut Hanjo yang merasa kelepasan bicara. Namun ia tidak merasa malu mengakuinya.

"Hampir semua pulau di Pulau Seribu itu sudah aku datangi," tambah Hanjo dengan maksud mengembalikan pamornya.

"Itu yang aku salut sama Bro. Jujur. Apa adanya. Tidak malu mengakui," sambut Hardiman memberikan pujian.

Hanjo kembali tersenyum. Senyuman yang kedua.

"Jadi, kita hanya pergi berdua saja. Tidak ada yang lainnya?" selidik Hardiman pula.

"Sudah banyak di sana. Ngapain lagi bawa-bawa?"

"Maksud aku, kita berdua saja?"

"Ya. Berdua."

"Aduh, kacau ini. Kacau..." Hardiman geleng-geleng kepala.

Hanjo terheran-heran. "Kacau kenapa?"