2.
Persaingan (2)
~ Beberapa orang lainnya tak percaya bahwa mereka diliputi banyak kejutan dalam hidup. Namun beberapa lainnya percaya karena sudah mendapatkan kejutan itu.~
Rasa Syukur Alex.
Copyright ©Irma Karameena the novel & the quotes
***
Tanpa basa-basi Alex keluar dari kelas. Dan pulang dengan dendam yang membara, seperti sebuah api dalam sekam yang suatu saat akan membakar juga. Barangkali seperti itu yang Alex rasakan saat ini. Saat Alex mencoba memohon tak ada yang mendengar. Alex sendirian seperti anak bebek yang tersesat. Dirinya hanya memaki tapi tiada gunanya.
"Awas kalian semua," batinnya.
Semenjak Alex dikeluarkan dari sekolah. Dia tak berani pulang ke rumah. Alex pergi dengan membawa tas ranselnya. Alhasil, beberapa hari Alex tinggal di jalanan. Tidak bersekolah. Luntang-lantung. Dia tinggal dikosan kumuh di Jakarta. Alex menjadi tukang angkut barang di pasar. Dan membantu Bi Ijah menjual sayur.
Lalu tiba-tiba.
Ada mobil mewah mendadak berhenti di depannya.
"Tuan muda Alex, naiklah. Kebetulan Tuan Waleed, Ayah kandung Tuan sedang di Indonesia. Kami diminta menjemput Tuan. Dia ingin, anda Pulang," kata pria berjas dan berkaca mata hitam itu.
"Hah?" Alex masih tercengang. Alex masih linglung, "pulang maksudmu?"
Alex mengernyitkan dahi dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Dia berlari dari pria berjas itu lalu kembali ke rumah. Rumah yang ia tinggali sejak kecil dengan Pak Rustam yang dia panggil Ayah beserta kakak-kakak Alex. Alex mengira Pak Rustam adalah Ayah kandungnya.
***
Dia menemui Pak Rustam di kamar. Alex sebagai anak bungsu dan anak kelima dari Rustam Wijaya. Rustam semakin sekarat. Usianya sudah sekitar 70 tahun. Kakak pertamanya Ardhy sudah menikah, kakak keduanya Yunita juga sudah menikah, Kakak ketiganya Pras masih kuliah, dan kakak keempatnya Puspa atau dipanggil Pupus, kelas 3 SMA.
Mereka semua berkumpul. Jantung Rustam semakin lemah. Dokter yang memeriksanya juga tak banyak membantu. Dokter menyuruh mereka menemani detik-detik terakhir Ayah mereka.
"Alex," Pak Rustam meraih tangan berotot Alex.
"Kau anak Ayah, paling kecil dan tampan. Tetapi, ijinkan Ayah mengatakan kebenaran, Nak. Kau.... Kau... bukan anak kandungku," ujar Pak Rustam terbata-bata.
"Apa yang Ayah katakan?" Alex tercengang.
Semua anggota keluarga disana juga ternganga. Tentu saja mereka kaget.
"Jadi selama ini, dia bukan adikku?" kata Puspa, panggilannya Pupus, "Sudah kuduga. Pantas saja, kalau dia anak buangan."
"Benar... Tapi aku ingin kalian tetap menyayangi adik kalian ini. Dia juga keluarga kalian," ujar Pak Rustam menasehati anak-anaknya.
"Gak mau! Dia kan nakal, Ayah," kata Puspa, "dia bahkan mencuri!"
"Mana mungkin! Putraku tidak mungkin mencuri?" Pak Rustam menyentuh pipi Alex dengan sayang.
Mata Alex berkaca-kaca. Karena pamannya percaya padanya. Alex langsung memeluk Pak Rustam. Hanya Ayahnya yang percaya padanya. Tidak ada seorang pun selain Rustam.
"Ayah... Kenapa kau mengatakan aku bukan anakmu? Lalu siapa Ayahku?" kata Alex sambil mencium tangan Rustam.
"Kau itu putra dari adikku, Syima, Alex. Dia menikah dengan pria asing dari Arab. Aku mengambilmu saat dia meninggal tepat saat kau lahir."
Rustam Wijaya mengelus wajah tampan Alex. Pantas saja dia berbeda sendiri, tidak seperti kakak-kakaknya. Mereka juga sering menjuluki Alex bukan anak kandung pak Rustam. Karena fisiknya canpuran antara indo-arab.
Nafas Rustam Wijaya kembang kempis. Seperti mau habis dan seperti ada yang menariknya pelan-pelan.
Lalu, Rustam membaca syahadat.
Rustam menghembuskan nafas terakhirnya.
"Ayah... !" semua berteriak. Apalagi Alex, selama ini paling disayang dan dimanja oleh Rustam.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Wajah Rustam ditutupi dengan selimut. Semua menangis dan meraung sedih. Selepas itu, Pras bangkit dari duduknya.
"Pergi kau!" katanya pada Alex.
"Abang... jangan usir aku!" kata Alex masih sesunggukan.
"Gara-gara kau sering membuat masalah, Ayah meninggal!" kata Pras. "Pergi!"
"Enggak, Abang, enggak! Alex gak mau pergi." kata Alex meraung. Kesedihannya belum reda.
"Alex, pergilah!" kata Ardhy sedikit dengan nada lebih lembut, "kau bukan siapa-siapa kami. Kau hanya sepupu kami."
Alex tertunduk kaku. Dia terdiam.
Yunita hanya memandang Alex dengan sedih. Dia tak bisa berbuat apapun. Karena Ardhy anak pertama. Alhasil, tak ada yang berani membantah. Ardhy juga sedikit dingin.
"Baik, Abang. Tetapi ijinkan Alex pergi setelah Ayah dimakamkan," kata Alex dengan mata berkaca-kaca, "setelah itu Alex pergi dari rumah ini."
Sore itu.
Rustam Wijaya sudah selesai dimakamkan. Semua pelayat sudah pergi. Kecuali mereka putra-putrinya. Lantas, seorang pengacara pembagi warisan datang pada mereka. Dia mendapat tugas dari pak Rustam sebelum meninggal.
"Kita bicarakan di rumah saja ya, Pak," kata Ardhy.
Sesampai di rumah, detik-detik sebelum Alex diusir kedua kalinya.
Di ruang tamu. Semuanya berkumpul.
"Jadi, Alex mendapatkan setengah harta warisan karena harta semuanya ini milik ibunda Alex, Syima Wijaya. Dia mendapatkan harta dari suami arabnya, Ayah kandung Alex. Dan diserahkan pada Rustam Wijaya saat meninggal dunia. Jadi kalian berempat mendapat setengahnya dan masing-masing dibagi empat," kata pengacara itu.
"Tidak bisa! Alex bukan adik kami!" kata Ardhy.
"Benar, Pak. Tapi rumah ini milik Syima Wijaya, ibu Alex," kata pengacara itu, "rumah ini menjadi milik Alex. Dan toko itu juga milik Ibu Syima Wijaya. Tetapi Pak Rustam menyerahkan pada kalian berempat. Agar bisa dikelola. Keputusan ini berlaku setelah Alex berusia 17 tahun. Jadi selama Alex belum 17 tahun, rumah ini dititipkan pada Pak Ardhy dulu selaku orang dewasa."
Pengacara itu pulang setelah memberikan kabar warisan. Dan apa yang terjadi setelah itu?
"Alex!" Ardhy memasang wajah sangar, "pergilah, aku tidak menyukaimu. Kau bilang akan pergi dari sini setelah pemakaman."
Mulut Alex terkatup rapat. Wajahnya pucat pasi. Alex masih remaja. Masih kecil. Tak tahu apapun.
"Lalu aku akan tinggal di mana?" kata Alex.
"Terserah padamu!" kata Ardhy dengn nada marah, "kau cari Ayah kandungmu itu."
"Pergi!!!" Pras melempar barang-barang Alex keluar. Mereka tak ingin Alex menguasai harta di rumah itu.
Alex kembali pulang ke kosan kumuhnya. Sebelum masuk ke dalam kos. Alex diguyur air comberan bau oleh ibu Kosnya.
"Bayar! Sudah seminggu tinggal dikamar, tapi belum bayar. Pergi kau dari sini!"
Alhasil, Alex terpaksa pergi dari kosan itu. Berjalan sendirian di trotoar jalan. Alex tak memiliki tujuan lagi. Tubuh Alex sungguh bau dan kotor. Semua orang lalu lalang sekedar memandangnya saja.
Saat Alex duduk di bangku jalanan. Mobil mewah dan pria berjas itu datang lagi.
"Ayo naik Tuan! Tuan besar sudah menunggu," kata pria berjas dengan rambut klimis dan rapi itu.
Pria itu membukakan pintu mobil untuknya. Dengan ragu-ragu Alex masuk ke dalam mobil mewah itu. Badannya masih bau dan kotor. Sangat memalukan memang. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Jika kebahagiaan tak abadi, artinya kesedihan juga tak abadi. Setelah ini, hidup Alex akan berubah, menjadi dirinya yang sesungguhnya, identitasnya yang hilang.
Dalam perjalanan, Alex bertanya-tanya. Siapa sebenarnya orang yang Ibu nikahi? Berulang kali dirinya memperhatikan isi mobil mewah itu. Memang seberapa kaya orang itu?
***