4 Agustus 2019
Dengar, aku sungguh tidak tahu apapun yang terjadi pada musim panas Juli lalu, tapi aku sungguh yakin bahwa hidupku ini tidak lebih buruk dari apa yang aku bayangkan.
Segalanya terjadi begitu cepat. Dan di akhir Agustus yang menjemukan, hidupku berubah total sepenuhnya.
Biar ku perjelas. Aku sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk mengawali semua ini. Seperti kepingan puzzle, yang seharusnya disusun secara berurutan. Dari bagian yang mudah dikenali hingga bagian yang tersisa sampai sepenuhnya membentuk gambaran mengerikan dari kepingan mengerikkan lain.
Mungkin aku hanya bisa menyusun seluruh kepingan puzzle ini dari tengah-tengah, persis seperti memori terakhir yang kuingat. Mungkin semuanya bisa disusun dari ujung paling kanan, atau kiri, bahkan atas dan bawah. Mungkin saja semua ini dimulai sangat jauh sebelum itu. Akan tetapi, aku sungguh sangat yakin bahwa semua itu bermula saat aku menemui pria ini. Pria misterius yang sama sekali tidak kukenali. Di malam menjemukkan akhir musim panas tahun lalu.
Tepatnya di kantor Polisi Runcorn, Chesire Secara kebetulan aku keluar dari sana setelah melaporkan tentang hilangnya Ibuku---yang mana membuatku sedikit kecewa karena mereka sama sekali tidak meresponku. Aku duduk di sebuah bangku di ruang tunggu Kepolisian, melamun sambil memikirkan tentang mengapa Orang Tuaku meninggalkanku sendirian di rumah secara bergiliran.
Bahkan jika mereka memiliki jawabannya.
Ayah pergi tanpa jejak dengan alasan ditugaskan oleh Badan Kepolisian ke luar kota, dia tidak pernah menghubungiku semenjak hari itu---bahkan Ibu. Aku selalu merasa seperti ada masalah dengan semua ini. Aku tidak terlalu mengingat hari dimana dia meninggalkanku begitu juga saat ibuku kabur dari rumah. Rasanya seperti memori tersebut kian memburam, seperti air jernih yang sekali di campur adukkan dengan pasir atau seperti kertas bertinta yang di celupkan di air kolam. Perasaan seperti itu sama halnya disaat Ibu meninggalkanku di tengah malam ketika semua orang terlelap dan berhadapan dengan mimpi yang terproyeksikan di otak mereka. Entah kenapa dia sungguh.. Hilang. Seperti dirinya berdiri diatas Lumpur Goodwin, lalu perlahan dirinya mulai terhisap olehnya sampai ujung rambutnya tidak bersisa sama sekali. Tidak pula ada kabar sekatapun dari mereka.
Aku duduk menunduk sambil mataku memandangi tanganku yang secara refleks bertingkah sesuai suasana hatiku---cemas. Mataku sembab, aku terlihat kelelahan, dan kepalaku pusing sekali-berkat beberapa bekas lebam di leherku karena kecerobohanku. Hari itu aku memutuskan untuk tidak pulang sebelum mendapatkan jawaban atas apa yang aku pertanyakan.
Kenapa mereka berdua meninggalkanku sendirian di rumah?
Aku tidak menyadari sekelilingku, disampingku duduk seorang anak yang kira-kira usianya sama dengan diriku. Dia berkulit hitam, rambut afro yang ia rapikan, mata hitam malam, dia hanya duduk-mungkin mengamatiku menangis, tidak berbuat apa-apa ataupun menginterupsi lamunanku. Dia mirip seperti seseorang yang aku kenal, wajahnya pun terlihat familiar. Aku tidak tahu siapa itu, kurasa aku melupakannya.
Kukira dia hanya sedang menunggu ayahnya pulang kerja---karena ini adalah dini hari, tapi kenapa dia tidak masuk saja kedalam dan menemui ayahnya?
"Kau tidak lelah menangis?" Bocah itu bertanya. Aku tidak menjawabnya untuk sementara waktu. Kupikir aku sedikit tersinggung dengan perkataannya.
"Kau tidak lelah memandangiku menangis seperti itu?" Jawabku, entah muncul dari mana, kurasa jawabanku sedikit tajam. Aku tidak berekspektasi dia akan tetap tinggal disini dalam waktu yang lama.
Dia tersenyum, "tidak, kuharap demikian."
Aku hanya mendesah. Aku melihat kearah matanya. Seperti dia dapat merasakan kalau perbincangan ini sia-sia dan entah bagaimana tanpa arah, seperti insting yang mengatakan padanya bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang menyudahi percakapan dengan cepat. Lalu kemudian dia terperanjat, seolah teringat dengan sesuatu. Dia mengulurkan tangannya yang tidak bersarung tangan kearahku, "Gustavus Vassa, kau bisa memanggilku Gustave."
Gustavus Vassa.
Aku tersenyum kearahnya, mengabaikan perasaan sedihku yang menumpuk karena kehadirannya membawa kembali kecerahan dalam diriku. "Daniella, Daniella GutiƩrrez Pedreiro," tanganku meraih tanggannya, kami berdua berjabatan tangan.
"Dani?" Dia menaikkan alisnya. Kemungkinan menanyakan apakah dirinya boleh memanggilku dengan nama depan, karena nama belakangku sulit untuk dilafalkan.
"Semua teman-temanku memanggilku demikian, terutama sahabatku Eleanor dan George, mereka bilang bahwa Dani lebih mudah diucapkan daripada memanggil namaku secara keseluruhan," yang mana aku tidak mengetahui kenapa aku berbagi cerita ini dengan orang-sebut saja orang asing, yang baru saja bertemu denganku pada tengah malam yang menjengkelkan di musim panas ini.
"Itu bagus, aku menyukainya,"
Itu melegakan. Dia tidak terlihat hendak menanyakan tentang kenapa aku bisa berakhir disini. Dia tidak terlihat peduli, atau mungkin dia sudah mengetahuinya. Momen keheningan menyelimuti udara di sekitar kami, menciptakan kecanggungan tersendiri. Hanya terdengar obrolan oleh para Petugas Kepolisian yang memperbincangkan sebuah kasus atau apalah, terdengar samar, diredam oleh pintu dan jendela kaca. Yang mana membuat lorong terasa sunyi, tapi mungkin tidak terlalu demikian. Terkadang telapak kaki Petugas yang berlalu lalang memecah keheningan.
"Disini sungguh hening, seperti bunyi kematian," ujarnya membuat-buat percakapan kecil, kemungkinan caranya untuk tidak membiarkan perbincangan kami berakhir begitu saja. "Aku tidak tahan dengan ini, ingin pergi ke suatu tempat?" Tawarnya.
Kami berdua beranjak keluar meninggalkan posisi semula. Dia yang memimpin, aku mengikutinya dari belakang. Kami berdua berbincang-bincang kecil mengenai apa film yang kau sukai, dan apa jenis musik yang kau dengarkan. Gustave tidak menyukai hal-hal semacam itu, yang mana itu cukup aneh. Seperti, kenapa pula ia menanyakan hal semacam itu jika dia sama sekali tidak menyukainya? Apa dia punya kesukaan khusus seperti kesukaannya dengan kebun binatang et cetera? Tetapi kemudian aku memiliki intensi untuk berjalan menuju di jalan langsung ke arah rumah, pulang dan istirahat. Aku hanya sedang lelah hari ini.
Di sepanjang perjalanan, yang kurasakan hanyalah perasaan canggung---berkat keberhentiannya menanyakan sesuatu secara mendadak dan juga didukung oleh ketidakmampuanku mengawali dan membawa topik pembicaraan, kurasa kami secara telepatis bersepakat dan memutuskan untuk diam. Setidaknya sampai aku melihat adegan ini.
Kami melewati rel kereta api, berjalan mengiringinya di sepanjang jalur perjalanan. Di stasiun Runcorn tidak ada gerbong kereta api tersisa. Kemungkinan sudah berangkat beberapa menit yang lalu---atau mungkin masih belum tiba. Mengingat bahwa terdapat beberapa orang yang masih menunggu di area stasiun sambil membawa perlengkapan mereka, beberapa orang tidak membawanya. Kemungkinan sisanya hanyalah para turis atau penduduk lokal yang sedang lewat menuju ke tujuan perjalanan akhir mereka.
Akhirnya kami sampai ke jembatan penyeberangan rel kereta. Aku berkata padanya bahwa banyak orang yang mati disini.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Entahlah, mungkin bunuh diri dengan terjun dari jembatan, atau secara tidak sengaja jatuh dan terlindas oleh kereta, atau mungkin stasiun ini dulunya adalah medan peperangan tempat dimana pasukan perang di perang Peterloo Massacre gugur sebelum menjadi rel kereta api di akhir abad ke-19, tepatnya pada masa Revolusi industri kedua di Inggris. Aura kematiannya sungguh meyakinkan," jelasku. Dia hanya mengangguk, tidak menanggapi sepatah kata. Kemungkinan saja dia ingin aku terus berbicara dan memberitahunya omong kosong.
"Atau mungkin itu semua tidaklah benar," imbuhku.
"Kau tidak yakin dengan hal itu? Kau nampaknya adalah tipe bocah yang tidak pernah membolos kelas sejarah, bukan?" Ucapnya yang mana membuatku merasa bahwa aku baru saja mengatakan hal-hal yang bodoh.
Aku mengangkat bahu. "Hanya perasaanku saja. Faktanya, di sekolah sekunder Cloverfield, aku bahkan banyak membolos di pelajaran seni karena gurunya sungguh membosankan. Para temanku ini, namanya Amelia Maze dan Patrick Schwartz sering membawaku ke halaman belakang sekolah untuk menonton para murid yang sedang memiliki jam olahraga."
"Bukankah itu menyenangkan jika memiliki teman?"
Aku mengangkat bahu. "Semenjak tahun ke 9, kami menjadi tidak begitu dekat lagi. Amelia menjadi bocah emo penyendiri, sementara Patrick bergabung di tim sepak bola. Jadi ... inilah kehidupan. Orang-orang cepat datang dan pergi."
Kemudian aku menceritakan padanya tentang teman masa kecilku, masa dimana Eleanor, George dan aku dulu sering pergi ke stasiun hanya untuk sekedar melihat kereta yang berhenti di stasiun. Kala itu aku masih berumur sekitar 8 tahun. Kami semua terobsesi dengannya, suara derit rem kereta api, masinis yang memiliki postur keren beserta kumisnya yang tebal, bau kepulan asap oleh bahan bakar batubara sebelum semuanya tergantikan oleh mesin. George yang jatuh dan terluka ketika berusaha mengejar kereta dengan berlari. Saudarinya-Eleanor Ives, cemas saat itu. Ketika George berlari, dia berteriak layaknya seorang murid mengemis memintai pertolongan untuk dibukakan gerbangnya saat tahu bahwa ia datang terlambat. Bahkan Elleanor menangis untuknya, dia selalu ketakutan dan berpikiran bagaimana kalau saja George tidak bisa berjalan lagi. Entah bagaimana Eleanor terus menyalahkan dirinya sendiri. Semuanya terasa begitu nostalgia. Beberapa tahun stelahnya kami bertiga tidak pergi ke sekolah sekunder yang sama.
Eleanor pergi ke Woodstock, sementara George ke Akademi Taman Eden. Yang kudengar dia keluar dari sana dan pindah ke Woodstock juga.
Dan hal itulah yang memisahkan, dan merenggangkan hubungan kami semua.
Momen aku menyadarinya, ternyata aku payah dalam hubungan pertemanan.
Dia berjalan beriringan denganku, hanya diam mendengarkan semua hal yang kuceritakan padanya. Sesekali dia menatap ke arahku, lalu menunduk. Tidak jarang pula ia terkekeh ketika aku mengatakan lelucon. Tapi kebanyakan dia hanya diam. Malahan hal itu tidak menyinggungku. Aku bahkan tidak mempedulikan bila dia mendengarkannya ataupun tidak, namun setidaknya dia tidak menginterupsiku saat aku sedang berbicara.
Kami berdua berhenti tepat disaat mencapai taman Skate, aku melihat beberapa orang masih saja bermain skateboard. Ini sudah malam. Mungkin mereka hanya sekumpulan remaja kuliahan di hari liburnya. Yang satu dengan sepeda BMX nya baru saja datang dan bergabung bersama kumpulan para pria dengan celana pendek beserta pelindung kepala, dan juga siku serta lututnya. Para pria tertawa ketika salah satu dari mereka secara tidak sengaja terjatuh. Akan tetapi hal itu tidaklah sefatal yang kau kira. Pria yang terjatuh tersebut langsung tertawa dan kemudian bangkit setelah pria yang lain mengulurkan tangan kearahnya.
Tapi, sepeda mengingatkanku pada hari pertama aku dapat mengendarainya. Aku tidak ingat pasti, tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu. Dulu aku sering pergi ke lapangan basket di belakang rumah Eleanor untuk berlatih bersepeda. Masa saat aku menabrakkan sepedaku ke pagar dinding berbatanya karena mencoba untuk membuat George terkesan dengan bersepeda tanpa memegang kendalinya. Kemudian aku mengatakan padanya kalau ayahku dulu tidak pernah mau mengajariku cara mengendarai sepeda, begitu juga dengan Ibu. Mereka selalu beralasan sibuk, tetapi kenyataannya mereka tidak punya apa-apa untuk dikerjakan.
"Musim panas hampir berakhir." Ujarnya yang tidak kutahu kenapa ia tiba-tiba saja membawa topik ini.
"Kau tahu betapa banyaknya aku membenci musim panas?" Ujarku, mungkin terlalu banyak pamer.
"Kurasa. Apa yang biasanya kau lakukan saat musim gugur?"
"Memotong rumput, membaca buku saat badai datang, terkadang aku menyukai saat terik matahari ditutupi oleh awan hitam dan berangin,"
"Cuaca yang sempurna, huh?"
"Yeah, sangat-sangat sempurna."
Kemudian kami kembali melangkahkan kaki disaat salah satu dari mereka menyadari keberadaanku.
Aku mengatakan padanya tentang Abuelo dan Abuela---nama Spanyol untuk kakek dan nenek, seperti pada saat perayaan Thanksgiving beberapa tahun yang lalu sebelum meninggalnya mereka, mereka berkunjung dari Meksiko. Hari itu, ibu membuatkan kami semua Kalkun panggang, Burrito pedas isi ayam dengan bungkus Tortilla, Quesadillas Ayam, Taco---yang mana Abuela berkomentar tentang masakannya yang sedikit kurang asin dan terlalu manis. Tipikal wanita Inggris, katanya. Aku tahu perasaan ibu, bagaimana dia mencoba untuk mengesankan mertuanya, itu tidak bekerja sama sekali. Saat itu aku juga membayangkan betapa kecewanya Eleanor nanti saat ia datang ke rumahku lalu melihat ke meja makan yang dipenuhi dengan beberapa unggas yang tidak bersalah di cincang dan dibakar kemudian disajikan kepada para spesies manusia yang haus darah. Pasti dia akan sedih dan terus meminta maaf kepada kalkun bakar atas apa yang dilakukan oleh para manusia padanya.
Kemudian Abuelo duduk di sofa yang terletak di sebelah kiri cerobong asap. Dia bermain Vihuela sambil menyanyikan lagu "Cielito Lindo" tidak ada kesedihan, kebencian, iri, dengki di masa itu. Hanya atmosfer keceriaan, kekeluargaan, tak ada yang lain lagi. Setelah selesai, kami semua menonton film "Una Familia de Tantas"---kesukaan Abuelo, katanya itu mengingatkannya saat remaja dulu dia selalu menontonnya bersama dengan seluruh ke-7 anggota keluarganya. Tidak dapat dihitung sudah berapa kali dia memutar ulang film tersebut, imbuhnya.
"Kenangan manis, huh?" Kata Gustave.
Aku tersenyum padanya, mencoba fokus kembali melirik ke beberapa tahun setelahnya, "ya, mungkin Thanksgiving terbaik yang pernah ada, tapi aku tahu kalau hari-hari itu sudah tidak dapat terulang kembali," kataku, terdengar sedikit ironi yang menggaris bawahi kata terbaik.
"Kenapa? Apa sesuatu terjadi dengan keluargamu?" Tanyanya.
Aku lupa, mungkin dia memang masih belum mengetahui tentang bagaimana orang tuaku minggat dari rumah dan menyisakanku sendirian, dan bagaimana perasaanku hari itu. Betapa kebingungannya aku. Terkadang aku berpikir kalau ibu membenci ku, atau mungkin itu hanyalah sebuah perasaanku saja. Tapi aku yakin, tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar peduli padaku. Mereka seharusnya tidak boleh melakukan itu, kau tidak bisa berbuat begitu-pergi tanpa jejak. Seolah apa artinya aku pada mereka? Kecelakaan? Kebocoran kondom?
Semua hal ini membuatku muak. Terkadang aku memilih untuk tidak mengingatnya apalagi membicarakannya dengan siapapun---termasuk sahabatku Eleanor dan George.
"Mereka sudah meninggal, rupanya orang tuaku juga demikian, tapi yang membedakannya adalah, mereka hanya meninggalkan rumah, bukan meninggal dalam artian mati." Aku menjelaskannya dengan perasaan yang kurang nyaman.
Dia tidak menjawab. Mungkin butuh waktu untuk memproses apa yang baru saja ku katakan tadi. "Lalu, dengan siapa kau tinggal?"
"Sendirian." Jawabku singkat. Sungguh ironis.
"Sendirian? Tidakkah kau merasa kesepian?"
Tidakkah aku merasa kesepian? Mungkin.
Apakah aku merindukan mereka? Kemungkinan besar tidak.
Lalu apa yang harus kulakukan?
"Entahlah, terkadang aku menyibukkan diri dengan menonton serial televisi, atau menjelajah ke internet supaya aku tidak terlalu memusingkannya. Kau tahu, pengalihan pikiran mungkin sedikit membantu," jelasku.
"Itu saja? Apa kau tidak memerlukan pengalihan pikiran yang lain?" Katanya. Yang mana hal itu langsung membuat perasaanku menjadi tidak enak. Ini adalah sebuah kegilaan.
"Pengalihan... Pikiran lain?"
"Kau tahu, pergi bekerja, mencari hobi baru, berlatih renang, sekalipun belajar bermain Skateboard, sehingga kau akan terkesan sebagai murid keren, atau hal yang lainnya. Hal apapun yang dapat mengalihkan pikiranmu dan menyingkirkan perasaan sedihmu, kesendirianmu," katanya. Menepis segala keambiguan yang terlintas di pikiranku.
Kukira dia akan mengatakan hal yang lainnya padaku.
"Terdengar meyakinkan." Ujarku. Mungkin dia benar, mungkin aku membutuhkan pengalihan pikiran. Tapi sialnya, aku tidak merasakan apapun. Aku tidak merasakan kesepian. Aku hanya sedang kebingungan. Itu saja.
Terkadang aku merasa bahwa aku seperti berdiri di puncak menara Eiffel, dan aku tidak memiliki pilihan lain selain melompat kebawah.
"Kuharap aku bisa berbicara dengan ikan, kau tahu." Ujarku. Dia tidak menjawab, kemungkinan saja dia membiarkanku untuk menyelesaikan seluruh kalimatku sehingga dia tidak merasa menginterupsiku, "agar aku dapat membagi semua kesedihanku dengannya, melepaskannya lalu membiarkan semuanya tenggelam bersamaan dengan siripnya,"
Dia tersenyum, "hey, kau tidak tahu kalau aku ini sebenarnya adalah ikan?"
Kemudian kami berdua tertawa.
Ini adalah kali pertamanya aku tertawa setelah kejadian itu. Sebelumnya aku merasa kehilangan harapan. Aku bahkan menghindari Elleanor dengan seribu lawakannya sejak saat itu, mungkin saja aku tidak ingin semua aura negatifku bercampur dengan aura positif yang dimiliki olehnya. Elleanor adalah gadis yang baik-juga teman yang baik.
Mungkin Gustave adalah pria yang baru saja kutemui, dia juga terlihat tidak berbahaya. Dia baik. Hanya saja aku berpikir bahwa apakah aku ini layak mendapatkan teman sebaik dirinya?
"Tidak, kau jelas bukan."
Gustave terkekeh, "tapi aku punya mulut seperti ikan," katanya sambil mencoba meniru moncong mulut ikan dengan menggunakan bibirnya yang tebal.
"Oh demi Poseidon, kau mirip seperti salah satu ikan yang--" aku tidak meneruskan perkataanku karena sebuah mobil secara tidak jelas membunyikan klaksonnya beberapa kali di sebuah pertigaan, hal itu mengejutkanku. Aku langsung menoleh ke arahnya. Ke arah lampu sorot yang menutupi wajah merahnya yang kesal. Dia terus saja membunyikan klaksonnya, dia tidak peduli kalau suara bisingnya dapat membangunkan para tetangga yang sedang tidur nyenyak di malam yang dingin ini. Dan masih saja, aku tidak bergerak dari tempatku semula.
"Hey! Apa yang kau lakukan berdiri di tengah jalan seperti ini, mate?! Menyingkirlah kau kambing betina," dengan aksen Inggris marahnya.
"Maaf pak, aku tidak menyadarinya."
"Menyingkirlah! Kau teler atau bagaimana,"
Lalu aku mengangguk sambil menyebrang ke sisi lain trotoar. Aku sampai tidak menyadari kalau itu bukan saatnya untuk menyeberang. Awalnya kupikir tidak apa-apa karena sudah tidak ada lagi pengendara mobil yang lewat. Jalanan juga tampak sepi dan senyap. Hanya nampak lampu jalanan yang satu diantaranya berkedip-kedip seperti kehabisan tenaga.
Mungkin pria itu bekerja lembur atau mungkin dia hanya seorang pria yang baru saja pulang dari bar setelah minum beberapa minuman untuk meredakan stress karena masalahnya yang tiada henti-hentinya menampar wajahnya. Itu sungguh jelas sekali jika dia terlihat marah hanya karena masalah kecil.
Semua orang terlalu stress akhir-akhir ini.
Saat aku melanjutkan langkahku, dan tiba di sebuah kawasan pemukiman, aku menyadari kalau Gustave sudah tidak ada disampingku. Dia lenyap. Mungkin dia pergi ke sisi lain jalan, atau mungkin berbalik untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Entahlah, mungkin aku terlalu sibuk memikirkan sesuatu sampai-sampai pikiranku teralihkan sehingga aku mungkin bisa saja tidak dapat mendengar ucapan selamat tinggal Gustave.
Seperti yang kukatakan tadi, semua orang terlalu stress akhir-akhir ini.
Dan itu semua terjadi sekitar setahun yang lalu.
* * *