16 Juni 2020.
Kupikir aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi setelah dia pergi pada hari itu. Tapi dia tidak sepenuhnya menghilang. Terkadang aku bertemu dengannya saat berbelanja di toko sayuran, terkadang aku pula memimpikannya datang ke rumahku lalu pergi ke dapur untuk membuatkanku teh-mengingat rasa teh buatanku sungguh mengerikan-kemudian melakukan hal-hal yang aneh diluar nalar karena semua itu hanyalah mimpi belaka. Tapi tidak jarang juga aku bertemu dengannya disaat pulang kerja, terutama saat melewati jalan yang sama.
Aku pergi ke sekolah seperti biasa. Berjalan kaki sampai ke pangkalan bis, lalu naik bis sekolah beserta puluhan murid lain sampai menuju Cloverfield.
Aku mulai memasuki pintu depan sendirian. Dengan mengenakan seragam biru muda di dalamnya, dilingkari oleh dasi merah dikerahnya, beserta blaser biru tua. Aku tampak seperti pria lulusan kuliah yang baru saja hendak melamar kerja di kantor.
Selama perjalananku di lorong, anak-anak mengamatiku dengan tatapan seolah aku adalah bintang film baru yang terlibat skandal perselingkuhan dengan kameraman. Seperti, aku bahkan tidak tahu apa masalah mereka. Aku tahu tatapan itu, tatapan jijik yang mengatakan bahwa aku tidak memiliki tempat disini. Di sekolah privat Cloverfield sialan yang banyak terdapat anak-anak kaya yang menyebalkan. Dan tentu saja aku bukanlah salah satunya, namun bisa dikatakan ibuku lah yang dulunya membuatku daftar di sekolah ini. Karena dulu dia adalah alumninya. Dan Cloverfield adalah sekolah elit bagaimanapun juga. Aku tahu kalau ibu ingin yang terbaik untukku. Bahkan jika terkadang ayah mengeluh karena biayanya yang mahal. Tapi entahlah. Terkadang aku bertanya-tanya kenapa Eleanor enggan pergi kesini bersamaku. Dia adalah anak yang cukup teristimewakan dalam masalah keuangan.
Tasku kuletakkan didalam lokerku yang terbuka. Aku mengambil beberapa buku didalamnya untuk pergi ke kelas Fisika. Ini adalah kelas yang cukup kubenci karena, selain aku tidak bisa fisika, kedua mantan temanku dan satu mantan pacarku ada di kelas ini. Sungguh, setiap kali aku berada di ruangan bersama mereka, aku ingin kabur dan pergi membolos saja. Mereka bertiga membuat seluruh situasi canggung tanpa alasan.
Walau itu bukan kesalahan mereka yang berhenti berteman denganku sekitar setahun yang lalu karena, alasan," Kami ingin menempuh jalan masing-masing." Kami bahkan tidak cocok sebagai teman. Kepribadian kami sungguh bertolak belakang.
Aku duduk di kursi seperti boasa dengan menatap Amelia Maze dan Patrick Schwartz satu per satu. Ereka tidak menatapku kembali. Mungkin caranya untuk mengabaikan diriku atau mereka mungkin sama sekali tidak menyadariku. Namun satu hal yang kutahu, Dante Mendoza menoleh ke belakang dengan diam-diam mencuri pandanganku. Dia tampak tidak bisa melanjutkan hidup setelah kami putus.
Saat Mr. William menjelaskan tentang gaya dan apapun itu rumus yang sama sekali tidak masuk akal untukku, kepala sekolah Clark menginteruspi dan masuk tanpa permisi.
"Apakah Daniella Pedreiro ada di kelas ini?"
Aku langsung merimding setelah mendengar pertanyaannya. Aku pasti ada dalam masalah besar jika situasinya seperti ini. Bahkan ekspresinya pun sinis. Astaga aku ingin menghilang saja.
"Saya ada disini. Ada apa ya, pak?"
"Oke, baiklah, bisakah kau datang bersamaku menuju ke kantor? Oh ya, jangan lupa untuk membawa semua barang-barangmu." Dan akupun mengikuti perintahnya tanpa banyak meminta penjelasan.
Aku duduk berhadapan dengannya sambil gemetar. Semua urat nadiku mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan semua ini.
"Aku ingin kau mencermati apa yang ingin kukatakan dengan baik, Daniella. Aku percaya kau adalah anak yang cukup pandai. Dan tentu saja kau memiliki banyak potensi. Akh hanya ingin kau tahu bahwa kami semua menerimamu apa adanya."
"Apa yang anda maksud, 'menerimamu apa adanya'? Apa alasan dibalik anda membawaku kesini?"
"Tenang dulu, tolong dengarkan. Aku ingin kaj menanggapi ini bukan sebagai deklarasi perang. Namun menerima penawaran ini dan menerimanya dengan kepala dingin."
"Penawaran ... apa?"
"Aku ingin kau meninggalkan sekolah ini."
"A-apa ... maksudnya??"
"Tenanglah dulu. Kami tidak ingin mengeluarkanmu atau sebagainya, kami hanya memintamu untuk-"
"Tapi kenapa? Kenapa aku yang kah minta untuk keluar? Apakah sekolah ini tidak kekurangan anak-anak kulit putih sehingga kau mengeluarkan gadis Meksiko sepertiku?"
Kepala sekokah tidak menjawabnya, sudah kuduga.
"Aku ingin kau memikirkan baik-baik. Alasan kami tidak mengeluarkanmu adalah agar sekolah lain dapat menampungmu. Mengingat ada kabar kurang enak soal ayahmu ... "
Kepala sekolah mengatakannya dengan nada tenang. Seolah tidak ada penyesalan sama sekali. Dia bahkan tampak tak peduli betapa hancurnya aku atau tidak. Yang dipedulikan mungkin adalah uang, uang, dan uang. Aku tidak tahu alasannya apa, namun suaranya kian memburam kata demi kata hingga aku tak bisa mendengarnya sama sekali. Aku mendapati mataku berkaca-kaca kala dia membuka mulut dengan tidak disertai suara apapun. Saat itulah aku mulai menangis hingga air mataku menetes dan aku harus mengelapnya.
" ... Daniella!" Hardiknya sampai aku terperanjat. "Kau mendengarkan bukan?"
"Ya, ya, 1000%. Tolong lanjutkan."
"Baiklah. Kami tidak ingin reputasi Cloverfield menjadi rusak hanya karena satu murid bermasalah. Kami juga khawatir akan keselamatan para murid serta keamanan mereka. Oleh karena itu, kami dengan rasa hormat memintamu untuk pundah dari sekolah ini."
"Jadi itu? Itukah poin dari semua hal ini?" Aku mengangkat nada bicaraku. "Keamanan katamu? Apa yang kau maksud dengan keamanan? Dari apa? Apakah kau pikir semua orang Meksiko itu adalah seorang kriminal? Penyelundup dan imigran gelap? Jawab aku pak!"
"Aku percaya kau salah pa---"
"Berhenti menyangkal apa yang kau katakan dengan alasan disalahartikannya kalimatmu, Pak. Selama bertahun-tahun, masyarakat diperlakukan secara berbeda dengan keistimewaan yang berbeda hanya berdasarkan diri mereka? Berdasarkan seperti apa mereka dilahirkan? Dan apa yang kau pedulikan bukanlah mengakhiri ketidakseimbangan hirearki sosial, dan malah mementingkan reputasi? Kau tahu, pak, aku sudah muak dengan bigotri orang semacam kalian. Kalian bakalan sangat menyesal dimasa depannya karena kebijakan ini. Camkan itu." Aku berdiri lalu meraih tasku dan sebelum beranjak, aku berkata, "Aku memang ingin keluar dari sini bahkan tanpa kau memintaku. Membusuklah di neraka."
Aku keluar dari sana dengan perasaan yang campur aduk. Sementara pikiranku bingung harus bagaimana. Sepulangnya aku mengatakan pada Eleanor apapun yang terjadi di hari ini. Eleanor tidak banyak bertanya kenapa dan apa yang terjadi di setiap detilnya. Dia seolah paham tentang semua yang terjadi. Seolah dia mengetahui sesuatu lebih dari yang kutahu. Aku merasa lega setelah menyelesaikan keseluruhan dari cerita itu. Terutama soal hal yang kukatakan untuk membela diriku sendiri kepada Kepsek Clark. Dan Eleanor memujiku untuk itu.
Setelahnya, Edward Ives‐--ayah dari Eleanor---membantuku dalam urusan perpindahan sekolah, ke sekolah yang sama dengan Eleanor dan George---Woodstock Secondary.
Dan ya, seperti yang dikatakan Eleanor, sekolah ini sungguh beragam muridnya. Mungkin karena Woodstock adalah sekolah publik. Namun, jika kita mengesampinhkan semua itu, pada akhirnya aku memiliki tempat dimana aku merasa layak. Mungkin itu semua yang kubutuhkan. Untuk semua orang menerimaku. Tidak seperti kedua orangtuaku yang meninggalkan rumah bersama. Mungkin karena mereka menolak keberadaanku. Hal itu membuatku ingin menangis. Tapi, kurasa aku akan baik-baik saja tanpa mereka. Walau rasanya sungguh sepi.
Beberapa minggu setelah hari pertamaku yang membosankan dan tidak ada hal yang menarik sama sekalinya, akhirnya kami mendapatkan libur musim panas yang membosankan. Sungguh tidak terjadi apapun di hari pertamaku. Kecuali aku yang mendapat teman baru---berkat lingkaran sosial Eleanor---makan siang bersama grup bocah aneh, mengenal guru baru, mat pelajaran fisika yang baru, dan lain-lain yang baru. Tidak seperti aku akan menemukan cinta sejatiku disini di hari pertama. Kurasa hal itu akan tampak sama sekali tidak nyata karena aku tidak tinggal di dalam sebuah novel romansa. Mungkin saja memang, namun bukan semacam genre romansa yang seperti itu. Hanya saja, kurasa aku hanya bisa bergantung kepada mimpi basahku. Malangnya diriku.
Kebanyakan liburan musim panasku kuhabiskan untuk membaca buku, pergi ke tempat Eleanor, lalu berbelanja, tidur, menonton Netflix, dan sebagainya. Karena aku tinggal sendirian di rumah, untuk mencukupi kebutuhanku, aku mulai mengambil pekerjaan musim panas sampingan.
1 September 2020.
Aku mulai bekerja di toko Donat Daley sekitar satu setengah bulan yang lalu. Itu adalah bisnis keluarga milik Deborah Daley yang diwariskan padanya semenjak kepergian ayahnya---Damien Daley. Bisnis itu bermula pada tahun 1914 yang awalnya hanyalah sebuah kemurahan hati Marie Antoinette Daley sebagai sosialis perang. Tapi mereka semua tahu rasanya, Daley pun menjadi tidak terhentikan. Setelah perang usai, dan dunia mulai merasakan kedamaian untuk yang pertama kalinya, Daley membuka toko Donat di ruko Apartemennya. Tapi perjuangan Daley untuk mempertahankan toko Donatnya tidak berhenti sampai disitu, terutama pada masa-masa krisis ekonomi saat terjadi wabah flu Spanyol.
Itulah yang dikatakan oleh Deborah padaku.
Aku mengambil shift malam setiap hari sabtu sampai selasa, sehingga aku masih dapat untuk mengambil pelajaran di sekolah. Deborah dapat memahami keadaannya. Dia tidak memaksaku pula. Tidak segan ia memberiku cuti saat aku sedang tidak enak badan, dia juga sering membawaiku Donat sisa untuk dibawa pulang. Dia tahu kalau aku tinggal sendirian di rumah.
Pengalaman bekerja dengan Deborah mungkin adalah hal luar biasa menyenangkan yang pernah kualami. Bahkan bila itu adalah dua minggu pertama bekerja. Dia tidak terlalu Bossy atau suka memerintah, tidak pernah meninggikan nada suaranya terhadap karyawannya, kebanyakan dia selalu santun pada setiap pelanggan, terutama pelanggan tetap-meskipun dia terlihat seperti wanita kulit putih garang dengan postur tubuh besar. Tapi percayalah padaku, dia tidak seperti boss yang selalu digambarkan di dalam film-film ataupun ibu tiri dalam cerita dongeng.
Terbukanya pintu toko membuat lonceng kecil yang dipasang tepat diatasnya itu ikut berbunyi. Seekor anak anjing tanpa tali tiba-tiba saja menyerobot masuk lalu berputar-putar disamping pot bunga hias untuk mengejar ekornya, aku tahu betul siapa pemiliknya.
George melangkah masuk mengikuti anjingnya dengan Sweater hijau tuanya serta celana Chino. Rambutnya terlihat klimis dan berkilau saat dia berdiri tepat berada dibawah lampu penerangan. Di tangannya tergenggam sebuah tas belanjaan, salah satunya adalah dari sebuah toko hewan peliharaan. Pertama, dia tidak berkata apa-apa. Kukira dia akan terkejut saat tahu bahwa aku mendapatkan pekerjaan disini. Tapi tidak. Pandangan pertamanya tertuju ke arah Eugene Byrne yang sedang membersihkan piring serta mengelap meja.
"Topi yang bagus, Eugene," katanya, dia tidak bersungguh-sungguh memujinya. Bahkan Eugene tidak menjawab sama sekali. Dia terlihat kesal pada George dan memasang lirikan mata aku-akan-meninju-hidungmu.
Tapi aku menyukai ekspresi kesalnya.
Lebih tepatnya, semua hal tentang dirinya.
Dia adalah salah satu pria yang paling baik yang pernah kutemui. Aku tidak pernah melihatnya marah apalagi berteriak sambil mendobrak meja saat bertengkar dengan seseorang. Dia tipikal pria pendiam yang jarang kau temui. Juga, dia tidak pernah mengumpat.
Dia kurus-ceking kurang lebihnya, dengan rambut coklat bergelombang yang berantakan, kulit pucat dengan tahi lalat di lehernya, beberapa bintik hitam di hidung dan dia juga memiliki mata hijau seperti buah kiwi.
Pertanyaan sederhana: bagaimana kau tahu kalau kau sedang jatuh cinta pada seseorang? Kau merasa senang saat berada di dekatnya? Atau super gugup dan berharap dia pergi saja? Atau bahkan kau senang mencuri-curi pandangan darinya? Karena itulah aku saat aku sedang berhadapan dengan Eugene.
Perasaan tidak terkontrol yang membingungkan.
"Oh wow, lihat ada siapa disini," seru George, dia memiliki suara berat yang khas. Dia juga tersenyum menyeringai padaku. Sangat jantan, terkadang hal itu membuatku bertanya-tanya kenapa aku berhenti jatuh hati kepada pria ini. Sekarang aku merasakan kecanggungan.
"Halo, George," aku membalas senyumannya, "kau terlihat sangat rapi,"
Dia berterima kasih padaku sambil tersenyum, kemudian menceritakan tentang kencannya yang gagal dengan seorang wanita yang mengaku anak kuliahan Universitas Cambridge-yang mana George bilang dia terlihat sangat kebingungan ketika ia menanyakan tentang pelajaran apa yang diambil olehnya, kemudian tentang anjingnya yang mengitari kakinya lalu sontak wanita itu menendangnya. Sungguh wanita yang bodoh, pikirku. Kemudian bagaimana saat dia berpura-pura ditelepon oleh Elleanor untuk pulang, lalu kabur dari sana sehingga ia tidak berakhir di sebuah hotel dengan wanita itu. Kurasa itu hal yang kejam. Bahkan ekspresi Eugene dari seberang pun terlihat mengatakan demikian.
"Wow, itu sungguh sial,"
"Kan? Ngomong-ngomong, apa yang kalian jual disini?" Pertanyaan George membuatku ingin menaruh ujung pistol kedalam mulutku lalu menarik pelatuknya.
"Kami tidak menjual makanan anjing disini, hanya Donat, dan Donat."
"Apa aku terlihat ingin membeli makanan anjing?" Katanya. Memberiku emosi anehnya, yang mana membuat Eugene terkekeh dari seberang ruangan.
"Ya, aku yakin kau demikian,"
"Dan Croissant?" Dia menanyakan apakah kami juga menjual Croissant. Faktanya, kami tidak hanya menjual Donat dan Croissant saja.
"Dan Croissant,"
Aku mengambil wadah kertas kotak kemudian mengambil capit dan menatap ke arah George dengan tatapan pilih-atau-aku-akan-menendang-pantatmu.
"Je veux cinq Croissants s'il vous plaît," katanya dengan pelafalan yang sedikit kacau dan aksen Perancis yang buruk. Dia ingin lima Croissant.
Anak anjing berjenis Labrador Retriever-nya berlari ke arah Eugene, dia menggonggong lalu menjilati sepatunya. Eugene duduk untuk membelai anjing George dengan telapak tangannya yang seperti batang kulit minyak kayu putih. Dia terkekeh dan mulutnya mengatakan, "Anak pintar," dengan suara yang pelan. Tapi aku yakin aku dapat membaca gerakan bibirnya secara tepat.
Sebagian dari diriku mengatakan kalau andai saja aku terlahir sebagai anjing-yang secara kebetulan merupakan anjing Eugene.
"Kurasa anjingmu menyukaiku," aku menatap ke arah Eugene setelah selesai dengan pesanan George. Sedihnya dia bahkan tidak langsung mengambilnya dan malah menoleh ke arah sumber suara.
Kuharap kau mengetahui kalau aku juga menyukaimu.
"Jangan harap," kata George dengan terlihat kesal. Entahlah kenapa dia selalu saja merasa seperti itu, seolah semua hal yang dilihatnya mudah membuatnya merasa kesal. Dia seperti air di tungku yang mendidih lama dengan suhu yang lebih dari 100° C. Dan siap untuk meledak kapan saja, dimana saja. Seperti dia selalu merasa marah tanpa alasan. Apakah ada sesuatu yang menekannya?
"Ayo Jinny," katanya pada anjingnya sambil merogoh saku celana dan memberikan uangnya padaku.
Kemudian aku bertanya padanya apakah anjingnya itu perempuan karena bernama Jinny. Jawabannya adalah anjing itu laki-laki. Kemudian saat aku hendak bertanya kenapa bernama Jinny kalau itu adalah Laki-laki, dia lebih dulu berkata bahwa nama itu adalah pemberian Eleanor. Persetan dengan aturan gender, katanya.
"Aku menyukainya, Eu-Jinny, mungkin itulah kenapa anjingmu menyukai Eugene. Mungkin sebuah naluri alamiahnya, dia dapat merasakan perasaan kasih sayang yang besar dari Eugene. Aku benar-benar yakin kalau mereka adalah teman yang sangat baik di kehidupan yang sebelumnya," kataku, yang tidak kuketahui mengapa aku bahkan mengatakan hal ini.
Apakah aku mempercayai reinkarnasi? Atau apakah aku percaya dengan kehidupan setelah adanya kematian?
Mungkin kepercayaanku itu tidak terlalu penting atau mungkin itulah masalahnya. Semua manusia pasti memiliki kepercayaan-bahkan juga seseorang yang tidak percaya dengan apapun. Mereka percaya apa yang mereka percayai itu benar, tapi itu adalah sifat alami manusia. Merasa benar. Seperti halnya orang yang tidak percaya dengan apapun. Mereka sungguh yakin dan percaya kalau kepercayaan orang lain itu hanyalah sebuah omong kosong. Bahkan eksistensi sebuah Entitas Maha Agung yang menciptakan seluruh semesta beserta kehidupan tidak terlihat yang berjalan seiringan dengan kita. Apakah itu yang kau percayai?
Lalu apa yang kupercayai?
"Apa kau sungguh percaya pada reinkarnasi?" Tanya Eugene.
"Kuharap? Bagaimana denganmu, George."
George terkekeh. "Entahlah, aku tidak tahu apapun soal itu. Apakah kau mempercayainya, Eugene?"
Eugene berjalan mendekat kearah kami, lalu menyandarkan lengannya di meja konter.
"Gagasan mengenai kehidupan berulang setelah kita mati hingga mencapai kedamaian abadi yang sempurna terdengar keren uuntukku. Kurasa semakin keren itu kedengarannya, semakin mustahil untuk terjadi tanpa semacam sihir yang terlibat didalamnya."
George menatap kemata Eugene dengan penuh arti. Dia tersenyum mendengarnya.
"Tapi apakah kau mempercayai soal kehidupan setelah kematian?"
"Entahlah. Mungkin tidak ada kehidupan setelah kematian. Jika kita mati, ya mati. Hanya ada kegelapan panjang yang tak menyiksa, seperti saat dimana sebelum kita dilahirkan."
"Ucapanmu terdengar mengerikan, Eugene."
Eugene terkekeh, "Entahlah? Siapa yang tahu soal bagaimana cara kerja kehidupan dan kematian? Tidak ada satupun."
"Kau benar. Tidak ada yang tahu. Mungkin aku ingin tahu? Tapi aku sama sekali tidak peduli soal itu. Yang terpenting itu adalah hidup dan bagaimana cara kita menjalaninya."
"Apa kau berpikir bahwa aku juga peduli soal ini? Mungkin tidak. Mungkin aku memang tidak peduli sama sekali. Hidup cepat berlalu untuk terlalu banyak dipikirkan, Dani. Dan ya, kau benar, nikmati selagi kau masih bisa."
Aku tersenyum padanya, sementara Eugene menghela napas. Aku menyikutnya.
"Kukatakan ini pada kalian. Jika kalian memang ngotot ingin mengetahuinya, meninggal adalah cara yang terbaik untuk menguak misteri atau apapun yang kalian tanyakan itu. Itu adalah cara yang paling gampang." Jawab George dengan mengelus-elus bulu lembut Jinny.
"Tidak ada yang ingin mati hanya karena perkara konyol semacam itu, George. Dan bagaimana bisa orang tersebut mengatakan pada dunia tentang hal yang baru saja ia saksikan. Maksudnya adalah, di akhirat."
"Mungkin beberapa orang melakukannya tanpa kita sadari? Siapa tahu?" Geoge hanya mengangkat bahu setelah mendengar kalimatku. Lagi-lagi Eugene tampak kesal karena George terlihat tidak serius dalam menanggapi topik pembicaraan.
"Entahlah, mungkin diluar sana masih ada berkas atau buku yang menuliskan rahasia semacam itu yang ditulis oleh pria yang kau sebutkan itu? Dan sayangnya semuanya sudah hangus dan lenyap ditelan usia?"
"Maksudku adalah, mungkin beribu-ribu tahun yang lalu seseorang telah melakukannya, benar kan?" Eugene mengoreksi.
"Maksudmu seperti buku-buku di perpustakaan Alexandria?"
"Kau sialan, Daniella! Jangan mengingatkanku soal itu, aku masih sungguh kesal dibuatnya."
"Sama."
George memutar bola matanya. "Kalian berdua memang sungguh cocok satu sama lain. Aku bahkan tidak tahu apa yang kalian bicarakan."
Aku dan Eugene terkekeh.
Pada momen ini, aku merasakan getaran panas yang terdapat di sekujur tubuhku. Seolah sebuah belut listrik baru saja menyengatku hingga menyalurkan elektronnya yang membuatku merinding.
Bahkan aku mendapati wajah Eugene yang juga memerah seperti dia baru saja terkena alergi udang. Aku tidak bisa tahu kenapa. Apakah ini sebuah pertanda?
Dan juga, apakah ini yang dinamakan cinta?