Cowok itu menghela panjang, kedua kakinya mulai di naikkan ke atas meja. Punggungnya pun ikut bersandar, menatap langit-langit kantin sambil menyesap rokok yang hampir habis.
Sudah dua hari teman sebangkunya tidak masuk tanpa ada keterangan yang jelas. Entah sudah membaik keadaannya, atau masih membutuhkan bantuan tim medis.
Alfa mendengus, ia kembali mengambil satu batang rokok baru, dan menghidupkannya dengan korek api. Teman-temannya yang lain hanya menatap sambil terkekeh kecil.
"Lo kenapa sih Fa? Galau mulu dari kemarin, gak asik banget lu!" ucap Wildan kesal.
"Bosen gue, ini kepala isinya si elena mulu!" sahut Alfa tanpa menatap lawan bicaranya.
"Jengukin dong ke rumahnya, kan lu udah tahu di mana rumahnya!"
"Tahu gua, cuman dia gak suka kalau gue ke sana. Yaudah gue di sini, ngerokok doang," jelas Alfa kesal, "Males banget masuk kelas, gitu mulu yang gue dapet."
"Gitu gimana njir?" sahut Eko.
"Ya gitu, ngebosenin dah pokoknya!"
"Alah! Bilang aja lu pengen deketan sama elena lagi kan?" Amar ikut menyahut.
Alfa hanya tertawa kecil, menurunkan kedua kakinya, dan membenarkan cara duduknya. Ia kembali mengambil napas panjang, menatap kedua temannya dengan tatapan serius.
"Gue mau nanya sama lo pada," ucap Alfa serius.
"Apaan?" sahut Wildan.
"Tiga cewek cantik, ya gak cantik banget sih, tapi mereka keliatan kaya berkuasa banget buat rundung orang. Siapa? Tahu gak?"
Wildan terdiam, mencoba untuk mencerna kalimat Alfa yang menurutnya kurang jelas. Namun, jika di ingat-ingat lagi ia tahu siapa yang di maksud oleh Alfa kali ini.
"Siapa anjir?" tanya Alfa tak sabar.
"Kayanya stella deh," sahut Eko cepat.
"Nah! Itu stella mantan pacar alzam," ucap Wildan menambahkan.
Kening Alfa bertaut dalam, "Mantan pacar? Kelakuan kaya setan gitu pernah jadi pacarnya si alzam?"
"Emang kenapa sih Fa?" tanya Amar bingung.
Alfa tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepalanya, dan berkata, "Gak ada, aneh aja gitu dia lagi deketin elena yang polos, tapi mantan pacarnya udah kaya setan kepanasan."
"Ahaha! Ada-ada aja lo Fa, tapi emang bener sih," sahut Amar.
"Gila lo Mar!" celetuk Wildan.
"Udah-udah, sekarang lo mau apa sama tiga cewek itu?" tanya Eko penasaran.
"Mantap, otak lo cepet nyantol!" sahut Alfa senang.
****
"Aduh! Santai dong kalau narik!" teriak Stella kesal.
Alfa hanya tertawa sambil menyesap rokoknya di ujung sana. Duduk bersama Eko, dan Wildan sambil menatap Stella sinis.
Stella ikut menatap Alfa tajam, ia mulai berkacak pinggang. Ia merasa kesal karena di tarik paksa oleh Amar, dan di bawa ke kantin kosong yang sudah tidak pernah di tempati kecuali empat berandal ini.
"Lo mau apa sih?!" teriak Stella.
"Santai dong jangan teriak! Lo pikir kita orang jahat apa?" sahut Amar sebelum berjalan menuju teman-temannya.
"Emang kan kalian orang jahat!"
"Dih! Elu yang jahat, kita mah orang baik," sahut Amar.
"Dia lucu ya, dia yang jahat, tapi neriakin orang lain yang jahat," celetuk Eko dengan gelak tawanya.
Cowok-cowok itu mulai tertawa renyah, sementara Alfa hanya berdecih. Menatap Stella dari ujung kepala, sampai ujung kaki dengan tatapan sinisnya. Alfa merasa sedikit jijik dengan gadis yang sok cantik itu, di tambah lagi dengan kelakuan iblisnya yang tidak bisa di maafkan lagi.
Stella berdecih kesal, "Mau lo apa sih sebenernya?!"
"Gampang kok, gue minta lo tanggung jawab soal elena," ucap Alfa tanpa menatap lawan bicaranya.
Kening gadis itu bertaut dalam, jujur saja ia tidak tahu siapa itu Elena. Gadis mana yang di maksud oleh Alfa sekarang.
"Gue gak ngerti, elena itu siapa sih?"
"Lu goblok apa gimana sih? Jelas-jelas lo yang ngebuat kepala dia bocor!" teriak Alfa kesal.
"Oh, cewek culun itu. Nerta setau gue namanya, ternyata dia punya nama lain juga," ucap Stella dengan nada meremehkan.
"Udah deh Stella, lo jangan banyak ngomong. Gue bosen liat muka lo, cepetan aja dah ngobrol sama si Alfa!" sahut Eko kesal.
"Apa sih?! Temen lo tuh si Amar yang ngebawa gue ke sini!"
"Iya itu karena ada yang mau di omongin, lo harus tanggung jawab!" ketus Amar.
"Tanggung jawab? Ahaha! Gue gak punya salah, lo pada lebay banget sih!"
Alfa mendengus, membuang rokoknya yang sudah habis, dan kembali menatap gadis jahat itu, "Lo mau tanggung jawab atau gue lapor sama Komnas perlindungan anak?"
Gadis itu terdiam, kedua tangannya mulai menggenggam dengan sangat kuat, "Lo ngancem?"
"Iyalah, sesuai sama apa yang lo lakuin ke elena. Mendingan lo tanggung jawab, terus jangan lagi bully elena! Kalau engga, gue gak akan ngasih ampunan lagi buat cewek kaya lo!" jelas Alfa.
"Iya-iya, apa yang harus gue lakuin?!"
"Tunggu aja perintah dari gua, duduk manis, jangan nyoba buat nyakitin elena lagi!" titah Alfa dengan senyum tipis.
***
Gadis itu terdiam, menatap langit-langit kamarnya dengan waktu yang lumayan lama. Jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya, dan kali ini kepalanya ikut terasa sakit. Rasa nyeri itu terus menghantuinya sejak kemarin, membuatnya sudah untuk tidur dan meletakkan kepalanya dengan nyaman.
Perban yang melingkar membuat tidurnya tidak nyaman. Ebi takut perbannya lepas, dan darahnya keluar dengan sangat deras. Kemudian luka yang belum kering itu kembali terbuka.
"Heh! Kamu ngapain di dalem sana? Pekerjaan rumah inget!" teriak Bu Jihan dari luar.
Ebi menghela, ia segera beranjak, "Iya Bu aku gak lupa!"
"Cepetan!"
Gadis itu segera membuka pintunya. Berjalan menuju dapur untuk mencuci piring kotornya, setelah itu ia mulai mengepel lantai dengan perlahan.
Sesekali Ebi berhenti, kepalanya terasa sangat pusing. Namun, pekerjaannya belum juga selesai, ia kembali melanjutkan mengepel lantai, kemudian beralih untuk mencuci pakaian kotor yang untungnya tidak terlalu banyak.
Rasa sakit di kepalanya kembali membuatnya harus istirahat sejenak. Ebi mencoba untuk kuat, tapi rasanya sudah tidak kuat jika harus terus berdiri, dan membawa banyak barang yang terasa berat.
Ebi mencoba untuk menengadah, mengerjap-ngerjapkan kedua netranya perlahan, dan kembali mencuci ketika terasa sudah lumayan enak.
"Astaga! Sakit banget," ucap Ebi ketika menjemur pakaian itu satu per satu.
Gadis itu segera membereskan pekerjaannya dengan cepat, sampai akhirnya bak berwarna hijau kembali kosong.
"Udah selesai?"
Suara itu membuat Ebi menoleh, "Sudah."
"Sapu halaman depan, udah waktunya buat di sapu!" perintah Bu Jihan.
Ebi mengangguk, dan segera melenggang menuju halaman depan. Banyak sampah plastik, dan daun dari pohon mangga yang berguguran. Gadis itu menghela panjang, dan segera membersihkannya.
Namun, belum banyak yang di sapu, kepalanya kembali terasa sakit. Ebi merasa seperti berputar dengan warna hitam yang terasa dominan. Kakinya mulai melemas, gadis itu segera duduk, dan mencium tanah kotor.
"Ebi?!" pekik Nera, dan Abar bersamaan sambil berlari menghampiri gadis yang sudah tidak sadarkan diri itu.