Gadis itu terdiam di sudut ruang kelas. Menatap seluruh teman kelas yang sedang tertawa sambil bergurau, sesekali sudut bibirnya ikut tertarik ke atas.
Rasanya ingin sekali ikut berkumpul dengan mereka, tapi ia tidak berani. Wajahnya yang tidak terlalu cantik, rambut panjang yang tidak terawat, dan di tambah dengan sifat introvert yang membuatnya susah memiliki teman.
Buta akan cara berteman, mencari topik untuk berbicara, dan mencoba untuk akrab. Ia terlalu buta untuk itu semua.
Bell pulang tiba-tiba berbunyi dengan cepat, dan kencang. Seluruh siswa kelas XII IPS1 itu segera mengambil tas ransel masing-masing. Berjalan keluar untuk menemui keluarga mereka masing-masing.
Namun, gadis itu tetap di sana. Duduk termenung bersama alat tulis yang masih tertata di atas meja.
Senyumannya masih mengembang, tak ada niatan untuk melunturkannya. Namun, tiba-tiba saja air matanya terjatuh. Raut muka jelek gadis menangis terlihat sekarang. Tangisnya pecah seketika, tanpa ada sebab yang jelas.
Ia terus menangis sesenggukan, merapikan alat tulisnya agar tersimpan rapi di dalam tas.
"Heh! Kok gak pulang? Kenapa malah nangis?"
Suara tegas itu membuatnya tersentak. Ia segera beranjak, dan berlari meninggalkan pria tua yang menatapnya sinis.
Pria itu tidak tahu apa masalah yang di alami gadis itu. Yang jelas air mata, beserta tatapannya terlihat sangat tertekan untuk segala hal.
****
Langkahnya terhenti di depan toko skincare. Wajahnya nampak begitu bersinar dengan senyuman yang ceria. Gadis itu ingin masuk ke dalam, tapi uang yang di milikinya ketika memeriksa dompet tidaklah cukup.
Rasanya kasihan, dan merasa hidupnya penuh dengan ketidak adilan. Terlalu banyak menangis membuat kulit wajahnya menjadi keriput, susah untuk tersenyum dengan tulus pun membuatnya bingung untuk berekspresi.
Gadis itu menghela sebelum akhirnya melanjutkan kembali langkah kakinya. Berjalan dengan pelan menuju gang kumuh. Jalanan kotor di sertai dengan aroma busuk dari sampah tak membuatnya jijik.
Kebiasaan, itu yang membuatnya biasa saja.
"Ebi?"
Suara itu membuatnya menoleh, menatap seorang gadis yang sedang berlari ke arahnya dengan begitu cepat.
"Ebi, aku dari tadi nungguin kamu pulang. Kenapa lama banget sih? Aku udah gak sabar buat cerita sama kamu tahu gak sih Bi," ucapnya dengan begitu tak sabar.
Ebi tersenyum tipis, kembali melanjutkan jalannya dengan begitu lamban bersama gadis bernama Nera itu.
"Ada tugas yang harus aku selesain tadi di sekolah, biar nanti di rumah gak ngerjain lagi," bohong Ebi.
"Ah! Gitu, kita cerita di mana? Di warung bakso bu aya, atau di rumahmu? Eh! Bisa saja di rumahku, ibuku masak mie ayam di rumah."
"Aku harus pulang dulu Nera, ada pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan."
Raut muka Nera berubah menjadi murung, ia tidak suka dengan pekerjaan yang menunggu Ebi kali ini.
"Nanti ya Ra, abis aku kerjain semuanya, aku ke rumah kamu."
"Bener ya Bi! Awas kalau kamu bohong lagi!" peringat Nera.
"Iya Nera, aku janji kali ini."
"Oke, kalau gitu kamu boleh pulang. Aku mau ke rumah abar, ada yang mau aku bahas sama dia," ucap Nera dengan penuh semangat.
Ebi tersenyum sambil mengangguk sebelum pergi menjauh. Langkahnya berganti menjadi berlari kecil, memasuki rumah kecil yang kumuh di ujung gang.
Helaan napas panjang ia keluarkan ketika melihat cucian yang menumpuk di depan pintu kamarnya.
"Itu di cuci, abis itu di seterika. Di dapur juga ada cucian piring yang udah numpuk, jangan lupa di cuci!"
Ebi mengangguk sebagai jawaban finalnya.
Wanita tua itu hanya menatapnya sinis sebelum melenggang pergi.
Gadis itu masuk ke dalam kamarnya, mengganti seragamnya dengan pakaian santai. Mencari baju kotornya yang akan di cuci juga.
Ebi segera keluar, membawa semua baju kotor yang sudah menunggunya ke bagian belakang rumah. Tempat mencuci baju yang sebenarnya tidak layak di pakai lagi. Terlalu kotor, banyak pula tai ayam yang berserakan di sana.
Gadis itu kembali menghela untuk yang kesekian kalinya. Memulai untuk membersihkan tempat mencuci baju, menyiramnya dengan air, memberikan sabun, dan kemudian menggosok. Di lakukannya dengan begitu sabar, hingga akhirnya Ebi mulai untuk mencuci seluruh pakaiannya.
Rasa lelah terus datang, tangannya pun mulai pegal, apa lagi kakinya. Terlalu lama duduk pada kursi kecil membuat kakinya pegal karena harus di tekuk begitu lama.
Jalan hidupnya terlalu lucu, dan rumit. Sesekali takdir di tertawakan, hanya untuk merasakan bahagia. Tanpa harus mengingat bagaimana kerasnya hidup yang harus di lalui.
Tiga jam lama waktu yang di butuhkan, akhirnya waktu untuk menjemur pun tiba.
Gadis itu segera berdiri, menata rapi pakaiannya pada setiap tali jemuran yang tersedia. Setelahnya ia berjalan menuju dapur, senyuman tipisnya mulai terukir, tapi dengan sedikit genangan air mata.
Cucian piring yang telah menunggu terlihat seperti setumpuk dosa. Terlalu banyak, dan harus di selesaikan hari ini juga.
"Jangan di diemin aja, selesain cepetan! Kamu itu belum ngepel lantai, sapu lantai, setrika baju!" teriak wanita paruh baya itu lagi.
Ebi hanya menoleh sekilas, dan segera mencuci piring kotor itu dengan hati-hati. Setelah selesai dengan piring kotornya, ia berjalan dengan cepat menuju sofa. Duduk sejenak untuk meringankan rasa pegal yang di rasakan.
"Loh? Kamu kok malah duduk sih?!" teriak wanita paruh baya yang kini berdiri sambil berkacak pinggang.
"Bu, aku udah beresin cucian piring sama baju kotornya. Boleh ya duduk sebentar, lima menit aja," sahut Ebi pelan.
"Ha?! Enak banget nawar! Udah numpang hidup, di suruh kerja malah nawar!" teriak Bu Jihan kesal.
"Bu, aku capek. Baru pulang sekolah, cuciannya juga banyak banget tadi. Kasih ijin buat istirahat lima menit aja."
"Kamu udah mulai berani?! Mau di usir?!"
Mendengarnya membuat Ebi bergidik ngeri, ia segera beranjak, dan menggenggam tangan keriput itu dengan cepat.
"Engga Bu, tolong jangan usir aku! Kalau aku di usir, nanti aku tinggal di mana?" tanya Ebi khawatir.
"Makanya kerja!"
Gadis itu mengangguk, kemudian berjalan dengan cepat untuk mengambil sapu beserta alat pel.
****
"Enak kan Bi?" tanya Nera dengan senyum manisnya.
Ebi mengangguk kecil dengan senyuman tipisnya. Ia kembali mengunyah baksonya dengan perlahan.
"Tadi kenapa lama sih Bi? Tumbenan selama itu, biasanya juga cuman beberapa jam. Aku jadi capek buat nungguin kamu dateng."
"Tadi ada banyak baju kotor, sama piring kotor. Terus harus sapu lantai sama ngepel. Makanya lama."
"Kamu sendirian terus tahu Bi. Anaknya tante jihan kenapa sih? Aku heran deh, kenapa kamu yang di perbudak?" tanya Nera kesal sembari memainkan slime berwarna merah pekat itu.
"Aku gak tahu Ra, tapi aku gapapa kok Ra. Itung-itung bayar uang sewa selama tinggal, lagian mereka kan kerabat aku, bukan orang tua kandung aku," sahut Ebi tanpa menatap lawan bicaranya.
Nera langsung menatap temanny itu, tatapan khawatir beserta kasihan terlihat jelas di matanya. Ia merasa iba pada gadis pemilik lesung pipi itu. Apa lagi tatapan matanya yang tidak bisa berbohong jika semua yang di katakannya itu adalah kebohongan.
"Kamu kenapa ngeliatin aku terus sih Ra? Ada yang salah sama aku ya Ra ya? Aku bau atau gimana Ra?" tanya Ebi panik.
Nera menggeleng pelan, "Kamu gak bau kok Bi, gak ada yang salah juga sama pakaian kamu. Kamu cantik, aku suka liatin kamu," sahutnya berbohong.
Ebi tersenyum kecut, ia tahu jika temannya yang satu ini berbohong. Namun, ia tidak bisa memaksa Nera untuk jujur, terlalu takut, dan merasa tidak nyaman.
"Tadi kamu sama abar ngomongin apa Ra?"
"Gak ada, cuman ngobrol biasa sama bahas tentang tugas sekolah doang kok," sahut Nera.
"Terus kamu tadi bilang mau cerita banyak sama aku, mau cerita apa?"
"Ah! Iya, aku lupa astaga!" ucap Nera kesal dengan menepuk jidatnya pelan, "Tadi siang ya Bi, aku dapet telepon dari nomor asing. Kamu tahu gak ternyata yang telepon aku siapa?"
"Siapa Ra?"
****