Cahaya senja telah menyapa di ufuk barat. Angin berembus lembut menerbangkan beberapa dedaunan kering yang bertebaran di bawah pohon-pohon rindang. Terlihat sosok gadis kecil itu bermain ayunan kayu di bawah pohon besar. Gelak tawa gadis kecil berkucir dua terdengar sampai ke telinga sosok wanita yang tengah memperhatikan dari kejauhan. Gaun putih gadis kecil itu ikut tersibak oleh hembusan angin. Wanita itu sedikit khawatir jika gadis kecilnya masuk angin, namun tangannya masih sibuk memotong-motong sayur di dapur.
Tersenyum kecil ketika melihat gadis kecilnya yang tertawa riang, sesekali mata wanita itu teralihkan ke penggorengan di depannya. Senyuman itu sedikit pudar manakala wanita itu melihat ada hal yang janggal. Ada bayangan wanita berambut panjang di belakang ayunan kayu yang dinaiki putrinya, seolah ikut bermain dan mendorong tubuh putrinya untuk berayun lebih keras.
Entah sejak kapan bayangan itu muncul di sana. Ada perasaan resah untuk membiarkan putri kecilnya berlama-lama di kebun belakang rumah. Memang lingkungan belakang rumah besar itu lumayan sepi, membuat perasaan wanita itu sedikit was-was untuk mengizinkan putri satu-satunya itu bermain sendirian. Buru-buru wanita itu mematikan kompor dan berlari menuju ke teras belakang. Berteriak dan melambaikan tangannya ke arah gadis kecil itu. Perlu beberapa saat untuk gadis kecil itu menyadari sosok yang memanggilnya dari kejauhan. Wanita itu hendak melangkah menuju ke putrinya, namun urung ketika wajah riangnya menengok lalu membalas lambaian sang mama. Gadis kecil itu turun dari ayunan, dengan kaki kecilnya berlari riang lalu mendekap sang mama yang berjongkok di depannya.
"Maaaa!" teriaknya sembari mendekap hangat sosok wanita itu.
"Kan Mama sudah bilang, kalau langitnya sudah berwarna oranye Kim harus pulang," ujar sang mama sembari menatap mata amber putrinya.
"Maaf Ma, Kim janji akan mendengarkan kata Mama." Senyum riangnya pudar, kilatan keemasan matanya meredup.
"Ya sudah, lebih baik Kim cuci tangan dulu, lalu bantu Mama untuk menyiapkan makan malam, okey?" saran sang mama sembari mencubit gemas pipi gemuk Kim.
"Okey!" Kedua gigi kelincinya menyembul lucu.
Wanita itu meraih tangan mungil Kim, sebelum melangkah, sejenak menoleh ke arah bayangan wanita yang tadi di belakang putrinya. Aneh, tadi jelas-jelas sosok itu masih di sana ketika Kim berlari untuk mendekapnya. Namun, tidak ada seorang pun di dekat pohon rindang itu. Bulu kuduk wanita itu sedikit meremang untuk beberapa detik, namun pemikiran itu segera pudar mana kala sang putri menarik tangannya.
Kim mengikuti instruksi mamanya, sibuk bergerak ke sana kemari menata piring di meja. Kaki pendeknya membuatnya harus berjinjit sesekali. Mama Kim terkekeh kecil ketika putri kecilnya terlihat kesusahan, lalu karena tak tega akhirnya membantunya.
"Yeay! Sudah siap! Tinggal menunggu Papa pulang," teriak Kim.
"Wah, pintar sekali ya, putri kecil mama satu ini. Terima kasih sudah membantu Mama menyiapkan makan malam ya, Sayang." Mama Kim memeluk hangat sang putri.
Kim mengecup pipi Mamanya. "Tentu, Kim kan putri tersayangnya Mama, Kim senang membantu Mama, hehe."
Kim dan mamanya beranjak ke ruang keluarga. Sudah menjadi kebiasaan Kim ketika menunggu ayahnya pulang dia akan menonton kartun kesayangannya bersama sang Mama di ruang keluarga. Mama Kim sedang mengambil makanan ringan untuk cemilan Kim, ketika dia mendengar suara sesenggukan anak kecil. Khawatir bila terjadi sesuatu, Mama Kim bergegas menuju ke asal suara. Dilihatnya televisi di ruang tengah menyala, ada sosok gadis kecil sedang memeluk boneka Winny the Pooh erat, sesekali mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Mama Kim mendekati putri tersayangnya.
"Kimberly Sayang, kenapa kok menangis?" Sembari mengusap lembut rambut cokelat keemasan Kim.
"Ma, Hachi kasihan ya Ma, dari kecil tidak punya Mama. Kim bahagia punya Mama, jangan pergi seperti Mamanya Hachi ya, Ma?"
"Iya Sayang, Mama juga bahagia punya Kim jadi putri Mama. Kim juga ya, jangan tinggalin Mama?"
"Eh? Mana mungkin Kim ninggalin Mama." Kim memeluk Mamanya. "Kim Sayaaaaang Mama." Lalu mengakhiri pelukan hangat itu dengan kecupan di pipi.
Keduanya masih berpelukan ketika ada suara langkah kaki yang mendekat. Lelaki tampan bertubuh tegap tinggi berdiri memperhatikan keduanya. Melangkah hati-hati untuk tidak menimbulkan suara. Lalu dengan lengan panjangnya, tiba-tiba mendekap dua orang kesayangannya dari belakang. Kedua orang itu sedikit terlonjak, terlebih Rachel. Jantungnya hampir mencelos keluar. Bukan tanpa sebab, sosok yang tadi dilihat di belakang rumah membuatnya sedikit lebih waspada dan tegang.
"Luois! Hampir saja aku terkena serangan jantung." Kesal bercampur lega memenuhi Rachel.
"Hehe, maaf ya, Ma. Habis kalian berpelukan tapi Papa tidak diajak. Kan Papa jadi sedih," ujarnya sembari menjauhkan diri dari keduanya.
"Yeay! Papa pulang," teriak riang putri kecil bermata amber kesayangan Luois.
"Buntelan Mochi Papa kok semakin gembul? Padahal baru ditinggal dua hari?" ejek sang papa.
Gadis kecil itu merengut. Bibir pink kecilnya mengerucut lucu. "Kim tidak gembul Papa, Papa yang sepertinya butuh kaca mata pengecil."
Luois tergelak mendengar celoteh gadis kecilnya. Lelaki campuran Maluku-Jerman itu bersyukur mempunyai keluarga kecil yang sempurna. Kehadiran putri kecilnya lima tahun yang lalu memberikan angin segar dalam kehidupan rumah tangga Dimitry Luois Latuconsina dan Rachel Victoria. Keduanya bertemu dan menjalin asmara di Seoul National University. Rachel memiliki fisik campuran multikultural yang berasal dari Eropa, Korea dan Indonesia. Fisik yang menawan itu pula yang diwariskan pada putri satu-satunya yaitu Kimberly Latuconsina.
Luois mengecup gemas pipi Kim, mencoba untuk membujuk gadis kecilnya yang merajuk. Kim masih bergeming, satu mata bulatnya mengintip dibalik bulu mata lebatnya.
"Kim, Papa bawa sesuatu,loh. Kalau Kim berbalik dan cium pipi Papa, Papa akan berikan hadiah untuk Kim."
Bujukan Papanya sedikit menggoyahkan Kim. "Apa memang?"
Luois tersenyum lega."Papa bawakan satu kerdus susu pisang dan mochi isi es krim kesukaan Kim."
Mendengar tawaran Papanya mata amber Kim bersinar, buru-buru bibir kecilnya mengecup pipi Papanya.
"Sudah, mana, Pa?" tanyanya tak sabar. Benar-benar Luois tidak bisa tahan untuk membuat gadis kecilnya berlama-lama kesal.
"Baiklah, ayo sini ikut Papa." Tangan mungilnya meraih Luois, melangkah menuju dapur, lalu diikuti Rachel di belakangnya dengan senyum hangatnya.
Lima tahun sudah keluarga kecil ini menempati komplek perumahan yang cukup mewah di Kemang, Jakarta Selatan. Kehidupan keluarga kecil ini memang terlihat sempurna, paras rupawan, harta bergelimang, serta otak cemerlang. Namun, tidak begitu kenyataannya. Rachel memiliki suatu kekurangan yang dianggapnya sebagai suatu kutukan. Mata hazelnya mampu menangkap hal-hal yang tidak bisa dilihat manusia pada umumnya. Hidupnya tidak seindah yang dibayangkan banyak orang. Sejak pertemuannya dengan Dimitry Luois Latuconsina di Seoul, kehidupannya berubah. Kemampuannya perlahan menghilang, meskipun dia masih bisa merasakan energi keberadaan 'mereka'. Satu hal yang ditakutkan oleh Rachel adalah jika putri kecilnya juga terkena kutukan yang menghantuinya selama ini. Akankah Rachel sanggup melihat putri kecilnya mengalami hal yang sama dengannya?
"Ma, Mama? Rachel? Sayang!" Rachel terlonjak dari lamunanya. Hampir saja garpu yang dipegangnya jatuh.
"Eh iya, ada apa Pa?"
"Bagaimana menurut Mama kalau Kim mulai masuk sekolah TK?" usul Luois.
Ekspresi muka Rachel berubah, matanya mengerjap, berpikir beberapa saat. Sangat wajar jika anak seumuran Kim sudah masuk ke TK. Namun, ada hal yang mengganjal di hatinya. Rasa intuisi seorang mama yang tak bisa dijelaskan.
"Apakah Kim mau sekolah bersama teman-teman lain?" Rachel tahu, keputusan semuanya ada di diri Kim. Sosok orang tua yang sebenarnya adalah mengarahkan dan menjaga anak-anaknya untuk tetap aman. Jika Kim menginginkan sekolah, maka Rachel hanya bisa berusaha agar Kim sekolah di tempat yang aman.
"Iya, Ma! Kim mau! Kim juga ingin punya teman lain selain kakak berbaju putih!" ujar Kim semangat.
Deg! Rachel tidak salah dengar. Rachel menyadari sesuatu yang aneh telah terjadi pada putrinya. Mata hazelnya bertatapan dengan kilat emerald Luois, alisnya mengernyit mengisyaratkan ada hal yang perlu didiskusikan bersama. Sejenak hening menyelimuti ruangan dapur yang terang.
"Iya Sayang, Kim akan punya banyak teman disana." Suara Luois memecah keheningan lalu diikuti Rachel yang mengangguk pelan mengiyakan.