Iris emerald Luois tidak lepas dari punggung indah wanita di depannya. Rambut cokelat keemasannya terurai sampai ke pinggang. Masih geming tidak berminat untuk mendekat. Memperhatikan gerak-gerik wanita itu yang melangkah dari pojok kamar menuju pojok kamar lainnya. Tangannya seperti memercikkan sesuatu seperti butiran kristal dan air. Tubuhnya berhenti di samping dipan, menatap sosok yang terlelap di dalam selimut tebalnya, lalu terduduk di samping.
Tubuhnya menunduk mendekati wajah damai malaikat kecilnya, mengecup pelan dahi yang tertutup tirai rambut. Membisikkan kata-kata sayang, meskipun tahu kata indah itu tidak mampu didengar sosok mungil tersebut. Tangannya meraih tombol lampu tidur di samping dipan. Tubuhnya perlahan beranjak, berusaha melangkah sepelan mungkin untuk tidak menimbulkan bunyi, lalu berhenti di samping pintu kamar yang terbuka lebar, dimana pemilik mata emerald masih setia menantinya. Jemari lentiknya memencet tombol, lalu gelaplah ruangan itu, tersisa lampu tidur temaram yang mencoba untuk menyinari.
"Kimmochiku sudah tidur?" bisik Luois ketika tubuh langsing itu melewatinya. Tangannya tidak bisa untuk tidak meraih pinggang wanita itu.
Rachel yang mendengarnya hanya mampu memutar bola matanya malas.
"Kamu tadi bilang apa, huh? Kim apa? Kimmochi?" mata hazelnya melotot tak terima.
"Emang kenapa? Kim kan punya pipi seperti mochi dan suka mochi es krim?" Luois mengeyel sambil mengekor Rachel yang menuju kamar di seberang ruangan Kim. Rachel enggan ribut di dekat kamar Kim, bisa-bisa Kim terbangun dari tidurnya.
Rachel berhenti lalu mendaratkan bokongnya di kasur. Tanganya dilipat di depan dada, menanti Luois yang berhenti di depan Rachel.
"Jongkok!" tegas Rachel. Membuat lelaki tegap itu menelan ludah kasar.
"Baik." Luois menurutinya, membuat mata emeraldnya sejajar dengan hazelnya Rachel.
"Papa Luois yang tampan dan berwibawa, apakah Papa paham kesalahan Papa?" tanya Rachel pelan setengah gemas.
"Em. Mungkin?" Kepalanya sedikit miring ke kanan, dengan senyum konyol.
"Papa Luois, Papanya Kimberly yang tampan. Apakah Papa tahu dampak ke depannya kalau Papa manggil Kim dengan sebutan tadi?"
"I-iya. Em, nggak! Mamanya aja yang negatif thinking." Bibir Luois mengerucut. Membuat Rachel menghela nafasnya panjang. Bukankah yang seharusnya kesal itu Rachel. Kenapa malah bayi tua ini yang merajuk.
"Papa boleh manggil itu kok, tapi kalau di rumah saja. Okey?" bujuk Rachel.
"Iya, deh." Luois beranjak lalu memposisikan dirinya di samping Rachel.
"Mama masih juga naburin benda itu di pojok rumah?" tanya Luois pelan.
"Iya, Pa, buat jaga-jaga," jawab Rachel tanpa menengok ke Luois yang menatapnya lekat.
"Masih keliatan memangnya?" kali ini tangan besarnya meraih tangan Rachel, menggenggamnya pelan. Rachel mulai rileks, menghela nafasnya panjang lalu menyandarkan kepalanya di bahu tegap Luois.
"Aku tidak tahu Pa, kau dengar 'kan tadi yang dikatakan Kim waktu makan malam?"
Luois geming, lalu mengangguk pelan membuat kepala Rachel ikut bergerak tidak nyaman.
"Kukira yang Kim maksud adalah Anastasia." Luois berpikir sejenak lalu ingat bahwa Anastasia seumuran Kim, dan tak mungkin Kim memanggil Anastasia Kak. Lagipula, Kim akan menyebutkan nama Anastasia, bukan kakak bergaun putih.
"Kim tidak akan menyebut Anastasia kakak bergaun putih Pa," gumam Rachel.
Luois bergerak, mengisyaratkan Rachel untuk menegakkan kepalanya. Lalu berdiri tegap di depan Rachel. Iris Hazel Rachel menatap lembut emeral Luois dari bawah, sorot matanya penuh dengan kekhawatiran.
Luois yang tidak tahan merasakan keresahan Rachel hanya mampu menenangkan istri tercintanya. Membawa kepala Rachel mendekat, lalu mendekapnya di dada bidang Luois. Irama detak jantung Luois membuat Rachel sedikit merasa tenang. Luois adalah sebuah keajaiban pertama yang diberikan Tuhan pada Rachel. Keajaiban yang akan selalu dia jaga dan lindungi. Sebuah obat yang hanya ada satu-satunya di bumi. Mungkin penderitaan hidupnya selama ini adalah harga yang dia bayarkan untuk mendapatkan Luois dalam hidupnya.
"Oke, sekarang waktunya tidur ya, Sayang. Aku janji apapun yang terjadi Kim akan baik-baik saja. Aku kamu dan Kim akan selalu baik-baik saja. Aku akan berusaha untuk melindungi kalian, permata-permata hatiku." Kata-kata Luois seperti irama lullaby yang menenangkan Rachel. Dalam dekapannya Rachel mengangguk pelan. Tangannya mendorong pelan Luois hingga terpisah beberapa sentimeter. Luois mengakhirinya dengan kecupan lembut di dahi Rachel.
***
Mentari sudah cukup tinggi di ufuk timur. Pagi yang cukup bising bagi keluarga kecil Luois. Hari ini adalah hari pertama Kim masuk untuk masuk TK. Kim sangat bersemangat untuk pergi sekolah. Sejak mentari masih mengintip dalam persembunyiannya Kim sudah mengacak-acak tempat tidur orang tuanya. Merangkak naik ke tengah-tengah Luois dan Rachel. Mempermainkan rambut dan pipi orang tuanya, untuk bangun dan menyiapkan sarapan. Jika Kim bukan mochi kesayangannya, Luois sudah akan menarik tubuh mungilnya menjauh. Namun Luois mengalah, dengan malasnya mengusap sudut mata lalu menguap dan tersenyum manis.
"Kimmochi kesayangan Papa sudah bangun ya ternyata, rajin sekali." Suara serak khas bangun tidur Luois membuat Rachel ikut terbangun.
"Sayangnya Mama sudah bangun ya ternyata, mau membantu Mama menyiapkan makan?"
tanya Rachel ikut memeluk Kim, menciumi pipi gemas Kim.
"Kim disini saja temani Papa tidur lagi." Luois semakin mengeratkan pelukannya pada Kim.
Kim bergerak-gerak tak nyaman dalam pelukan Luois. Tangan mungilnya mendorong sekuat tenaga dada bidang Luois. Memukul-mukulnya, namun usaha gadis kecil itu sia-sia. Kepalanya yang mungil mendongak ke atas. Matanya menangkap bulu-bulu halus yang tumbuh di dalam dua lubang kembar hidung bangir. Tangan mungilnya berhasil menelusup keluar lipatan lengan kekar Luois. Tanpa ampun gadis kecil itu mencabuti bulu halus yang mengintip malu-malu dari dalam lubang hidung Luois. Sontak Luois terbangun dari tidurnya. Memekik kesakitan sembari memegang hidung bangirnya.
"Aghh!" pekik Luois. Terdengar kikihan kecil gadis mungilnya.
"Hihihi, sakit, Pa?" tanya Kim polos. Demi hidung panjang Luois yang tidak sepanjang hidung Spongebob. Meskipun beberapa helai rambut, itu tetap saja menyakitkan. Jika saja Kim bukan anaknya sudah dibuat rempeyek mochi sepertinya.
"Huhuhu! Sakit tahu, Sayang. Gimana kalau Papa tidak punya bulu hidung terus nggak bisa nyium Kim lagi?" Luois berakting kesakitan.
Rachel yang melihat dua kesayangannya ribut di pagi hari hanya bisa terkekeh. Memang Kim adalah satu-satunya alarm ampuh bagi Rachel untuk membangunkan Luois.
Rachel masih sibuk di dapur ketika Luois telah siap dengan setelan kemeja dan celana hitamnya. Warna favorit Luois yang tak pernah gagal untuk membuatnya tampan berkali lipat. Luois tidak pernah lupa untuk memberikan kecupan perpisahan sebelum berangkat bekerja, tentu saja pada dua malaikatnya Rachel dan Kim. Berhubung Kim hari ini akan masuk sekolah TK pertama kalinya, Luois hanya mencari Rachel yang masih sibuk mencuci piring setelah sarapan. Selama lima tahun ini Rachel tidak pernah mempekerjakan pembantu di rumahnya. Hanya saja, sesekali dia menghubungi pengurus anak ketika ada hal penting yang tidak bisa digantikan. Misalnya saja ketika dia harus menjadi pembicara di suatu acara. Rachel adalah seorang pecinta lingkungan terutama tanaman. Tidak mengherankan jika Rachel begitu ahli dalam hal pelestarian lingkungan, membuat dirinya aktif pada berbagai acara. Meskipun Rachel menyebut dirinya ibu rumah tangga tapi tetap menyibukkan dirinya untuk berkontribusi pada lingkungan.
Rachel berhenti dari kegiatan itu secara total, ketika sepertinya pengasuh anak yang ditinggalkan bersama Kim melihat sesuatu yang menakutkan. Dia berkata bahwa dia melihat sosok perempuan berambut panjang bergaun putih di dekat Kim, namun ketika didekati sosok tersebut menghilang. Sejak saat itu rumor sepertinya menyebar seperti api yang terkena angin. Rachel ingin melindungi keluarga kecilnya, oleh sebab itu dia mencoba untuk tidak meminta bantuan pengasuh anak lagi.
"Sayang, aku sebentar lagi berangkat. Mendekatlah" Luois mengerling nakal. Rachel yang sibuk mencuci hanya menoleh sekedarnya saja. Merasa dihiraukan Luois mendekat, menempelkan tubuhnya di belakang Rachel. Hembusan nafas hangatnya tepat di tenguk rachel, membuat sekujur tubuhnya sedikit bergidik.
"Mencoba menghiraukanku?" bisiknya di samping telinga Rachel. Rachel yang telah usai melakukan aktivitasnya berbalik cepat. Menatap mata emerald Luois dari bawah.
"Sudah tahu sedang sibuk." Mengerucutkan bibirnya lalu menyentil dahi lebar Luois.
"Aww!!" pekik Luois pelan, "Ada apa dengan pagi ini? kenapa dua malaikatku begitu kasar!" Sembari mengelus dahinya pelan.
"Mendekatlah Sayang." Tangan Rachel meraih belakang kepala Luois. Menariknya mendekat untuk memberikan kecupan singkat di dahinya.
"Bagaimana? Sudah tidak sakit, kan?" tanya Rachel.
"Hehe, yang sini sakit, loh." Menunjuk ke arah bibirnya.
"Ya sudah coba kesini, aku sentil dulu." Rachel sudah akan siap menyentil ketika ada suara dua anak kecil masuk dari arah ruang keluarga. Keduanya agak terkaget, membuat Rachel tidak sadar mendorong Luois sedikit menjauh.
"Siapa, Pa? Apa hanya aku yang mendengarnya?" Raut wajah Rachel berubah pucat, tangannya sedikit gemetar ketika Luois memegangnya.
"Iya Ma, aku mendengarnya juga. Kita lihat dulu siapa." Luois memegang erat telapak tangan Rachel yang dingin karena keringatnya. Menuntunnya ke asal suara dua anak kecil di ruang keluarga.
Luois dan Rachel tiba di ruang keluarga, lalu mendapati dua bocah menggemaskan seumuran Kim berlarian masuk dari ruang tamu menuju ruang keluarga.
"Edward! Ana!" teriak Rachel.
"Tante Cantik!" teriak keduanya sembari berlari dan melebarkan kedua tangan mungil mereka.
"Dimana Papa dan Mama?" tanya Rachel sambil mengecup gemas pipi keduanya.
"Papa dan Mama langsung pergi, katanya ada hal yang penting. Papa bilang kita berangkat bersama saja sama Kim," ujar Edward yang lebih tua setahun dari Ana.
"Kebiasaan ya itu Daniel. Anaknya ditaruh sembarangan tanpa memberi tahu," gumam Luois.
"Ya sudah. Kim sedang membereskan tasnya di kamar. Bisa minta tolong panggilkan Kim? Soalnya sebentar lagi kita akan berangkat," pinta Rachel yang langsung diiyakan oleh kedua bocah itu.
"Siap tante Cantik!" teriak mereka lalu berlari menjauh.
Edward berlari mendekati kamar yang di pintunya tertulis 'Kimmochi', namun lengannya ditahan oleh Ana. Telunjuknya mengisyaratkan untuk tidak berisik, dan melangkah pelan. Mengendap-ngendap tanpa menimbulkan suara. Ana berniat untuk mengagetkan Kim. Langkah pendek itu semakin mendekat ke daun pintu kamar Kim. Semakin mendekat entah kenapa jantung Ana semakin cepat berdetak, namun Ana tersenyum menikmatinya. Membayangkan bagaimana terkejutnya Kim, membuatnya semakin tidak tenang.
Keduanya telah sampai di depan kamar Kim. Mendapati daun pintunya sedikit terbuka, dari celah tersebut kedua bocah itu bisa mengintip dan melihat Kim yang masih duduk membelakangi pintu menghadap ke jendela luar yang masih tertutup tirai putih. Ana hampir saja ingin mendobrak pintu dan mengagetkan Kim di dalam, namun urung ketika ada sesosok wanita berambut panjang yang menutupi wajah sangat cepat mendekat ke arah pintu. Membuat Ana terkejut dan berteriak, tubuhnya terdorong ke belakang menindih Edward di belakangnya.
Teriakan Ana membuat Rachel datang terburu-buru untuk mengecek apa yang terjadi. Hazelnya menangkap kedua bocah tadi tengah tergeletak di depan pintu kamar Kim. Ana bergelung dan badannya bergetar hebat di dalam pelukan Edward.
"Ada apa?! Kenapa Ana, Edward?" tanya Rachel panik. Edward yang tidak tahu apa-apa hanya mampu menggeleng lemah, lengan mungilnya memeluk erat adik perempuan satu-satunya, berusaha menenangkan.
Kim membuka pintunya ketika mendengar suara panik mamanya di depan kamar. Tangannya sudah menenteng tas ransel berwarna pink. Terkejut ketika mendapati sahabatnya Ana dan Edward ada di depan kamarnya.
"Ana! Kak Edward!" panggil Kim, namun keduanya diam. Rachel langsung menyuruh Luois yang mengekor di belakangnya untuk menggendong Ana ke ruang keluarga. Sedangkan Rachel menggandeng Kim dan Edward mengikuti Luois di belakang.