Setelah kurang lebih satu setengah jam lebih berkendara, akhirnya Farel dan Dini sampai di hotel tujuan mereka. Semua koper mereka sudah diantar oleh pegawai hotel ke kamar mereka. Dan sekarang Farel sedang menunggu Dini yang sedang mencuci mukanya di toilet lobby.
"Sudah selesai? Masih mengantuk?" tanya Farel.
Dini mengembungkan pipinya sambil menyelipkan tangannya di lengan Farel. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di dada Farel. "Kenapa kita harus berangkat malam sekali, Farel? Coba lihat sekarang sudah hampir jam dua belas malam."
Walaupun pada kenyataannya waktu sudah menunjukkan tengah malam tapi suasana hotel di sana masih ramai. Semua lampu masih menyala. Sepertinya sedang banyak orang yang berlibur di sini.
"Sudah, jangan mengeluh, kau mau kugendong seperti tuan putri?"
Dini segera menjauhkan kepalanya. "Ti-tidak, sudah kita jalan saja. Lantai tiga kan?" ucap Dini sambil menahan malu jika Farel benar-benar menggendongnya sampai kamar.
Dengan menaiki lift, lantai tiga menjadi sangat dekat. Belum lagi kamar mereka yang kebetulan sangat dekat dengan lift. "Nah, sampai juga akhirnya, aku mengantuk," ucap Dini.
Farel segera membuka kamar hotel dengan kartu yang ia terima di meja resepsionis. Setelah pintunya terbuka, laki-laki itu sengaja menutup mata Dini dari belakang. "Eits, kau belum boleh tidur, aku punya sesuatu untukmu. Kau harus tutup mata."
Dini terkikik geli mendengar ucapan Farel. Jarang sekali suaminya itu berbicara panjang lebar apalagi bersikap romantis seperti ini. "Baik, aku akan menutup mataku," sahut Dini sehingga Farel tidak perlu menutup mata Dini dengan tangannya lagi. Laki-laki itu kemudian menuntun istrinya masuk ke dalam kamar hotel.
Setelah memastikan pintu kamar terkunci, Farel kembali meraih tubuh Dini dan menggiringnya sampai ke ruang tamu yang ada di kamar mereka. Ruang tamu itu mengarah langsung ke arah balkon dengan dibatasi pintu kaca.
Walaupun mata Dini ditutup, dia bisa merasakan ada pendar-pendar cahaya lilin di sekitarnya. Farel melihat jam pada ponselnya. Saat jam menunjukkan pukul dua belas tepat, Farel mendekati Dini dan berbisik pelan. "Buka matamu, Sayang."
Iris berwarna hitam itu perlahan terlihat dan seketika membesar saat melihat pemandangan di depannya. "Selamat hari pernikahan yang kesebelas, Istriku," ucap Farel sambil mengecup dahi Dini penuh sayang. "Kau suka?"
Mata Dini seketika berkaca-kaca saat melihat lilin yang memenuhi meja di hadapannya. Bukan hanya lilin, di sana juga ada sebuket bunga mawar merah, kue, dan tak ketinggalan wine kesukaan Dini. "Aku tidak menyangka kalau kau mengingat hari ini, Farel," balas Dini sambil memeluk Farel. "Terima kasih banyak."
"Aku mencintaimu, Dini," ucap Farel.
Dini mendongak menatap mata hitam Farel. "Aku juga sangat mencintaimu, Farel."
Farel perlahan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Dini perlahan. Mereka saling berbagi kecupan-kecupan kecil sebelum akhirnya saling memandang kembali. Rasanya ucapan cinta itu tidak perlu diucapkan karena mereka berdua tahu kalau mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.
"Aku punya sesuatu untukmu," ucap Farel sambil melepaskan pelukannya. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah. Pria bermarga Ganendra itu tiba-tiba berlutut di hadapan Dini.
Wajah Dini seketika memerah melihat perlakuan Farel yang sangat manis. "A-ada apa ini? Apa kau berniat melamarku lagi?" tanyanya gugup.
Farel mendengus saat merasakan nada gugup di suara istrinya. "Kenapa kau gugup begitu?"
"Ti-tidak," bantah Dini.
Farel kemudian membuka kotak beludru berwarna merah itu sehingga menampakkan dua buah perhiasan berbentuk lingkaran yang terbuat dari emas putih. " Dini Ganendra, maukah kau terus menemaniku sebagai istriku hingga aku tua?"
Dini tertawa kecil mendengar pertanyaan Farel. "Dasar tidak kreatif! Tentu saja aku mau," sahut Dini sambil menerima kotak beludru itu dari tangan Farel. "Anting-antingnya cantik sekali."
"Wanita cantik harus menerima perhiasan yang cantik juga," ucap Farel. "Mau kupasangkan?" tanya Farel sambil berdiri.
Dini mengangguk dan segera menyelipkan rambutnya ke balik daun telinganya. "Ada namamu di baliknya," ucap Dini saat mengambil salah satu anting itu.
"Agar semua orang tahu kalau kau itu selamanya adalah milikku, Dini."
"Dasar!"
"Sudah selesai."
Dini menoleh ke arah cermin yang kebetulan ada di dinding dekatnya. "Cantik sekali."
Farel juga ikut melihat ke arah cermin. "Istriku memang cantik." Farel kembali mengecup bibir Dini. Mereka lagi-lagi tenggelam dalam kecupan-kecupan yang akhirnya diikuti dengan lumatan bibir itu.
"Hmm... hnn..." desah Dini. "Kita hampir melupakan kuenya."
Farel hanya bisa menghela napas karena kegiatan kesukaannya diinterupsi sang istri hanya karena kue. "Jadi?"
Dini menarik tangan Farel ke dekat kue yang di atasnya berisi lilin yang masih menyala. "Kita buat permintaan dulu baru bersama-sama kita tiup lilinnya."
"Hm baiklah."
Mata Dini memandang nyala api yang bergoyang-goyang itu sebentar sebelum akhirnya menutup matanya dan mencakupkan kedua tangannya di depan dada. 'Aku tidak meminta hal yang rumit. Hanya saja kumohon biarkan aku mengandung anak Farel segera,' ucapnya dalam hati. "Kau sudah selesai berdoa, Farel?"
Farel mengedikkan kedua bahunya. "Aku harap apapun yang diharapkan oleh istriku ini terkabul," ucapnya. Benar-benar seperti Farel, tak ada basa-basi sama sekali. Farel kemudian merangkul Dini dan bersama-sama meniup lilin yang berada di atas kue berwarna putih itu.
Dini refleks bertepuk tangan saat semua lilin di atas kue sudah mati. Farel tersenyum melihat tingkah istrinya itu. "Hei, masih mengantuk?"
Wanita yang dulunya bermarga Dewari itu menggeleng cepat. "Tidak, sudah hilang sejak melihat semua ini."
"Mau ke balkon? Di luar pemandangannya indah," ajak Farel kemudian menggeser pintu kaca yang membatasi balkon dengan ruang tamu. Seketika itu juga aroma air laut dapat dirasakan oleh keduanya.
Dini segera duduk di salah satu kursi yang memang tersedia di setiap balkon. "Kau benar, ini sangat indah," ucap Dini takjub sambil memandang deburan ombak yang memantulkan kemerlip bintang. Lampu-lampu taman yang berada di sekitar pantai semakin memperindah pemandangan di hadapan Dini.
Farel kemudian meninggalkan Dini sejenak. Laki-laki itu pergi ke arah gramofon dan memasang piringan hitam di atasnya. Tak lama kemudian musik waltz terdengar di ruangan itu. Dini bersenandung kecil saat musik kesukaannya masuk ke indra pendengarannya.
"Wine, Dini?" tanya Farel yang sekarang sudah duduk di hadapannya.
"Tentu," sahut Dini sambil menerima segelas wine dari Farel. Mereka bersulang dulu sebelum akhirnya meminum wine masing-masing.
Tangan Farel menusuk sepotong keju tanpa diminta. Tusukan keju itu ia sodorkan di depan Dini. "Hari ini kau manis sekali, Farel," ucap Dini sebelum menggigit keju yang disodorkan Farel. Hari ini benar-benar terasa sangat indah.
"Aku tiba-tiba jadi ingat, dulu kau melamarku di pantai itu, kan?" tanya Dini dengan matanya yang masih mengarah ke pantai. Sebelas tahun yang lalu, Farel mengajaknya ke pantai ini dan melamarnya di depan umum.
Wajah Dini bersemu merah entah karena mengingat hal itu atau karena wine yang ia minum sejak tadi. "Mau berdansa?" tawar Farel.
Laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Dini sambil menarik pelan tubuh Dini. Tubuh Dini sedikit terhuyung dan jatuh tepat ke pelukan Farel. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam setelah menutup pintu kaca dan meninggalkan botol wine yang telah tandas isinya.
Musik waltz masih mengalun dengan indahnya menemani pergerakan sepasang suami istri itu. Mereka sebenarnya tidak benar-benar berdansa. Dini hanya mengalungkan kedua lengannya di leher Farel sedangkan kedua lengan Farel memeluk pinggang Dini. Dengan posisi seperti itu mereka kemudian bergerak perlahan sambil meresapi kehangatan yang menguar dari tubuh masing-masing.
Kepala Farel lama kelamaan akhirnya tenggelam dalam lekukan leher Dini. Laki-laki itu kemudian menyesap leher hingga sepanjang tulang selangka istrinya dan meninggalkan bercak-bercak kemerahan di sana.
"Shhh..." desah Dini. Dini hanya bisa mendesah sambil meremas rambut hitam Farel.
Farel kemudian mengangkat wajahnya dan mempertemukan dahi mereka. Mata mereka saling memandang penuh sayang. Tanpa aba-aba akhirnya kedua bibir itu kembali bertemu. Kedua bibir yang sudah terbiasa saling menyesap itu seakan hapal bagaimana cara memuaskan satu sama lain. Desakan lidah Farel di dalam mulut Dini membuat Dini menggelinjang. Belum lagi ditambah tangan Farel yang sudah berhasil menyusup ke balik baju Dini dan mengelus punggungnya dengan menggoda.
Tak perlu menunggu lama hingga akhirnya kaitan bra Dini terlepas. Pergerakan dansa mereka akhirnya berhenti karena salah satu kaki Farel yang sudah menyusup di antara kedua kaki Dini. Lutut Farel secara perlahan menggesek selangkangan Dini hingga membuat Dini mendesis.
Ciuman mereka terlepas. Mata Farel tak memandang ke arah lain selain memandang Dini yang sedang terengah-engah. Terlihat begitu erotis. Farel kembali menyerang bibir Dini saat istrinya itu baru saja menstabilkan napasnya. "Hmpphh... Hhhnnmm..."
Tak mau menunggu lagi, akhirnya Farel mengangkat tubuh Dini bagai seorang pangeran yang baru saja menemukan puterinya. Dan beberapa saat kemudian mereka sudah berada di atas kasur dalam keadaan telanjang bulat dengan kepala Farel yang tenggelam di antara selangkangan Dini.
Dini sudah dibanjiri dengan peluh. Leher serta perutnya sudah banyak berisi bercak-bercak merah dari Farel. Bibirnya tak henti-hentinya mendesahkan nama Farel terus menerus. Mungkin karena pengaruh alkohol, Dini terlihat begitu berbeda malam ini. Ia lebih agresif dan berani mendesah keras.
"Shhh... ahhh, ohhh, teruss~" racau Dini sambil meremas seprai kasur. Farel semakin semangat saat mendengar desahan Dini. Ia bahkan dengan sengaja menyedot klitoris Dini.
Dini menyentakkan kepalanya beberapa kali ke arah bantal saat merasakan bahwa ia akan orgasme. Wajahnya semakin memerah dengan matanya yang terpejam karena kenikmatan yang ia rasakan. "Auu.. Farel, akhh," desahnya saat ia mencapai orgasme.
Farel bahkan dengan sengaja menyedot vagina Dini hingga membuat Dini menggelinjang. Tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri saat rasa nikmat kembali akan menerjangnya. Farel tak membiarkan hal itu terjadi.
Laki-laki itu mengangkat salah satu kaki Dini ke pundaknya dan segera mungkin menanamkan kejantanannya di vagina Dini. Biasanya Farel hanya memasukkannya setengah tapi karena melihat Dini yang tidak tampak kesakitan, ia dengan berani memasukkan seluruh penisnya. "Shh ah!" desah Farel tanpa sadar.
"Huhh! Akhh huh!" Dini tersentak. Matanya tiba-tiba terbuka sambil menatap mata hitam Farel. Kedua tangannya merentang ke arah Farel. "Kemari, Farel," pintanya.
Farel menyeringai melihat tingkah Dini. Laki-laki itu kemudian mendekati Dini dan perlahan menindihnya. Ia kecup puncak kepala Dini sebelum akhirnya menggerakkan tubuhnya perlahan. Kedua kaki Dini tiba-tiba melingkari pinggangnya hingga membuat Farel terkejut.
"Hari ini kau semangat sekali, Sayang," ucapnya di sela gerakan panas mereka.
Dini tak menghiraukan ucapan suaminya itu karena ia masih sibuk mendesah dan sibuk mencari pelampiasan atas rasa sakit dan nikmat yang ia rasakan saat ini. "Farel~ aakhh a-aku ma-mau..."
Bibir Farel mengulum bibir Dini sebelum kalimatnya selesai. Di saat lidah Farel menyeruak masuk ke dalam bibirnya, Dini merasakan orgasme lagi hingga punggungnya melengkung. Farel yang tak mau tertinggal kemudian semakin mempercepat gerakannya dari biasanya.
Tubuh Dini tersentak-sentak hebat menerima gerakan brutal Farel. Biasanya Dini akan merasakan sakit saat Farel bermain keras tapi hari ini tiba-tiba saja ia merasa begitu berbeda. Ia sangat menikmati seks untuk pertama kalinya.
Di saat Farel akan merasakan klimaksnya, laki-laki itu melepas pagutannya dan berfokus menggerakkan pinggulnya semakin cepat. "Ish!"
"AKHHH! FARELL~" desah Dini panjang saat ia merasakan semburan sperma Farel memenuhi rahimnya.
Tubuh Farel kemudian terjatuh di atas tubuh Dini. Tidak ingin membuat Dini menopang berat tubuhnya, laki-laki itu kemudian memiringkan tubuhnya dan Dini dalam keadaan yang masih menyatu. Laki-laki itu mengecup pelan dahi Dini. "Aku mencintaimu, Sayang."
Mata Dini masih terpejam sambil merasakan sisa-sisa klimaksnya. Saat napasnya sudah stabil, ia mendongak dan menatap mata Farel. Dengan berani ia mengecup bibir Farel dan melumatnya.
Saat lumatan itu berhenti, Farel mengelus pelan payudara Dini sambil memandang mata Dini. "Kau masih bisa?"
Dini hanya mengangguk pasrah dan membiarkan Farel kembali membimbingnya menuju kenikmatan yang tiada tara.
.
.
.
FIN