Myesha sudah siap dengan pakaian terusan berwarna ungu kesukaannya. Riasan sederhana juga sudah menutupi wajahnya. Tak lupa dengan tas dan segala keperluannya. Baru saja ia keluar kamar ia sudah mendengar suara bel pintu. Hari ini memang jadwal libur Sarah, jadi dialah yang berjalan ke depan kemudian menyambut orang yang datang.
"Selamat pagi, Nyonya Myesha," sapa wanita berambut coklat sebahu yang ada di hadapan Myesha.
Myesha tersenyum lembut menatap mata coklat yang jernih itu. "Pagi. Kau Vania Keisya?"
"Benar, saya sekretaris baru Tuan Ezra. Jadi, Anda sudah siap berangkat?"
Myesha mengangguk cepat dan segera mengunci pintu rumahnya. "Ngomong-ngomong Vania, kau jangan berbicara terlalu formal padaku. Rasanya tidak nyaman."
Vania tersenyum. "Baiklah, saya usahakan."
"Benar-benar tipikal seorang sekretaris. Kaku dan efisien ya?" gumam Myesha sambil mengikuti Vania dan masuk ke dalam mobil. Myesha duduk di kursi penumpang sedangkan Vania di kursi kemudi.
Tak berapa lama mobil berwarna putih itu berangkat dan membelah jalanan. Di dalam mobil, Myesha terus memandang jalanan karena ia merasa Vania sulit diajak berbicara. Hari ini adalah jadwalnya pergi ke dokter kandungan. Biasanya Ezra yang selalu mengantarnya tapi karena tiba-tiba ada rapat mendadak akhirnya Ezra menyarankan agar sekretarisnya yang menemani sang istri.
Pada akhirnya Myesha menyetujui saran tersebut. Wanita itu menghembuskan napas tanpa sadar sambil mengelus lembut perutnya.
Alis Vania berkedut saat mendengar desahan Myesha. "Anda kenapa? Apa ada yang sakit? Ada yang membuat Anda tidak nyaman? Atau Anda ingin minum atau memakan sesuatu?" tanya Vania beruntun sambil tetap memperhatikan jalanan.
Myesha tertawa kecil mendengar pertanyaan Vania. "Kau lucu sekali," ucapnya. Karena tidak ingin membuat Vania merasa tidak enak, akhirnya Myesha memilih menjawab salah satu pertanyaan Vania. "Hmm... aku agak sedikit haus."
"Bagaimana kalau saya belikan air di mini market?" tawarnya.
"Hm... boleh, terima kasih banyak," balas Myesha tersenyum.
Vania juga membalasnya dengan senyuman termanis yang ia miliki. Setelah menemukan mini market, Vania segera keluar dan membeli sebotol air minum kemasan. Saat akan kembali ke dalam mobil yang ia parkir cukup jauh dari mini market, sebuah seringaian muncul di wajahnya.
"Ini terlalu mudah," ucapnya sambil membuka tutup botol minuman yang ia bawa kemudian memasukkan obat tidur ke dalamnya. "Tenang saja, kau tak akan merasakan apa-apa setelah ini, Myesha. Obat ini tidak terasa dan tidak berbau, cukup minum ini dan tidurlah," lanjutnya kemudian menutup botol itu kembali.
Vania kembali memasang senyum manisnya dan segera berjalan ke arah mobil kantornya terparkir. "Maaf lama," ucapnya sambil berpura-pura membuka tutup botol air putih yang ia bawa. "Silahkan." Vania segera memberikan botol itu kepada Myesha.
"Ya ampun, kau jangan berlebihan seperti ini. Aku bisa membuka tutupnya sendiri, Vania," ucap Myesha kemudian meminum air dari botol berwarna bening itu. "Tapi terima kasih ya."
"Iya, terima kasih kembali," sahut Vania kemudian menjalankan mobilnya kembali.
Selang beberapa menit kemudian, Myesha tiba-tiba menguap. Entah kenapa rasanya ia sangat mengantuk saat ini.
"Anda mengantuk, Nyonya?" tanya Vania sambil melirik Myesha sekilas.
"Sedikit," sahut Myesha kemudian menguap kembali.
Vania terdenyum kecil. "Sebaiknya Anda tidur saja, nanti saya bangunkan kalau kita sudah sampai di rumah sakit."
Myesha menoleh cepat ke arah Vania. "Wah, terima kasih banyak, Vania."
Wanita yang baru menikah setahun yang lalu itu segera mencari posisi ternyamannya dan memejamkan matanya. Tak menunggu waktu lama akhirnya Myesha tertidur. Bersamaan dengan Myesha yang tertidur, Vania juga melepas topeng baik hati dari wajahnya. Wajah yang senantiasa tersenyum itu menampakkan seringaian kejam.
"Tapi bukan aku yang akan membangunkanmu setelah ini, Myesha. Mungkin dewa neraka yang akan membangunkanmu," ucap Vania sambil membalik arah kemudi kemudian pergi ke arah tempat persembunyian milik Rafael.
Hari ini Myesha merasa bermimpi aneh sekali tapi dia sendiri tidak ingat apa mimpinya itu. "Hhh~" erangnya sambil menggerakkan tubuhnya. Matanya yang sejak tadi tertutup itu kemudian terbuka perlahan. Kenapa rasanya ia tertidur sangat lama? Apa jalanan macet sampai-sampai ia belum dibangunkan sejak tadi?
"Kau sudah sadar?"
Sebuah suara asing masuk ke indra pendengaran Myesha sehingga membuat mata Myesha terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit rumah yang ditumbuhi banyak lumut. Tiba-tiba saja ia merasa sangat dingin. Di saat itulah ia sadar bahwa ia dalam keadaan telanjang bulat. "Aku kenapa?" tanyanya entah pada siapa. Myesha menggerakkan tangannya agar ia bisa menutupi tubuhnya tapi kedua tangannya tidak bisa bergerak begitupula dengan kakinya.
"Sstt tenanglah, Myesha. Kau tidak akan bisa menggerakkan tangan dan kakimu. Aku sudah mengikatnya dengan sangat kencang," ucap satu-satunya laki-laki yang ada di sana.
Di detik itulah Myesha tersadar bahwa ia telah diculik dalam keadaan yang sangat memalukkan. Tubuhnya ditidurkan di atas kasur dalam keadaan telanjang sedangkan kedua tangan dan kakinya diikat pada ujung-ujung tempat tidur.
"Ka-kau siapa?" tanya Myesha. Barulah rasa takut itu mulai menyerangnya. Kedua tangannya gemetar dan matanya sudah mulai berkaca-kaca. "A-apa... a-apa yang ka-kau mau dariku?"
Laki-laki berambut hitam itu kemudian mendekati Myesha. Salah satu tangannya mengelus wajah Myesha sedangkan Myesha refleks menjauhkan wajahnya. "Namaku Rafael."
Myesha hanya diam tidak menanggapi perkataan Rafael. Rasanya semua tubuhnya mati rasa karena rasa takutnya saat ini. "Huh!" geramnya tiba-tiba saat tangan Rafael mulai turun ke dadanya dan berhenti di atas perut buncit Myesha.
"Anakmu bergerak-gerak," dengus Rafael sambil mengelus-ngelus perut buncit Myesha.
"Ja-jangan sentuh aku!" pekik Myesha sambil menelan ludahnya. Dalam hatinya ia berdoa agara Ezra segera menyelamatkannya dari orang gila ini. "Ah! Vania! Di-di mana Vania?"
"Hm?" Rafael tiba-tiba menoleh ke arah Myesha. "Dia? Mungkin sekarang sedang memberikan keterangan pada polisi bahwa kau tiba-tiba menghilang saat ia akan menjemputmu di rumah?"
Mata Myesha membesar mendengarnya. "A-apa maksudmu?" tanyanya takut-takut karena sebuah pemikiran menakutkan melintas di otaknya.
"Sekali dengar pun kau pasti mengerti kan? Vania itu anak buahku, mengerti?" ucap Rafael bosan dan kembali mengelus-ngelus perut buncit Myesha.
Myesha terdiam, tubuhnya menegang mendengar ucapan Rafael. Jantungnya berdegup kencang, satu-satunya harapan yang ia punya hanyalah Ezra dan keluarganya. "Ka-kau mau apa?"
"Akhirnya, pertanyaan itu yang sejak tadi kutunggu." Rafael menyeringai sambil menekan perut Myesha perlahan-lahan.
"Akh!" pekik Myesha.
"Aku ingin kau mati, Myesha," sahut Rafael dingin. Mata hitamnya sangat suka saat melihat reaksi Myesha yang ketakutan. "Tapi sebelum itu..." lanjut Rafael menggantung. Tangannya berhenti menekan perut Myesha. Sejenak hal itu membuat Myesha bernapas lega karena rasa sakit di perutnya menghilang.
Tangan pucat Rafael kemudian turun dan meraba vagina Myesha. Mata Myesha membulat lebar saat merasakan satu jari Rafael memasuki lubang peranakannya. "Ku-kumohon ja-jangan..." pinta Myesha dengan air mata yang sudah siap jatuh dari kelopak matanya.
Rafael menjilati bibirnya. "Sebelum aku membunuhmu, aku ingin merasakan vagina wanita hamil," ucap Rafael melanjutkan ucapannya yang terputus tadi.
Tubuh Myesha gemetar hebat saat laki-laki itu naik ke atas tempat tidur dan melepas celananya dengan sangat cepat. Kedua tangannya mengangkat pinggul Myesha sehingga Rafael bisa memasukkan penisnya dengan mudah.
JLEB!
"AKKHHH!"
.
.
.
Entah sudah berapa jam lamanya ibu Ezra meremas-remas kedua tangannya dengan khawatir. Sudah hampir 24 jam Myesha menghilang dan sampai saat ini belum ada kabar apapun dari pihak polisi. Tiba-tiba ada yang menepuk-nepuk kedua tangannya. "Tenanglah, Karina."
Karina menoleh dan mendapati suaminya sudah duduk di sebelahnya. "Bagaimana ini, Brata? Bagaimana kalau Myesha kenapa-kenapa? Kalau Myesha diculik, kenapa sampai sekarang tidak ada telepon meminta tebusan?"
Brata segera membawa Karina dalam rengkuhannya. "Tenangkan dirimu, polisi sedang menjalankan tugasnya. Aku yakin Myesha pasti akan segera ditemukan. Lagipula sekarang Ezra membutuhkan kita."
"Iya, kau benar," ucap Karina. Karina segera berdiri dan berniat menghampiri Ezra yang sejak tadi mengurung diri di ruang kerjanya. Ini pertama kali dalam hidupnya Karina melihat Ezra sekacau ini. Anak semata wayangnya itu bahkan tidak mau bicara dan hanya berdiam diri.
Tapi saat ia keluar dari ruang tamu, matanya tanpa sengaja melihat Vania yang berdiam diri di dapur dengan Sarah. Karina dapat melihat Vania yang sedang menenangkan Sarah yang sedang menangis.
"Maaf aku mengganggu," ucap Karina. Vania refleks segera berdiri.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanyanya sesopan biasanya.
"Bisa kau buatkan teh untuk Ezra? Sebenarnya aku ingin membuatkannya sendiri tapi aku masih belum tenang jadi..."
"Tentu, Nyonya, saya akan buatkan," potong Vania saat ia tahu Karina tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Setelah itu Karina segera kembali ke ruang tengah sedangkan Sarah yang masih bersedih kemudian memilih pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Vania yang ditinggal sendiri hanya bisa menghembuskan napas. "Aku tahu hal yang sangat dibutuhkan Ezra saat ini. Dan teh bukanlah jawabannya," gumamnya pada dirinya sendiri.
Wanita itu kemudian naik ke lantai dua rumah keluarga kecil Ezra dan masuk ke dalam ruang kerja Ezra. Mata coklatnya dapat menangkap sosok pria berambut hitam yang sedang terduduk sambil menundukkan kepalanya.
"Dasar," gumam Vania sambil tersenyum kecil. Tanpa diminta siapapun, Vania mengunci ruangan itu dan mendekati Ezra.
Saat ia hampir sampai, Ezra mengangkat kepalanya. Matanya akhirnya dapat melihat siapa yang memasuki ruang kerjanya. "Bagaimana?" tanyanya ambigu.
Sejenak Vania menatap mata atasannya itu kemudian menampilkan seringaiannya. "Masih belum ada kabar apapun dari polisi."
Ezra juga balas menyeringai.