Amurwa segera meninggalkan kamar Padmasari. Ia segera menutup pintu lalu melangkah menuruni tangga menuju lantai satu dan meninggalkan rumahnya menuju taman di belakang. Ia duduk di gazebo sambil memikirkan apa yang baru saja ia alami di kamar Padmasari.
"Ya Tuhan, apa yang baru saja terjadi dengan diriku ini? Aku melihat tubuh Padmasari yang begitu indah. Polos tanpa busana dan aku . . . ah, mengapa aku bisa bergetar seperti tadi? Selama ini aku sama sekali tidak pernah merasakan apapun saat berdekatan dengan wanita lain. baru kali ini aku merasakan rasa aneh yang mengusik jiwaku." Amurwa Bhumi bermonolog. Ia tidak akan pernah mentolerir dirinya sendiri yang terlalu polos dan lugu. Teman-temannya sudah semua merasakan jatuh cinta pada lawan jenis bahkan sebagian besar dari mereka sudah pernah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kekasih mereka. Beberapa kali bahkan teman-teman kuliahnya mengedarkan video tak bermoral di grup kelasnya dan beberapa kali pula mereka menceritakan pengalaman mereka dengan vulgarnya tanpa malu-malu. Hanya dia yang selalu menjaga diri agar tidak melakukan hubungan terlarang dengan lawan jenis sebelum pernikahan.
Amurwa Bhumi memandang langit dan mencoba mencari tahu ada masalah apa dengan hidupnya.
"Sebenarnya aku yang bermasalah atau mereka yang normal? Ah, entahlah. Aku akan tetap menjadi seperti ini sampai aku berhasil menikahi Padmasari. Ia masih belum menyelesaikan masa iddahnya dan aku masih harus bersabar selama tiga bulan ke depan. Tidak boleh terlalu menurutkan hawa nafsu karena akan membawa keburukan untuk kehidupanku selanjutnya.
"Kau seharusnya melakukan tugasmu tadi, Amurwa. Kau sudah memiliki kesempatan dan dia juga sudah pasrah kepadamu. Kalaupun kau melakukannya, ia tidak akan menolak pesonamu. Tapi lagi-lagi kau selalu bersikap bodoh."
Bisikan yang selalu mengatasnamakan leluhurnya kembali datang dan kali ini ia benar-benar mewujudkan dirinya sebagai laki-laki gagah yang memiliki tubuh tinggi besar. Meski sudah paruh baya, namun Amurwa masih melihat sisa-sisa ketampanannya di masa mudanya.
"Siapa kamu?"
Laki-laki di hadapan Amurwa tertawa lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. ia sama sekali tidak tahu mengapa Amurwa tidak mengenali dirinya padahal selama ini ia selalu menemani kemanapun Amurwa pergi.
"Aku? Kau sama sekali tidak mengenalku?"
Amurwa menggelengkan kepalanya. Ia benci pada orang yang selalu menganggapnya berbohong padahal ia sama sekali tidak merasa mengenal laki-laki di hadapannya.
"Mengapa aku harus mengenalmu, Paman? Apakah itu penting bagiku? Kau selalu datang dna membisikkan hal-hal yang tidak baik kepadaku. Mengapa kau selalu mengatakan kalau kau ini kakek buyutku? Kau masih muda dan masih tampak sangat tampan."
Sekali lagi laki-laki di hadapan Amurwa tertawa. Ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan mencoba mengatur detak jantungnya agar stabil.
"Aku kakek buyutmu, Amurwa. Aku yang selalu menjagamu agar siapapun tidak berhasil mencelakaimu. Termasuk beberapa anak buah Tuan Kusuma yang selalu mencoba mencelakaimu, aku yang mengatasinya."
Amurwa mengerutkan keningnya mendengar kakek buyutnya melakukan campur tangan pada keselamatan dirinya.
"Jangan terlalu pongah, Paman. aku sama sekali tidak suka mendengar ada laki-laki tua yang pongah dan selalu menampilkan kekuatannya pada orang lain. Jangan katakan kalau aku memiliki ilmu kanuragan juga karena kekuatanmu. Awas kalau kau sampai mengatakan hal itu. aku belajar dengan giat agar aku bisa memiliki kehidupan yang lebih baik, lalu mengapa kau mengklaim bahwa semua adalah usahamu?"
"Amurwa, aku adalah kakek buyutmu. Namaku sama dengan namamu. Aku adalah raja yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Istriku Ken Dedes adalah wanita yang memiliki sinar keemasan di antara kedua pangkal pahanya dan apa yang dikatakan oleh guruku benar. Guruku mengatakan kalau siapapun laki-laki yang menikahi gadis bersinar emas di pangkal pahanya, maka ia akan menjadi ayah dari para penguasa negara. Jangan ragu untuk membuat Padmasari hamil, Amurwa."
Amurwa mencebikkan bibirnya. Ia masih bergeming. Sama sekali tidak ingin mendengar apa yang dituturkan orang yang mengaku sebagai kakek buyutnya.
"Apakah aku juga harus memanggilmu dengan sebutan kakek buyut? Enak saja. aku sama sekali tidak mau menyebutmu sebagai kakek buyut karena usiaku dengan usiamu sangatlah jauh."
Laki-laki di hadapan Amurwa menggeleng untuk yang ke sekian kalinya. Wajahnya nampak pias seperti kapas yang baru saja dikeluarkan dari bungkusnya. Putih tanpa noda membuat siapapun yang memandangnya terpesona.
Amurwa dan kakek buyutnya masih diam di tempat masing-masing dengan perasaan masing-masing. Mereka sama-sama mempertahankan pendiriannya, yang muda ingin bertahan untuk membiarkan Padmasari menghabiskan masa Iddah sedangkan yang tua bersikeras untuk menjalankan aksinya. Tarik ulur antara mereka berdua membuat beberapa kali Amurwa harus bangun dan duduk kembali, menolak dan melakukan semua perintah dari kedua penghuni tubuhnya. Kesal dengan keadaannya, Amurwa berdiri lalu berteriak keras.
"aaaaaa, kenapa kau sama sekali tidak tahu kalau aku tidak mau? Aku hanya akan melaksanakannya setelah aku resmi memilikinya. Tidaaaaak"
Jeritan Amurwa sampai ke dalam rumah, membuat Inah dan Padmasari yang sedang menyiangi sayuran di dapur saling pandang.
"Ada apa, Inah? Apakah Tuan sedang marah kepadamu?"
Inah menggeleng. sejak pagi ia memang berada di rumah tuannya, namun ia sama sekali tidak bertemu dengan Amurwa Bhumi apalagi membuat masalah. Ia bahkan belum menyapa tuannya hari ini. Melihat Inah menggeleng, Padmasari mencoba bangkit. Ia ingin melihat Amurwa Bhumi di taman belakang. Selain penasaran pada kelakuan Amurwa Bhumi, Padmasari juga ingin melihat apa yang sedang dilakukan oleh Amurwa saat ini. ia akan berjaga dan akan menolong Amurwa apabila sewaktu-waktu Amurwa mengamuk dan melebihi batas kewajaran.
Padmasari mengintip Amurwa dari balik jendela dapur dan melihat laki-laki tampan yang kini sedang duduk membelakanginya sambil meremas rambutnya. Padmasari merasa sangat takut pada apa yang dilihatnya. Ia merasa Amurwa Bhumi sedang mencoba melukai dirinya sendiri. Tanpa ragu ia segera melangkah dan berlari menuju Amurwa Bhumi untuk menghentikan aksi laki-laki itu. langkah Padmasari semakin cepat. Ia tidak ingin kehilangan waktu untuk menyelamatkan Amurwa.
"Amurwa, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menyakiti dirimu seperti itu? Apakah aku membuatmu kesal dan terbebani? Kalau iya, ijinkan aku pergi dan menyewa sebuah rumah untuk aku dan Andika. Kau tidak perlu melaksanakan amanah mantan suamiku kalau kau memang keberatan. Jangan jadikan aku sebagai bebanmu."
Mendengar kalimat Padmasari, Amurwa Bhumi yang sedang berdebat dengan kakek buyutnya diam. dua jiwa yang menyatu di tubuh Amurwa Bhumi kini bergejolak sekali lagi, antara menjaga diri untuk tidak menurutkan nafsu angkara dan memandang Padmasari dengan sorot mata menggodanya. Melihat Amurwa dengan penampakan yang berbeda, Padmasari memundurkan langkahnya mencoba meninggalkan Amurwa Bhumi.
"Sayang, datanglah ke sini dan mari kita habiskan waktu kita berdua."
Padmasari yang mendengar kalimat Amurwa terpana. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Amurwa akan mengatakan kalimat nakal yang mampu membuat dirinya bergetar tak karuan.