Chereads / Nisekai / Chapter 12 - Asisten warung

Chapter 12 - Asisten warung

Sarah pun mendekat, ia memperhatikan apa yang sedang di lakukan oleh Fadil. Lalu ia mengajukan diri untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan. Kemudian dia meminta Sarah untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia mengarahkan Sarah agar meletakkan minuman pada tempatnya. Selesai memasukkan minuman, dia pun mengambil sebuah sapu lidi tergeletak diantara tumpukkan kardus. Kemudian gadis itu menyapu halaman depan, serta membasahi jalan, yang di penuhi debu dengan serokan yang sudah terisi air selokan.

Tanpa sadar kecantikkannya menarik perhatian banyak orang. Secara diam-diam warga yang melintas bertanya mengenai identitasnya. Sarah tak memperdulikannya, lalu ia melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Selesai menyapu halaman, gadis itu membantu Fadil mengelap etalase. Keringat mulai mengucur, namun gadis itu tetap tersenyum sembari melakukan pekerjaannya. Tak berlangsung lama, seorang pria berusia 40 tahun mengenakan kaos partai, sarung yang menggantung serta celana pendek hitam.

"Dek, ayah ada?"

"Sekarang ayah sedang tidak enak badan, ada apa emangnya?"

"Hari ini gilirannya untuk ronda, tapi karena Pak Yudi sedang sakit. Jadwal kegiatan rondanya di batalkan. Salamin ke Ayah semoga cepat sembuh."

"Baik nanti saya sampaikan."

"Ngomong-ngomong siapa gadis itu dek? Baru pertamakali saya lihat."

"Oh itu sepupu saya," ujarnya berbohong.

"Begitu rupanya. Sepupumu habis nari dimana?"

Dia pun melirik ke arah Sarah,sedang duduk bersimpuh di atas matras. Sadar dirinya sedang di perhatikan, ia pun tersenyum pada mereka berdua. Kemudian Fadil memberitahu pada lelaki itu, bahwa dia merupakan peserta sebuah kontes tari di kota Subang. Mendengar hal itu ia menggukkan kepala, lalu ia membeli sebungkus roko dan pergi begitu saja. Fadil berjalan mendekati Sarah, lalu duduk bersila tepat di sampingnya.

"Sarah penampilanmu," ucapnya sembari memperhatikan pakaian yang ia kenakan.

"Kenapa dengan penampilanku?"

"Penampilanmu menarik perhatian, apa kamu tidak bisa melakukan sesuatu?"

"Bisa, hanya saja aku tidak tau jenis pakaian di bumi. Jadi bisakah kamu memilihkan model pakaian untukku?"

"Bisa."

Kemudian dia meraih ponsel di saku celananya, lalu mencari style pakaian yang cocok untuk ia kenakan. Setelah memilih style pakaian yang tepat, ia menunjukkan layar ponsel pada gadis itu. Sarah pun menganggukkan kepala, sekali jentikkan jari penampilannya langsung berubah. Cropped cardi coklat kekinian, di padu dengan rok plisket bermotif pola serta rambut hitamnya yang menjulur ke bawah, menambah paras cantiknya. Kedua matanya tak berkedip, memandang gadis itu cukup lama.

Dirinya masih tak percaya, bahwa gadis secantik dirinya kini berada tepat di sampingnya. Tak berlangsung lama, gadis berambut hitam sebahu berjalan memasuki warung. Dia mengenakan jaket abu, serta membawa tas besar berwarna merah. Sebagian wajahnya tertutup oleh masker bermotif bunga. Di luar ia melihat lima motor, membawa masing-masing pasangan walau di dominasi oleh wanita.

"Kak, Tina mau minta uang." Ujarnya meminta uang pada Sang Kakak.

"Memangnya mau kemana?"

"Mau camping dua hari di Gunung Papandayan. Tenang kak aku sudah izin sama ibu."

"Ya sudah hati-hati banyak berdoa."

"Iya kak." Jawabnya, lalu ia melihat sosok gadis cantik duduk tepat di samping kakaknya. "Kakak!"

"Dek aku bisa jelaskan."

"Menjelaskan apa? Ada teman bukannya kasih minum, malah di biarin duduk begitu saja. Kakak ini gimana?! Ini cewek loh!"

"Iya Tina nanti kakak kasih minum, sekarang kamu berangkat nanti macet di jalan."

Tina mencium tangan kakaknya, lalu dia pergi menemui teman-temannya yang sedang menunggu. Sebelum dia menaiki motor, dia menoleh ke arah gadis itu. Dia tak percaya, bahwa kakaknya membawa seorang gadis cantik. Padahal selama dua belas tahun, selain keperluan ia tak pernah berbincang dengan seorang gadis satu pun. Ingin rasanya berkenalan, serta bertanya langsung mengenai status hubungan dengan kakaknya. Namun dia harus berpisah, karena sebuah acara penting dengan teman-temannya.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul tengah hari. Perut Fadil mulai keroncongan, dia berjalan keluar sembari menoleh kesana kemari. Siapa tau ada pedagang makanan yang melintas, namun hingga kini tak satu pedagang pun yang melintas. Sarah pun berjalan mendekatinya, yang sedang mencari sesuatu.

"Sedang mencari apa?"

"Pedagang makanan. Namun sampai sekarang tak ada satu pun yang melintas. Ya sudah kita makan mie instan saja, apa kamu mau?"

"Mie instan? Terdengar lezat, baiklah aku mau."

Mereka berjalan kembali masuk ke dalam warung, lalu mengambil dua cup mie instan di dalam etalase. Fadil membuka bungkus bumbu, lalau memasukkannya ke dalam di susul oleh air panas. Setelah lima menit barulah mereka bisa menikmatinya. Ungkapan kelezatan pada setiap gigitan terukir jelas di wajahnya. Melihat hal itu Fadil merasa senang, ia terus memandang gadis itu hingga membuatnya salah tingkah ketika ia tersenyum.

Raut wajah gadis itu memerah, ketika Fadil menatapnya sejak tadi. Dia pun menoleh ke samping dengan rasa malu-malu. Sesekali dia melirik ke arah pemuda itu sembari berpikir untuk menyuapinya. Kemudian Fadil pun mendekat lalu ia mendekatkan sesendok mie ke hadapan wajahnya.

"Sarah ayo buka mulutmu," ujarnya menatap gadis itu dengan malu-malu.

"Apa yang kamu lakukan?!"

"Menyuapimu."

"Tapi kenapa?" Tanya gadis itu dengan salah tingkah.

"Selama dua belas tahun menjomblo, belum pernah menyuapi seorang gadis satu pun. Yah, sesekali aku ingin merasakan bagaimana rasanya menyuapi seorang gadis. Tenang ini hanya sekali," ucapnya sembari menoleh, dengan wajah merah padam.

Jantung Sarah mulai berdegup kencang, ia tak menyangka dengan apa yang di lakukannya. Lalu mulutnya mulai terbuka, sesuap mie masuk ke dalam mulutnya. Tangan kedua tangannya gemetar, serta raut wajahnya semakin memerah ketika menyuapi Sarah. Beginikah rasanya menyuapi seorang gadis? Ungkapnya dalam batin. Kini giliran Sarah mengambil sesendok mie, lalu ia mendekat untuk menyuapinya.

"Ayo buka mulutmu, kini giliranku untuk menyuapimu." Kata gadis itu dengan rasa malu yang luar biasa, sedang dia rasakan.

Raut wajahnya yang manis, ketika menyuapinya membuat dirinya semakin salah tingkah. Jantungnya berdebar begitu kencangnya, tak bisa mengungkapkan apa yang sedang dirinya rasakan. Mereka saling menyuapi satu sama lain hingga habis. Selesai makan, mereka berdua saling memalingkan wajah tak kuat membendung rasa malu serta kebahagiaan yang tak bisa di ungkapkan oleh kata-kata. Fadil dan Sarah pun merasa, bahwa apa yang mereka berdua lakukan tak jauh berbeda dengan pasutri baru saja menikah.

"Terimakasih, untuk suapanya." Kata gadis itu.

"Iya, anggap saja itu tanggung jawab dariku." Ucapnya asal ceplos.

Mendengar hal itu, seketika Sarah teringat kembali saat bersamanya di alam mimpi. Teringat dimana pemuda itu merampas ciuman pertamanya. Tak hanya itu, dia mencium seluruh bagian wajah dan lehernya hingga meninggalkan bekas. Raut wajahnya semakin memerah lalu memukul-mukul pundak, dan menjambak rambutnya dengan gemas. Dia pun berhenti ketika Fadil berkata ampun secara berulang-ulang. Kemudian dia memalingkan wajahnya, melipat tangan dengan raut wajah memerah.

"Sekarang kamu sudah bebas, apa kamu tidak pulang?"

"Kau masih ingat tentang janjiku?"

"Iya."

"Ketika aku berjanji, maka aku tidak akan mengingkarinya. Apa kamu merasa terganggu akan kehadiranku?"

"Tidak malahan aku senang, ada yang menemani. Tapi jangan terlalu paksakan dirimu, jika kamu ingin pulang silahkan saja. Lagi pula aku tidak menahan selendangmu." Ujarnya sembari tersenyum.

Sarah pun terseyum mendengar apa yang dia katakan. Kebaikan hatinya tanpa sadar telah menyentuh hatinya. Daya tarik pada lelaki itu tanpa sadar membuat hatinya bergeser. Dia pun semakin bertekat, selalu berada di sisinya selama dirinya masih hidup. Kecuali ada kejadian tertentu membuatnya harus meninggalkannya. Kemudian sore pun telah tiba, sudah saatnya bagi Fadil untuk tutup. Kursi panjang dia masukkan kembali ke dalam, lalu ia mengecek persediaan sembako untuk di jual esok hari.

Gadis itu membantu membersihkan seluruh bagian dalam warung. Fadil pun sempat menolaknya, namun Sarah bersikeras untuk membantu. Berkat bantuannya pekerjaan Fadil menjadi ringan, rasanya ia memiliki seorang fatner dalam bekerja. Kini dia bingung tempat dimana Sarah untuk tidur. Dia tak bisa bilang begitu saja, pada kedua orang tuanya bahwa dia harus tidur di rumah tanpa alasan yang jelas.

"Apa yang kamu sedang pikirkan?" Tanya Sarah melihat raut wajah Fadil yang sedang kebingungan.

"Aku bingung dimana kamu akan tidur."

"Jangan khawatir, aku bisa tinggal sementara di dalam warung. Lagi pula tempat ini cukup luas untukku."

"Tidak. Kamu tidak akan kubiarkan tidur disana. Tempat itu sangat pengap dan gelap, meskipun kamu berasal dari kayangan sekali pun. Kamu pasti tidak akan kuat."

"Lalu dimana aku harus tidur?"

"Dirumahku. Aku akan mencari cara agar kamu bisa masuk ke dalam tanpa di ketahui keluargaku."

"Soal itu jangan khawatir, aku akan menggunakan ajianku untuk menghilangkan wujud dan aura keberadaanku kecuali kamu," timbalnya meyakinkan Fadil.

Sesampainya di rumah, Sarah pun berkonsentrasi lalu menepuk kedua tangannya sendiri. Secara perlahan bayangannya mulai menghilang, wujudnya pada cermin mulai tak nampak. Gadis itu menjelaskan kepada Fadil, bahwa meskipun wujudnya tak terlihat ia tak bisa menembus tembok layaknya hantu. Kemudian Fadil membukakan pintu, lalu mempersilahkan dirinya untuk masuk. Suasana di rumah cukup sepi, hanya ada Ayahnya di dalam kamar sedang beristirahat.