Chereads / Nisekai / Chapter 6 - Bunga mimpi

Chapter 6 - Bunga mimpi

Dua minggu telah berlalu, ia terbaring di atas kasur. Rasa duka masih menyelimuti dirinya. Air mata kembali menetes ketika mengingat momen bersama Sang Kakek.

Lambat laun, rasa kantuk telah merasuki dirinya. Fadil pun tertidur. Ketika membuka kedua mata, dia berada di sebuah tempat yang di penuhi oleh cahaya, serta hamparan rumput hijau yang luas.

Sosok gadis berambut panjang dan memakai mahkota berdiri di hadapannya.

Gadis itu memiliki sorot mata hijau yang menawan, kulitnya yang mulus dan memancarkan cahaya. Tubuhnya yang aduhai, memakai baju kebaya sama persis seperti action figur yang ia temukan.

Dia pun tersenyum manis kepadanya, lalu ia berjalan mendekatinya yang masih di selimuti oleh rasa duka.

"Ayo ikut aku," ajak sosok tersebut.

Ia menganggu lalu mengikuti gadis itu. Gadis itu menggenggam tangan dan menuntunya pada sebuah pohon besar yang rindang. Mereka berdua duduk di bawahnya, sembari sejuknya angin.

"Aku turut berduka cita atas kepergian Kakekmu," ujar gadis itu sembari menatap simpati.

"Terima kasih, aku tidak menyangka akan kehilangan kakekku secepat ini. Padahal aku ingin dia melihat diriku berhasil mewujudkan impianku."

"Aku yakin kamu dapat mewujudkannya."

"Thanks. Ngomong-ngomong kamu siapa?"

"Perkenalkan, namaku adalah Sarah. Aku berasal dari Negeri Kayangan," ujarnya lalu Fadil bertanya, "Negeri Kayangan?"

"Sebuah negeri ajaib di atas awan", jawab Sarah lalu ia bertanya, " Kalau kamu?"

"Fadil, salam kenal."

Gadis itu, menggeser tempat duduknya. Tiba-tiba saja memeluknya, membuat Fadil terkejut. Kehangatan tubuhnya mulai ia rasakan, seketika raut wajahnya memerah serta jantungnya berdegup kencang.

Padahal ia tau bahwa ini adalah mimpi, tapi entah mengapa rasanya seperti nyata. Kemudian gadis itu memegang kepalanya, lalu menuntunya kepala pemuda itu bersandar di atas pahanya. Sarah pun mengusap kepalanya, sembari memberikan senyuman manis kepadanya. Fadil pun merasa sangat nyaman, ia pun membalas senyumannya.

"Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Lebih baik, kamu doakan agar beliau tenang di alam sana."

"Iya," jawabnya dengan singkat.

"Semangat, hari barumu telah menanti."

Fadil membalas pelukannya, Sarah pun sedikit terkejut membuat dirinya tersipu malu. Tetesan air mata, mulai ia rasakan pada punggungnya lalu ia mengusap punggung Fadil secara perlahan. Pelukannya membuat Fadil merasa nyaman.

Pemuda itu ingin terus merasakan kehangatan lebih lama.

Suara alarm ponsel miliknya telah berbunyi, kehangatan pun telah berakhir. Kemudian dia menepuk wajahnya, sembari meratapi nasib.

Sudah dua kali ia kenyamanan, bersama seorang gadis namun semua itu hilang dalam sekejap. Dia pun memandang wajahnya pada sebuah cermin, dengan sedih akan status jomblonya.

"Gadis itu cantik sekali! Andai ia itu nyata dan ada di sini. Aku ingin mencium dan memeluknya begitu lama. He.he.he!" Ujarnya sambil memandang cermin lalu menjulurkan lidahnya.

Begitulah sisi lain dari Fadil, pemuda jomblo menginginkan belaian seorang wanita. Sebuah notifikasi pesan mulai terdengar. Dia mengambil ponselnya di atas lemari plastik tepat di samping pintu.

Rupanya orang yang mengirim pesan adalah Dimas, ia ingin berkunjung rumahnya hari ini. Kemudian dia membalas, bahwa dia menunggu kedatangannya. Suara ayam berkokok jelas terdengar, sudah saatnya dia beranjak dari tempat tidurnya.

Pemuda itu berjalan, memenuhi panggilan alam lalu ia berjalan keluar dan duduk di sebuah bangku terbuat dari kayu. Setelah itu dia duduk bersila, meletakkan kedua tangannya di atas dua ujung paha dan kedua matanya pun terpejam. Dia pun berkonsentrasi sembari berzikir, lalu ia mengatur nafasnya.

Titik cahaya mulai terlihat, darah hangat yang mengalir ke seluruh tubuhnya mulai ia rasakan. Gumpalan energi supranatural, pada kedua tangan dan kakinya mulai ia rasakan. Rasanya seperti lumpur hangat yang menutup kedua tangan dan kakinya.

Semakin lama dia berkonsentrasi, tanpa sadar tubuhnya memancarkan energi. Bagaikan sensor, dia dapat mengetahui posisi burung yang sedang bertengger di atas pohon serta berbagai aktivitas kehidupan sekitarnya termasuk makhluk tak kasat mata. Kedua matanya terbuka, dan ia pun sedikit terkejut dengan sensasi yang baru dia rasakan.

Kemudian dia mengatur nafasnya, sembari menenangkan diri. Tak berlangsung lama Ibunya keluar dari rumah. Di kedua tangannya, Ibunya Fadil memegang ember berisi cucian basah.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ibunya.

"Menghirup udara segar," jawabnya.

"Dari pada duduk seperti itu, lebih baik kamu berolahraga."

"Iya bu," ujarnya sembari bernjak dari tempat duduknya.

Dia pun berjalan ke gudang, tepat berada di samping rumahnya lalu mengambil sepedah. Kemudian dia mulai menggoes sepedahnya, mengelilingi Desa Kenanga. Sepanjang perjalanan, dia melihat berbagai aktivitas masyarakat setempat.

Ada yang sedang menyapu halaman, juga ada yang bersiap-siap untuk pergi ke sawah. Keramahan mulai ia rasakan ketika warga sekitar menyapanya dengan ramah. Dia pun membalas dengan sebuah senyuman, lalu melanjutkan perjalanannya berkeliling Desa.

Sepanjang perjalanan, dia melihat pesawahan membentang luas. Angin pagi mulai berhembus, serta sinar mentari memancarkan sinarnya. Burung-burung berkicau, menyambut indahnya pagi lalu mereka semua berterbangan untuk mencari makan.

Musang dan beberapa burung puyuh, terlihat menyeberangi jalan. Para petani mulai membajak sawah, ada juga beberapa diantara mereka sedang menebar pupuk. Sekilas dia teringat kembali dengan Sang Kakek.

Waktu kecil kakeknya sering mengajak Fadil dan Tina pergi ke sawah. Mereka bertiga menaiki sebuah sepedah ontel. Kemudian mereka bertiga, mancing bersama di pinggir sungai.

Terkadang mereka mendapatkan ikan dan terkadang juga tidak. Namun semua itu berakhir dengan tawa. Mengingat hal itu, membuat Fadil merasa rindu pada Sang Kakek.

Dia pun tersenyum menatap ke depan sembari mengirimkan doa agar beliau tenang di alam sana.

Nafasnya mulai ngos-ngosan, jantungnya berdetak begitu kencang dan keringat mulai menetes membasahi jalan. Sudah lima kali dia berkeliling Desa, melihat kehidupan warga membuat dirinya sedikit terhibur.

Puas bersepedah, ia pun mengayuh sepedahnya kembali pulang.

Sesampainya di rumah seperti biasa, ia membantu kedua orang tuanya mengurusi warung sembako. Berbagai macam minuman telah ia masukkan ke dalam kulkas, kardus sudah tertata rapih.

Makanan ringan di gantung dengan rapih, lalu para pelanggan pun mulai berdatangan.

Mayoritas dari mereka, membeli rokok dan roti untuk di bawa ke sawah. Ada juga beberapa anak kecil, membeli makanan ringan untuk mereka nikmati di sekolah.

Hari ini adalah hari yang sibuk, Fadil terus melayani pelanggan tanpa duduk sedikit pun. Beberapa remaja berdatangan untuk membeli pulsa.

Terkadang dia harus mengantar gas ke rumah Si Pemesan.

Dengan senang hati ia melayaninya, walau ia merasa lelah. Tak terasa waktu sudah tengah hari, Dimas pun baru saja sampai.

Fadil pun mempersilahkan temannya untuk masuk, lalu Dimas menuntun motornya memasuki halaman.

Kemudian mereka berdua duduk di bawah pohon sawo dengan beralaskan tikar. Sinar mentari bersinar dengan teriknya, angin berhembus sepoi-sepoi.

Ayam kampung mulai melintas, semut-semut bekerja dengan gigihnya. Di atas karpet terdapat cemilan pedas dan minuman dingin, lalu Dimas pun mengambilnya untuk di nikmati.

"Piknik di siang bolong, ternyata nikmat juga." Kata Dimas.

"Apalagi di temani minuman bersoda dingin, and seblak."

"Ngomong-ngomong setelah lulus, elu mau kemana bro?" tanya Dimas.

"Rencananya setelah lulus gue kuliah bro, tapi kalau bisa sambil kerja."

"Memangnya kamu ada incaran mau kuliah dimana?"

"Rencananya gue ambil Universitas Padjajaran, UGM dan UNY."

"Wah kampus kelas berat, semoga di terima SBMPTN-nya."

"Kalau elu?"

"Sama pingin ke Universitas Padjajaran, cuman pilihan kedua dan ketiga. Gue ambil UPI sama UNSIKA. By the way, sudah ada persiapan untuk menghadapi SBMPTN?"

"Belum," jawabnya dengan singkat.

"Mumpung gue masih kost, gimana kalau kita belajar bareng?"

Mendengar tawaran Dimas, membuat Fadil sangat senang lalu dia pun menerima tawarannya untuk belajar bersama. Perbincangan pun telah berganti, kini mereka berdua mulai membicarakan beberapa serial anime keluaran terbaru. Fadil pun sangat bersemangat, membicarakan hal yang dia suka, terutama anime bergenre harem dan romantis.

Dimas menatap aneh temannya, ketika dirinya sangat berantusias serta berandai-andai berperan sebagai salah satu tokoh utama anime bergenere harem.

Dia berpikir, bahwa apa yang di bayangkan oleh temannya sudah melampaui batas. Rasanya dia seperti berbicara dengan orang yang mengalami gangguan jiwa.

Namun asal ia bahagia, bagi Dimas itu tidak masalah. Dalam lubuk hatinya, ia berdoa agar sahabatnya bisa mendapatkan seorang pacar, dan kembali normal seperti sebelumnya.

Tak terasa hari sudah menjelang sore, sudah saatnya bagi Dimas untuk kembali ke kosan. Dia pun pamit kepada Fadil beserta keluarganya, lalu ia melaju kembali pulang.

Fadil mulai membereskan tikar, serta sampah yang tergeletak di atas tanah. Selesai membersihkan halaman, dia pun berjalan masuk ke dalam rumah. Dia memikirkan apa yang di katakan sebelumnya pada dimas.

Sejujurnya ia masih bimbang akan pilihannya sendiri, namun dia putuskan untuk nekat.

Sebab dia tau bahwa nasib seseorang tidak ada yang mengetahui kecuali Tuhan. Dia bercerita akan pilihannya untuk berkuliah. Kedua orang tuanya merasa senang, atas keinginan anaknya untuk berkuliah. Mereka berdua, memberi semangat pada anak pertamanya, agar berjuang dalam menghadapi SBMPTN. Maka di saat itu juga Fadil pamit masuk ke dalam kamar, lalu ia membuka buku dan melakukan persiapan dalam menghadapi SBMPTN.

Satu bulan telah berlalu, selama satu bulan Fadil dan Dimas melakukan belajar bersama. Sorot mata menatap buku dengan raut wajahnya yang serius. Setiap kali dia mengalami kesulitan, dengan senang hati Dimas pun membantu semampunya.

Hari ini adalah hari terakhir mereka belajar bersama, sebab besok ujian akan berlangsung.

Tidak terasa sudah semakin sore, sudah saatnya bagi Fadil untuk kembali pulang. Dimas pun menawarkan agar dirinya menginap di kosan, namun dia menolak tawarannya. Dia lebih memilih untuk kembali pulang.