Elisa mengerti apa yang Fadil maksudkan. Peri itu, hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Sesuap demi sesuap makanan, masuk ke dalam mulut mereka semua. Kelezatan makanan, mulai mereka rasakan pada setiap gigitan. Jam dinding terus berdetak, seolah menjadi saksi percakapan mereka berempat. Setiap kali dia mengunyah makanan, dia tertunduk lesu. Kedua matanya tak berkedip memikirkan Sang Ayah.
Perlahan, dia berhenti mengunyah makanannya lalu meletakkan piring masih tersisa nasi separuh di atas lantai. Sarah, Luna dan Elisa terdiam memandanginya dengan cemas. Mereka bertiga perlahan ikut berhenti menikmati makan malam.
"Ada apa sayang, kenapa makananmu tidak dihabiskan?" tanya Luna, gadis berambut putih memandanginya dengan cemas.
"Aku sangat mencemaskan ayah. Melihat para bajingan di tempat ayahku bekerja, membuatku tidak tenang," jawab Fadil memandang mereka bertiga tepat dihadapannya.
"Aku juga mencemaskan ayah. Jadi apa rencanamu, sayang?"