*
*
*
Bukan salahnya kalau Rey selalu mendebat Ayahnya.
Pria tua itu bahkan tak peduli pada Rey apalagi keinginan putranya. Yang menjadi fokusnya hanyalah jabatan juga kemajuan perusahaan.
Memang seberapa penting perusahaan kecil itu sampai Ayahnya mati-matian menggusur asa yang sudah Rey rancang sejak kecil?
Syukurlah, Rey kini hidup dengan bebas dan mengerjakan sesuatu yang disenanginya.
"Enggak, Bang, perusahaan Ayah itu bukan sekadar sarang tikus kek yang lo sebut-sebut itu."
"Perusahaan itu juga gak sepenting yang lo gembar-gemborin itu," Rey membalas.
"Kalo gak penting, Ayah gak bakal sekeras ini sama lo."
Rey benci tatanan ini. Terlahir sebagai anak sulung benar-benar membelenggunya. Tidak, bukan kelahirannya yang memposisikan Rey seperti sekarang, namun aturan tak tertulis di keluarganya itu.
Tak harus anak sulung. Adik Rey yang duduk di depannya ini jauh lebih ideal.
Dia cerdas, ulet, bijksana dan kreatif. Benar-benar harapan besar untuk seorang pemimpin. Termasuk untuk memimpin perusahaan Ayah mereka ーRey terlalu berlebihan tentang perusahaan itu yang mirip sarang tikusー di kemudian hari.
Ansel Adhitama, adik Rey yang sangat suportif, justru mendukung penuh kakaknya menjadi penerus bisnis keluarga alih-alih mengajukan dirinya.
Lingkaran setan ini harus diputus.
"Ayolah, Bang. Lo bisa jadi presdir sambil kerja serabutan sebagai komikus," celetuk Ansel. "Lo bilang menggambar adalah hidup lo. Kalo gitu jadilah pemimpin perusahaan, hasilin banyak uang, terus pake uang itu buat majuin seni rupa di Indonesia ini," lanjutnya.
Perkataan Ansel sedikit mengusik prinsip Rey dan membuatnya tersenyum. "Lo selalu bijak seperti yang diharepin. Kenapa gak lo aja yang ambil alih perusahaan terus kasih gue nafkah seumur hidup buat majuin seni rupa di Indonesia?" balas Rey.
Karena mau bagaimana pun juga, Rey adalah seniman Indonesia. Menafkahi Rey sama dengan kiat memajukan pesona seni rupa Indonesia.
Ansel menggeleng-geleng. Dia terkekeh bersama kakaknya setelah beberapa candaan ringan lainnya.
"Omong-omong, gue mau minta maaf."
Ansel hampir tersedak minumannya ketika mendengar ungkapan kakaknya barusan. "Gue belom mau mati Bang."
"Permintaan maaf ini gak akan membunuhmu. Denger, Sel, gue bener-bener gak suka bikin lo dan Ibu merasa gak nyaman dengan konfrontasi gue sama Ayah. Gue bingung harus gimana setelah gue selalu diam sejak dulu."
Ansel dapat melihat rasa bersalah dalam manik sendu kakaknya. Hidup mereka memang berat meski sepanjang jalan mereka tak kekurangan apapun.
"Gue minta maaf karna bikin lo dan Ibu merasa gak nyaman."
Ayah sangat keras pada mereka berdua. Tapi Ansel merasa kalau Ayah jauh lebih tegas pada Rey. Sejak kecil Rey selalu ditimpa banyak aturan dan tuntutan, tidak dibiarkan bebas seperti kebanyakan anak, serta harus hidup mengikuti wadah yang sudah dibuat oleh Ayah.
Ibu juga merasa sedih karena tak bisa berbuat banyak untuk melunakkan hati Ayah. Karena itu Ibu sering menangis.
Yah, Ansel berpikir jika minggatnya Rey adalah keputusan ternekat dan terbaik yang kakaknya pilih sejauh ini.
"Gue merasa terhormat kalo bisa bantuin lo, Bang," ucap Ansel tiba-tiba.
Rey tersipu mendengarnya. Dia lalu terkekeh dan berkata, "Lo sebenernya udah tau harus lakuin apa biar bisa bantu gue, udah tau sejak tadi malah."
"Anjirlah." Ansel melempar tawa yang cukup keras. Memenuhi seisi kafe.
*
*
*
Hm? Ada apa gerangan yang membuat perempuan itu menelpon Rey berkali-kali?
Rey lupa menonaktifkan mode senyap ponselnya. Dia menelpon balik perempuan itu.
Panggilan tersambung.
"Rey!"
"Iya."
"Kamu kemana aja sih? Aku dari tadi nelpon, tauk!"
"Ada apa?"
"Ish, jawab dulu kek."
Rey menghela napasnya sejenak. "Aku ada urusan sama Ansel tadi," jawabnya.
"Oh, gitu. Aku nelpon karna aku punya kabar buat kamu."
Rey diam menunggu dia untuk melanjutkan ucapannya. Namun Rey justru kena semprot.
"REY! Tanyain kek, masa nunggu doang?!"
Huft. Sabar. "Kabar apa?"
"Kabar yang mengejutkan! Hihihi."
"Contohnya?"
"Ish, dasar cowok kutub! Aku bakal ke Indonesia dua hari lagi. Kamu bisa ketemu aku sampe bulan depan sebelum aku balik ke London."
"O-oke." Rey menutup sepihak sambungan telepon lalu berbalik dan mengusap dadanya.
Ya, yang tadi itu benar-benar mengejutkan.
*
*
*
Rey masih berdiri di tempat, memandang seorang wanita dengan tatapan lembut.
Rey tengah berada di apotik sebuah klinik. Dengan jaket hitam, celana panjang hitam dan sandal jepit yang juga hitam dia menenteng plastik berisi obat-obatannya.
Klinik ini tak jauh dari apartemen namun cukup jauh dari mansion. Sungguh kebetulan yang mencurigakan melihat Ibu ada di apotik ini.
"Ibu ada apa di sini?" Rey menghampiri Ibunya.
Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum. Dia menyempatkan mengelus lengan putranya yang dibalut kain jaket.
"Ibu ... selalu ngawasin Rey."
Ya. Ya. Ya. Beberapa ajudan Ayah yang kedapatan mondar-mandir di depan parkiran apartemen sejak siang tadi memunculkan praduga Rey. Dirinya memang diawasi.
Bahkan setelah Ayah bilang tak akan mencampuri urusan Rey, beliau tetap mengirim bawahannya untuk memantau Rey jika saja Rey melakukan hal yang tak sesuai aturannya.
Sentuhan dingin di punggung tangan Rey membuyarkan pikirannya. "Iya, Bu?" Rey tersenyum ringan.
"Kamu makan dengan betul, 'kan? Ah, itu ... di hunian barumu kan gak ada pembantu, gimana kamu makan?"
"Ibu gak perlu khawatir. Memangnya untuk apa Rey minta dibikinin dapur di kamar kalo bukan untuk saat-saat begini?"
Air muka Ibu yang sayu kini berhias senyum tipis yang tulus. "Ibu akan rutin kirim kamu makanan," ucapnya. Dia tahu betul meski Rey punya dapur sendiri, putranya ini tak pernah memasak makanan yang layak makan. Rey tak punya bakat mengolah pangan.
Ah, Rey jadi teringat sesuatu. Mumpung Ibu bersamanya, Rey ingin menanyakan sesuatu.
"Bu," panggil Rey.
"Kenapa?"
"Apa Ibu sama Ayah masih berhubungan sama ... Diane?"
Ibu terlihat bingung. "I-iya. Memang kenapa?" Ibu merasa heran Rey tiba-tiba menanyakan ini.
"Ibu tau kalo Diane bakal ke Indonesia lusa?"
Eh? Ibu langsung menggeleng. "Enggak, Ibu sama sekali gak tau, Ayah juga gak cerita. Kamu ... tau dari dia langsung?"
Rey mengangguk.
Astaga, bagaimana Ibu bisa tidak tahu? Selama ini, sebelum sampai pada Rey, Diane akan lebih dahulu menceritakan segalanya pada Ibu. Bahkan Ibu-lah yang pertama kali memberikan ide untuk menjodohkan Diane dengan Rey.
Tapi Ibu menghentikan perjodohan itu. Rey terlihat tidak suka, Ibu juga tak mau memaksa. Dia hanya ingin agar Rey memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Sayangnya, Ibu tak bisa menemukan itu dalam diri Diane.
Wajah Ibu sedikit dia condongkan ke telinga Rey. Ibu sedikit berbisik, "Dia gak bilang macem-macem sama kamu, 'kan?"
Rey langsung terkekeh. "Tenang aja, Bu. Dia gak begitu."
"I-iya."
Begitulah pertemuan mereka. Rey akhirnya mengantar Ibu sampai ke mobilnya, lalu berpamitan.
*
*
*
Toko yang ada di perbatasan kuburan-pemukiman mendadak hilang.
Itu kasus kehilangan yang pertama.
Radit sebagai pemilik seluruh cabang toko itu langsung ditodong banyak pertanyaan dari wartawan.
Bersambung ...
"Astaga, kemana sih kok gak dilanjutin?" keluh seorang gadis.
Gadis itu menaruh asal ponselnya ke atas kasur, lalu menindihnya. Dia membenamkan wajahnya di bantal.
"Aaaaaah ini udah hari minggu, kenapa gak up juga?" keluhnya lagi.
Lily Soraya, mahasiswi semester empat jurusan Psikologi di sebuah universitas di Jakarta yang genap berusia 20 tahun, tengah bergalau-ria menghadapi kenyataan bahwa komik horor favoritnya belum ada episode lanjutan.
Hari ini adalah tenggat, biasanya diunggah pukul 10 malam, namun sudah ngaret 1 jam masih belum ada pemberitahuan.
"Kasih tau kek kalo nangguhin deadline. Bikin feed Instakram kek, status Facevook kek, kalo gini mah serasa di-PHPin," lanjutnya mengeluh.
Selang beberapa menit, Lily langsung bangkit dari rebahannya. Dia menatap serius pada laptopnya yang masih terlipat di atas meja. Segera Lily duduk di dekat meja itu dan menyalakannya.
Dia meraih ponselnya. "Gue masih nyimpen alamat surel authornya," ujarnya.
Kepalsuan ini tak bisa dibiarkan. Apa yang akan dikatakan Radit pada wartawan? Lily harus segera mendapat episode lanjutan itu meski dia harus mengirim email teror berantai pada Black Hole.
Sebagai pembaca setia dan selalu menulis komentar, rasanya seperti dicampakkan ketika berada di situasi begini. Black Hole harusnya lebih kompeten dan komitmen dalam komik buatannya. Dia harus mengunggah tepat waktu! Jika tak bisa, Black Hole sekurang-kurangnya harus memberi kabar dan alasan.
"Apakah lo gak bersyukur punya pembaca yang jadi alasan lo bisa kaya raya kek sekarang?" Murka Lily semakin menjadi.
Dia segera membuka web Uebtoon melalui laptop dan berkomentar pada episode terbaru meski waktu itu dia sudah berkomentar.
Yah, kemungkinan Black Hole akan mengabaikannya, tapi setidaknya Lily bisa menyalurkan emosinya.
Bisa gak lo cek email dari gue? Dari lisoya27@gmail.com?
Lo kudi baca!
Lily beralih ke ponselnya. Dia mulai menulis email untuk Black Hole dengan amarah yang membara.
Tak!
Lily meletakkan ponselnya di meja setelah selesai menulus surel. Dia langsung mendarat ke tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
BERSAMBUNG.