Chereads / I Have Kissophrenia / Chapter 4 - 03 | Diterima dan Dipanggil

Chapter 4 - 03 | Diterima dan Dipanggil

*

*

*

Lahir dan besar di lingkungan kelas atas membuat Rey tak punya banyak teman.

Ayahnya seorang pengusaha kaya dan ibunya seorang seniman terpandang. Keluarga Rey bahkan punya hubungan darah dengan bangsawan Kerajaan Norwegia. Fakta-fakta tersebut mendukung kenyataan dimana Rey benar-benar sukar untuk didekati.

Orang-orang dari kalangan biasa yang mencoba berteman dengan laki-laki pendiam itu harus menerima berbagai perlakuan buruk pengawal-pengawal menakutkan di bawah titah si pengusaha. Pria arogan itu sangat ketat terhadap pergaulan Rey, hanya orang-orang terseleksi saja yang bisa berteman dengan putranya. Beliau bersikeras membangun dinding pemisah antara Rey dengan makhluk-makhluk yang berpotensi menurunkan kualitas dirinya.

Tapi dia tak sadar justru karena perbuatannya itu Rey jadi tak punya seseorang untuk dijadikan teman.

Sejak kecil selalu diatur dan dituntut, Rey jadi begitu patuh pada orangtuanya.

Rey seolah tak hidup sebagai dirinya.

Dirinya berparas tampan, uang jajan yang melimpah, serta tempat tinggal yang megah, tapi lagi-lagi semua itu tak mampu menutup kebutuhan Rey akan pergaulan yang normal.

Kini Rey tumbuh sebagai pemuda tampan berusia 25 tahun yang sangat tertutup.

Menorehkan bakatnya sebagai komikus terkemuka yang tersembunyi identitasnya, Rey mencoba mencari kebahagian dari itu semua.

Pelariannya secara nekat dari rumah tempo hari diharapkan menjadi titik balik Rey dalam menemukan kebahagiaan dirinya.

Sesekali dia perlu menentang ayah, 'kan?

*

*

*

Bisa gak lo cek email dari gue? Dari lisoya27@gmail.com

Lo kudu baca!

"Email iseng?" Rey menggumam heran. Kendati demikian dia tetap membuka surel yang masuk.

Butuh beberapa saat baginya untuk menemukan surel itu yang mulai tenggelam. Rey membuka dan membacanya.

Yth. Bapak/Ibu Lubang Hitam

Saya, Lisoya, selaku pembaca SETIA komik Haunted Store yang maha mengagumkan, ingin menyampaikan pertanyaan Saya yang mungkin mewakili segenap Hastolovers, yakni;

1. Kenapa minggu ini Haunted Store kagak up?

2. Kenapa Haunted Store versi cetak lambat bener nyusulin bab terbaru di Uebtoon?

3. Lo, Authornya, cowok apa cewek?

Sekian!

Eh, ada lagi.

Gue ... mungkin mau bantuin lo kerja. Kasih gue kerja yang bisa sambil liatin lo bikin tiap episode Haunted Store, dong.

Rey terdiam dan berekspresi aneh selepas membaca surel tersebut. Sebelumnya dia tak pernah mendapat pesan seperti itu dari penggemarnya.

Oh, Lisoya itu menggemari atau membenci Rey sebenarnya?

Sebenarnya Rey juga merasa tak enak. Dia melewatkan perilisan episode terbaru Haunted Store. Dia sudah berjanji padahal dengan Kepala Manajer bahwa Rey akan menandaskan tugasnya minggu ini.

Tapi karena skizofrenianya kembali kumat, konsentrasi Rey jadi buyar. Padahal dia sudah memetakan idenya untuk tugas seminggu yang akan dia kerjakan dalam dua hari. Tapi yah, dia lupa mengantisipasi penyakitnya.

Melupakan sejenak tentang surel aneh itu, Rey menyempatkan meregangkan otot badannya. Kembali pada laptopnya, dia mengetik balasan untuk Lisoya.

Pria itu sesekali terkekeh ketika menyelesaikan tiap kalimatnya. Setelah tertulis semuanya, dia langsung mengirimkan balasan untuk Lisoya.

Ini nomor gue 08XXXXXXXXXXX

Salah satu alis Rey terangkat, tak menyangka Lisoya memberi balasan secepat ini, bahkan memberikan nomor ponselnya.

Rey menimbang sebentar. Yah, mungkin ini hanyalah orang iseng, apa tak masalah menghubungi Lisoya?

Tapi ... Rey juga sedikit memikirkan tentang asisten yang mungkin bisa meringankan pekerjaannya.

"Lisoya pengin liat Haunted Store dibikin, sejauh ini fans gue penginnya tau alur Haunted Store doang," Rey bermonolog.

"Apa dia punya pengetahuan tentang desain grafis?" Rey mungkin akan mempekerjakannya sebagai asisten dan menggambar beberapa detail serta background jika saja orang itu mampu.

Ponselnya ada di atas meja di sampingnya. Rey meraihnya lalu mulai menekan nomor orang itu untuk disimpan.

Baru Rey simpan. Dia juga harus menimbang-nimbang untuk menghubunginya atau tidak.

"Astaga, gue harus kirim chat." Rey sudah sejauh ini. Dia akan menanyakan apakah orang itu bersungguh-sungguh.

Hey

Kau Lisoya?

Iye

Kau menguasai pengetahuan

dasar tentang menggambar?

U know? Gue hampir

ambil jurusan DKV kalo

ortu gue gak protes

waktu itu

Artinya ... gue bisa

nggambar lah!

Rey sedikit tergelitik membacanya. Benarkah ini? Dia sungguh tak sangka orang ini benar-benar terbuka dan punya ilmu tentang seni rupa.

Rey harus memberinya pekerjaan yang dia inginkan.

Sejenak Rey tertawa dulu, meluapkan suasana hatinya, lalu dia mengetik pesan lagi.

Kau akan dapetin pekerjaan

Heh? Pekerjaan?

Kapan gue minta?

Kau batal melamar?

Gue masih kuliah

Kau gak mau jadi

asisten komikus?

Ekspresi Rey terlihat rumit. Bukannya Lisoya menginginkan pekerjaan darinya? Dan dia bilang kalau dia masih kuliah, bukan jurusan DKV, 'kan?

Cukup lama Rey menunggu balasannya. Akhirnya Lisoya mengirimkan stiker kucing dengan ekspresi kaget.

Astaga ...

Lubang Hitam?

Black Hole sih

Beneran kan?

Maksud gue, beneran

kan lo authornya Haunted Store?

Entar ngibul dah

Kafe Kertas

Besok ketemu di sana

pukul empat sore

Kagak ngibul kan lo?

Eh, lo cowok apa cewek?

Boleh gue screenshot

gak chat ini?

*

*

*

Pukul 15.30 di Kafe Kertas

Sebuah meja bundar di sudut ruangan, dekat dengan jendela yang menghadap ke area parkir di depan, seorang gadis duduk dengan secangkir kopi di hadapannya.

Mengenakan jeans hitam, blus peach lengan pendek, tas selempang dari rotan, dia adalah Lily Soraya. Seorang gadis muda yang tengah menunggu calon atasannya datang.

Yah ... Lily benar-benar bersemangat untuk ini.

Pekerjaan ini akan jadi kegiatan bermanfaat yang dia kerjakan sambilan dengan kuliahnya. Upah yang Lily dapat nantinya juga akan sangat bermanfaat untuk dirinya melunasi tagihan kuliah.

Ini mungkin berlebihan untuk pertemuan kecil yang dijanjikan pukul 16.00 WIB.

Sekarang 30 menit lebih awal dari kesepakatan.

Lily benar-benar bersemangat soalnya.

Ketika tengah menyesap minumannya, perhatian Lily teralih pada pengunjung yang baru tiba. Sosok itu begitu menawan dengan setelan pakaian modis yang membungkus tubuh idealnya. Tampak perempuan itu tengah tergesa-gesa terlihat dari tatapan matanya yang memindai seluruh bagian kafe ini.

Tatapannya terhenti pada meja dimana Lily duduk. Langkahnya terburu-buru menghampiri Lily.

"Kamu ngapain di sini?" tanya perempuan itu setibanya.

Air muka Lily semakin menampakkan keheranan. "Emang ... kenapa?" Lily yakin dia tak mengenal orang ini.

"Apa kamu yang ada janji ketemuan sama Rey? Rey Adhitama itu?" tanya perempuan itu lagi.

Lily meringis. Dia benar-benar tak tahu apa yang orang ini bicarakan. "Salah orang?"

Perempuan itu menegapkan badannya sambil menggebrak meja lumayan keras yang cukup membuat Lily benar-benar terperanjat. "Shit! Orang itu pasti belum dateng!" keluhnya.

Tak lama dia pun berlalu meninggalkan Lily yang keheranan menyimak langkahnya menjauhi kafe. Mengedikkan bahu acuh, Lily kembali menyesap minumannya sambil sedikit memikirkan kejadian barusan.

*

*

*

Kaya sejak lahir membuat putra-putra Adhitama tak punya banyak pilihan untuk mencari kegiatan yang bisa memperkaya diri.

Sekalinya meraih prestasi, uang yang mereka dapatkan tak bisa mendekati pendapatan bulanan yang keluarga mereka peroleh dari perusahaan.

Pelan namun pasti, Ansel mulai paham mengapa Ayah sangat menginginkan kakaknya menjadi pribadi yang kompetitif dan berjiwa bisnis.

Tapi manusia ya manusia, hidup mewah namun terikat bukanlah hal yang bisa disebut menyenangkan.

Ansel tahu, Rey takkan mendapat sedikitpun kebahagiaan meski banyak uang sudah dia hamburkan untuk menghibur diri. Rey adalah pemuda yang terkekang sejak kecil, harapannya adalah lepas dari kekangan itu. Dipenuhi barang-barang mewah yang tak berarti membuatnya tak punya minat untuk memiliki barang yang lebih mewah lagi.

Karena semua itu tak berarti baginya.

Ansel tersenyum ketika memikirkan kehidupan baru Rey di sebuah apartemen kecil. Dia benar-benar bersyukut atas kakaknya.

Ponselnya berbunyi ketika Ansel ingin menepikan mobilnya ke depan toko swalayan. Ansel mengangkat telepon itu setibanya di lahan parkir.

"Iya, Bang?"

"Sibuk, gak?"

"Ada urusan setelah ini tapi ada juga waktu luang sekarang."

"Lagi di jalan, ya? Boleh gue minta tolong?"

"Apa aja boleh."

"Diane lagi di apartemen sedangkan gue punya janji ketemuan sama calon asisten. Dia 20 menit lagi di Kafe Kertas, Diane baru aja pergi ke sana, lo susulin gih. Kalo ketemu calon asisten gue, bawa langsung ke apartemen jangan sampe Diane tau."

"Lo ... gak lagi kambuh, 'kan?" Ansel heran mengapa tidak Rey saja yang ke sana, padahal Diane sudah pergi.

"Dia perempuan namanya Lisoya. Lo bawa dia deh pokoknya."

Panggilan diputus sepihak oleh Rey.

Ansel menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kelakuan sang kakak. Dirinya masuk ke toko swalayan itu sebelum pergi ke kafe kertas. Masih ada waktu 20 menit seperti yang Rey katakan.

*

*

*

Kopi Lily sudah tandas tegukan terakhirnya. Apa dia perlu memesan lagi supaya bisa duduk di sini lebih lama?

Menunggu karena datang lebih awal adalah hal melelahkan yang baru saja diketahuinya. Sepenuhnya tak ingin menyalahkan diri, Lily hanya terlimpahi antusiasme, dia datang lebih cepat dari yang dijanjikan. Menunjukkan bahwa pekerjaan baru ini ーatau Si Lubang Hitam ituー sangatlah dia nantikan.

Matahari kian meninggi, sinarnya merayap ke meja-meja kafe lebih dalam ketika seorang pemuda membuat bel pintu bergoyang.

Pemuda tersebut celingukan dengan tangan kiri masih memegang gagang pintu. Pandangannya berakhir pada seorang gadis dengan tatapan polos di ujung dekat jendela kaca yang besar ーLily Soraya.

"Asistennya abang gue?" terka pemuda itu setibanya di depan si gadis.

Pasti dia adalah adik Black Hole. Pernyataannya barusan menjelaskan hal tersebut.

Kepala Lily mengangguk samar. Dia menjawab dengan ragu, "I-iya." Berharap pemuda ini tak salah orang.

"Abang gue lagi ada sedikit masalah. Dia minta gue bawa lo ke tempatnya." Pemuda itu melongok ke arah area parkir. "Lo bawa kendaraan?"

Lily menggeleng. Dia naik angkutan umum tadi.

"Gue bawa mobil. Lo naik mobil gue aja."

*

*

*

Pemuda ini cukup santai pembawaannya. Dia tenang meski lumayan banyak bercerita. Lily mengamati penampilannya yang sangat kharismatik. Rambut hitam berantakan yang keren, wajah rupawan dengan rahang tegas dan hidung mancung yang tajam, serta alis gelapnya yang tumbuh di atas kelopak sayu yang menutupi mata bening warna hitam.

Lily mengamatinya dari kursi di samping pemuda yang sibuk mengemudi ini. Mereka sempat bertukar nama. Pemuda ini bernama Ansel.

Dia tak sedikitpun bercerita tentang abangnya itu yang sudah sempat dia singgung di awal pertemuan. Pemuda ini menikmati membincangkan teknologi masa depan dan kekagumannya pada hologram.

Beberapa laki-laki mungkin ngobrolin ginian sama orang baru, Lily membatin.

"Umur berapa?" tanya Ansel tiba-tiba.

Lily tergagap karena dirinya sedang sibuk memikirkan sesuatu ketika pertanyaan itu dilontarkan.

"Du-dua puluh." Lily merasa seharusnya dia tak menjawab pertanyaan pribadi semacam ini.

Mereka belum 20 menit bersama. Ansel masih orang asing meski Lily tahu nama dan beberapa kegemarannya.

"Selisih 3 tahun sama gue."

"Tua gue apa lo?" Bahasan ini mulai menarik Lily.

"Tua gue. Baru lulus kuliah." Kepala Ansel beralih menghadap Lily. "Lo kuliah?"

Lily mengangguk. "Semester empat."

Ansel tersenyum. Senyuman yang Lily tak tahu apa artinya.

Akhirnya pun mereka tiba di depan sebuah gedung tinggi dan megah, yang Lily tahu ini adalah rumah susunnya orang-orang berduit.

BERSAMBUNG.