Semenjak Raja Pancaka menetapkan Ratu Gita sebagai permaisurinya, sebuah tema mendominasi kisah-kisah yang dibawakan penyair yang berkelana, dan mengisi pembicaraan para wanita bangsawan. Tema itu adalah, "cinta sejati yang menaklukkan status dan kasta."
Tema ini begitu popular, seolah menjadi pertanda kebangkitan para penyair yang sempat redup bersama dengan masa kedamaian yang menyelimuti negeri kami.
Dan fakta bahwa Ratu Gita, awalnya hanya rakyat jelata sebelum menjadi permaisuri Raja Pancaka, membuat tema ini semakin menarik untuk diangkat. Kisah keduanya yang menikah setelah melalui berbagai tantangan dan menghadapi berbagai pihak yang menentang dengan cinta yang membara, menginspirasi para muda-mudi untuk mencicipi kisah cinta yang sama.
Bahkan dia, kawan masa kecilku, juga terpengaruh oleh kisah cinta yang sama. Pria bodoh itu melupakan janji masa kecil yang kami ikat bersama. Lalu di hadapan Raja, dan semua orang, mengungkit bagaimana dia juga punya hak untuk merajut kisah cinta dramatis seperti itu.
Kau tahu, kisah cinta dramatis seperti itu, membutuhkan seorang antagonis, bukan? Lalu siapa lagi yang lebih pantas menjadi seorang antagonis selain aku, perempuan yang 'menjebaknya' dengan janji masa kecil yang sudah lama dia lupakan? Siapa lagi, selain diriku, yang lebih cocok untuk menjalankan peran sebagai wanita pencemburu yang dengan segala macam cara memisahkan pria sialan itu, dengan pujaan hatinya?
Dengan bodohnya, aku menjalankan peran itu. Mati-matian mempertahankan janji yang takkan pernah ditepati. Tak juga menyadari ada yang salah, sampai semuanya terlambat. Sampai dia berhasil membuangku, wanita jahat yang mengganggu cintanya, dari narasi.
Ah, sial. Gara-gara pria berambut perak yang berwajah begitu mirip dengannya, aku mengingat kenangan buruk itu.
Semoga saja dugaanku salah, dan kehidupanku yang damai (diantara para anak-anak) akan kembali esok.
Sambil menghela napas dalam-dalam, aku menutup jendela. Mengabaikan pendar cahaya yang sepertinya berasal dari dalam hutan. Entah mengapa, beberapa hari terakhir, hutan terlihat begitu ramai di malam hari. Seolah seseorang memutuskan untuk tinggal dan mengadakan pesta perjamuan. Tapi, perjamuan tengah hutan?
Aku tertawa hambar pada pikiran yang terbersit di kepalaku. Yang benar saja. Kecuali pria sialan itu dan pujaan hatinya, tidak ada manusia yang cukup gila untuk melakukan itu.
***
Belum sampai dua puluh empat jam dari saat kami terakhir bertemu, aku menyesal telah membawa pria tampan berambut perak itu, ke rumah kami.
Argh. Benar-benar menyebalkan.
Aku mengerang kesal saat Mada, yang masih terlalu kecil untuk membantu berkebun atau pergi ke tepi hutan untuk memasang perangkap dan mengumpulkan tanaman obat, berteriak memanggilku sambil menggandeng tangan pria itu.
Kehadirannya yang tiba-tiba membuatku kesal. Dan sebagai tanda protes, aku tak beranjak dari tempatku mengaduk kompos, untuk menyambut kedatangannya. "Terimakasih Mada."
Mada mengangguk cepat, lantas memberondong pria tersebut dengan pertanyaan. Aku tidak memperhatikan pembicaraan mereka, tapi sesekali, bocah laki-laki itu terkikik geli. Sepertinya, pria tersebut sudah menjadi orang favoritnya sekarang.
Jujur saja, itu lebih baik dariku karena aku sama sekali tak ingin mengobrol dengannya. Aku tak ingin mengetahui identitas pria itu yang sebenarnya, atau membuatnya menyadari siapa aku. Akan lebih baik jika mereka terus berbincang sampai apapun yang membawa orang asing itu ke sini, terlupakan.
Sayang, tak semua harapan bisa menjadi kenyataan.
"Hai. Selamat pagi," kata pria berambut perak itu, setelah Mada akhirnya digendong pergi oleh Laras.
"Hari sudah siang, Tuan." Jawabku asal, mulai menggali untuk menanam kentang.
Seolah tak menyadari bahwa aku sedang mengacuhkannya, dia berkata, "Jangan panggil aku Tuan. Aku bukan bangsawan, namaku Ranu."
'Cih. Tidak bisakah dia melihat, aku sangat sibuk sampai tidak ingin berbincang dengannya?' batinku berpura-pura tidak mendengar nama, yang terdengar begitu familiar. Tidak. Tidak mungkin kerabat pria sialan itu ada di sini.
Aku menelan protesku, dan mengangguk sambil memberi alasan,
"Mohon maaf, Tuan Ranu. Kami sangat sibuk saat ini, jadi kami tidak bisa menyambut anda."
Berharap dengan demikian, dia cukup tahu diri untuk meninggalkan kebun kami.
Tapi sayang, pria bebal itu justru terus bertanya, "Apakah kau akan begitu formal, pada orang yang menyelamatkan adikmu dari binatang buas? Aku bahkan tidak keberatan saat harus menggendongnya--"
"Maaf," sahutku, segera memotong ucapannya. Tidakkah dia bisa bersimpati pada Yoda? Bagaimanapun juga, dia yang juga seorang laki-laki, pasti tahu betapa harga diri adalah hal yang sangat penting.
Tidak bisakah dia melihat situasi? Apalagi sekarang anak-anak beberapa kali mencuri pandang ke arahnya, berusaha menebak siapa sosok pria ini. Kalau mereka mendengar hal yang memalukan terjadi pada Yoda, dan anak pembuat onar itu mengamuk karenanya, siapa yang harus repot, ha?
"Apakah anting safir yang saya berikan pada anda, tidak cukup untuk mengganti pakaian anda yang ternodai?"
Aku tahu jawabannya adalah tidak. Meskipun dia sudah menghilang dari kerajaan untuk waktu yang lama, sebagai raja iblis yang disegani, semua pakaiannya tentu terbuat dari bahan yang tak ternilai harganya, bukan?
Tapi aku tetap berusaha mengambil simpati darinya dengan berkata, "Kalau begitu, beri kami waktu mengumpulkan uang untuk menggantinya."
Beruntung, dia dengan cepat menjawab, "Tidak... Tidak. Aku tahu kau membutuhkan uang itu untuk mengurusi adik-adikmu." tapi ucapannya yang selanjutnya membuatku hampir kehilangan nafas. "Panggil saja aku Ranu, dan kau tak perlu membayar apa pun!" tegasnya.
Aku menelan ludah. Itu tawaran yang menggiurkan, aku tak perlu lagi bersikap sopan pada tamu tak diundang yang satu ini. Tapi dia adalah bangsawan. Dan aku tahu, bangsawan lebih mudah tersulut emosi, daripada rakyat pada umumnya. "Saya harap Anda serius dengan tawaran itu, Tuan."
"Tentu saja, Anindita."
Rahangku mengeras. Sekarang, aku tidak bisa berpura-pura lagi. Ranu, yang kini berjongkok di sampingku, benar-benar merupakan saudara dari pria terkutuk itu.
"Anda salah orang, Tuan," desisku, sambil bangkit, meninggalkan bibit-bibit kentang yang belum sampai terkubur di tanah. Sejurus kemudian, aku mendongak menatap langit yang mulai gelap. Untung saja semesta mendukungku hari ini.
Dengan cepat, aku berteriak ke arah anak-anak, "Cepat masuk, sebentar lagi hujan!" Lalu tanpa menoleh, aku bergumam, "Selamat tinggal, Tuan."
Aku tidak mendengar jawaban dari pria itu, atau tepatnya, tidak bisa. Karena gerimis mulai turun. Dan kami sudah terlalu sibuk menyimpan bebagai perkakas untuk mengamati reaksi darinya.
Namun, aku tahu, bahkan jika dia menjawab, aku takkan mau mendengarkan perkataan apa pun, yang terlontar dari mulutnya.
"Kak In, kakak yang tadi, tidak kita minta masuk?" tanya Darma, menatap pintu yang tertutup.
Aku menggeleng, menyaksikan punggungnya yang menjauh dari jendela yang masih terbuka.
"Dia sudah pulang, Darma."
Dan semoga tak pernah kembali lagi. Aku tak tahu, alasannya mencari Anindita atau alasan yang membuatnya sampai di tempat ini, yang begitu jauh dari ibu kota. Tapi aku tak sedikitpun ingin tahu.