Chereads / Anda Salah Orang, Tuan / Chapter 3 - Menjadi Dewasa

Chapter 3 - Menjadi Dewasa

Hujan turun selama beberapa jam. Dan aku bisa bernapas lega, karena begitu tetes hujan terakhir turun, hari belum terlalu gelap. 

Aku beranjak memungut piring kotor usai makan malam hari ini, untuk mencucinya di sumur belakang rumah.

"Biar aku saja yang bantu!" seru Yoda saat Laras bergegas mendekatiku, hendak membantuku mengangkat piring dan gelas kotor.

Laras mengangguk tanpa kata, kembali mendampingi Mada yang asyik mengamati gambar di buku usang yang kubeli dari kota beberapa bulan yang lalu.

Aku mengangkat alis, segera berkata, "Kalau kau mau membantuku agar tidak perlu membersihkan toilet, lebih baik tidak usah. Hukumanmu tidak akan kukurangi."

"Apaan sih," gerutunya sambil berjalan cepat menuju sumur. Dia lalu mulai mengerek timba, mengambil air dari sumur yang baru saja dia buka tutupnya.

'Baguslah kalau begitu,' batinku sambil menyusulnya.

Aku mengikutinya tanpa kata, tak lagi berusaha mencari tahu motifnya membantu hari ini. Toh tanpa bertanya pun, dia akan mengungkapkan maksudnya nanti. Mencecarnya dengan pertanyaan sebelum Yoda siap membuka mulut, hanya akan membuatku kehilangan tenaga sukarelawan dalam pekerjaan melelahkan ini.

Benar saja, tengah-tengah mencuci piring, dia berujar, "Katanya, kakak yang kemarin menolongku, tadi datang, ya?"

Aku hanya bergumam perlahan. Tak benar-benar berminat untuk membahas tentang tamu tak diundang yang datang beberapa jam yang lalu.

Tak juga mendapat tanggapan dariku, dia memprotes, "Kok nggak ditahan dulu, sih? Kan aku pengen tahu orangnya."

Ah, benar juga. Yoda yang pingsan karena ketakutan, tak sempat melihat sosok penolongnya. Dia hanya bisa mendengar deskripsi pria tersebut dari mulut anak-anak yang lain.

"Kau nggak malu?" tanyaku sambil menggosok panci, tanpa melihat reaksinya.

"Malu kenapa…" gumam Yoda. Tapi sejurus kemudian, dengan bersungut-sungut berkata,   "Uuh. Aku kan mau minta maaf." Mungkin, dia baru saja mengingat kejadian kemarin, saat aku memintanya mencuci pakaian begitu dia siuman.

Dengan cepat, aku menyahut, "Nggak usah. Aku sudah memberinya ganti rugi sebelum dia pergi, kemarin."

Yoda bergumam paham, tapi tiba-tiba bertanya, "Emang kakak punya uang?"

"Punya uang atau tidak, itu bukan urusan anak-anak sepertimu. Itu urusanku sebagai wali kalian," pungkasku. Bagaimanapun juga, sesulit apa pun keadaan kami, membicarakan (atau lebih tepatnya komplain) tentang uang belanja yang tak pernah cukup pada Yoda atau anak-anak yang lain, rasanya begitu memalukan untuk dilakukan. Melakukan itu, hanya membuktikan bahwa aku gagal bertanggung jawab pada masa depan mereka.

Tapi, ucapanku sepertinya justru menyinggung perasaan Yoda.

"Aku sudah tiga belas tahun!" serunya, membanting timba kayu di tangannya ke dalam sumur, menimbulkan suara berdebam. "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu keadaan rumah kita yang sebenarnya!"

"Tapi kau masih belum cukup dewasa untuk mengendalikan dirimu," ujarku dengan gigi bergemeletuk, menatapnya lekat. Pada Yoda yang wajahnya memerah, aku menegaskan, "Kalau kau sudah berumur tujuh belas tahun, kita bisa bicarakan ini lagi."

"Tujuh belas? Aku akan pergi dari sini sebelum ulang tahunku bulan depan. Aku akan bekerja di kota, dan lihat saja, apa aku akan mengirim uang untuk kalian, nanti!" amuknya sambil mengentakkan-entakkan kaki, pergi.

Ah, benar juga. Berbeda dengan para keturunan bangsawan, anak-anak berumur empat belas biasanya sudah dianggap cukup dewasa mencari uang sendiri.

Aku menghela napas panjang, menatap panci yang sudah kugosok bersih.

Jadi mereka akan pergi, kan? Akan lebih baik jika aku bisa membuat mereka menemukan pekerjaan di kota. Mungkin Yoda bisa menjadi kacung pandai besi. Atau murid seorang ksatria. Aku ingat dia pernah merengek meminta hadiah pedang di ulang tahunnya dua tahun yang lalu.

Lalu Darma, semoga tabib di kota mau menerimanya. Atau, dia bisa bersama Yoda mengikuti seleksi calon prajurit. Karena lima dekade terakhir negeri kami selalu damai, mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan stabil, tanpa resiko gugur di medan perang.

Sedangkan untuk Laras, aku harus mencari rumah makan atau penginapan yang terpercaya. Mereka takkan menolak untuk mempekerjakan Laras yang cekatan dan pandai memasak. Tapi kalau dia ingin bekerja pada desainer… semoga saja aku bisa menemukan desainer mumpuni yang tak mengungkit masa laluku.

Tapi, apa pun yang mereka inginkan nanti, bisakah aku mewujudkannya?

Aku menutup mata, menghitung uang yang kusimpan selama tiga tahun terakhir. Simpanan yang tidak terlalu besar.

Sepertinya, kalung dan gelang safir yang kubawa pergi malam itu, harus kugadaikan.

Sambil bangkit, aku menghela napas panjang.

Aku lantas berdiri di bibir sumur, memandang ke bawah. "Andai aku tahu kau akan mencoba menghabisiku malam itu, aku takkan pernah membuang perhiasan yang pernah kau berikan," gumamku, seolah wajah pria terkutuk itu muncul di pantulan air.

Karena seburuk apa pun kenangan yang menyertai sebuah perhiasan, ia tetap bisa membantuku mendapatkan uang dengan cepat.

Yoda masih terus mengamuk setiap melihatku petang itu, hingga aku memutuskan untuk berjaga sepanjang malam. Beberapa kali aku memeriksa tempat tidur mereka, memastikan Yoda masih ada di tempat tidurnya, dan tidak mengulangi kebodohannya tempo hari.

Diantara anak-anak penghuni rumah ini, Yoda memang yang paling merepotkan. Tapi, bukan berarti aku ingin kemalangan menimpanya.

***

Malam berlalu dengan begitu lambat, dan begitu matahari terbit, aku segera meminta Darma untuk mengawasi Yoda, selama mereka memeriksa perangkap yang dipasang kemarin. 

Darma yang mendengarkan permintaanku dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan, mengangguk mendengar ucapanku. Dia lalu menyatakan akan berusaha membujuk Yoda, agar menunda niatnya meninggalkan rumah ini. Semoga saja, anak bodoh itu mau mendengarkan Darma.

***

"Aku pulang!" seru Yoda ketika hari sudah mulai petang.

Aku berbalik mendengarnya, mengalihkan perhatian dari tanah yang baru kusiram kompos. Pandanganku segera terpaku pada senyuman kemenangan yang ditunjukkan Darma. Aku membalasnya dengan anggukan, sebelum mengalihkan pandangan ke arah Yoda yang memamerkan tangkapannya hari ini di hadapan anak-anak lain. Membual tentang perjuangannya menaklukkan kijang yang begitu lincah pada mereka yang tidak berangkat ke hutan hari ini.

Tapi itu sama sekali bukan bualan. Kijang, yang kuyakin tak bisa ditangkap oleh perangkap murahan yang kami beli dua tahun lalu, terlihat begitu kotor seolah baru saja diseret melewati jalanan hutan.

Aku menelan ludah, mendekati mereka. "Yoda," panggilku.

Anak itu melengos, lalu dengan angkuh berkata, "Lihat, Kakak bisa lihat sendiri, kan? Aku bisa menangkap kijang. Jadi aku sudah dewasa!"

Aku menarik napas dalam-dalam. Dengan suara bergetar, aku bertanya, "Kalian... Siapa pemburu yang kalian ikuti kali ini?" Tidakkah mereka tahu, betapa berbahayanya melakukan itu tanpa pengawasan orang dewasa?

Bagaimana jika mereka terpisah saat mengejar kijang itu? Bagaimana jika mereka bertemu binatang buas? Aku bisa mengerti jika Yoda yang melakukan perbuatan bodoh itu. Tapi Darma?

Pertanyaan yang kulontarkan membuat Yoda menutup mulut. Aku segera menatap Darma, berusaha membuat salah satu dari mereka berbicara.

Tapi bukannya dari mereka, aku justru mendapat jawaban dari sosok yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Hei, kau tak perlu memarahi mereka. Aku yang menawarkan bantuan pada mereka. Bukanlah sudah lama, sejak kalian mendapatkan daging sebanyak ini?" ujarnya sambil menunjuk kijang yang dielus-elus Mada.

Aku menatap pria berambut perak itu sambil berdesis kesal, "Kau!"