Seketika itu Hakim membeku. Ia kehilangan arah. Pemikirannya kosong. Jantungnya seperti berhenti berdegup pada detik itu juga. Ia jadi bingung hendak berbalas bagaimana. Ia memiringkan kepala bingung, benar tidak salahkan yang didengarnya itu. Yang hendak ia persunting bukanlah putri bungsunya, melainkan putri sulungnya. Lantas, kalimat berikutnya terasa seperti petir yang menyambar di siang hari bolong yang terik. Menyengat luar biasa dalam ulu hatinya.