"Emm gitu, ya. Terus Kinan gimana?" tanya Hakim ingin tahu lebih banyak lagi perihal cerita anak semata wayangnya yang menggemaskan itu.
"Ndak tau Anyah. Kan bundanya Inan udah di culga, cepelti kata Anyah." (Tidak tahu Ayah. Kan bundanya Kinan sudah di surga, seperti kata Ayah.)
Hakim lagi-lagi bungkam. Memang ia mengatakan hal itu saat tidak tahu bagaimana caranya menghindar lagi kala si cilik ini terus bertanya prihal bundanya. Ia tak menyangka jika putrinya ini tahu benar apa yang di maksudkannya.
"Bunda Ratna di atas sana pasti sangat rindu dengan Kinan. Kinan selalu do'akan saja bunda agar bunda selalu bahagia di atas sana ya, sayang?" katanya lagi coba menenangkan. Tetapi di sana, Hakim justru mendapati putrinya justru bermuka murung. Ia melempar pandangan ke arah Bik Asih yang juga menatapnya dengan raut tak terbaca; mencari jawaban yang bisa saja diketahui oleh wanita tua yang telah dianggapnya keluarga itu.
"Kinan, kenapa sayang? Kok jadi murung gini?"