Pagi ini seorang gadis baru saja terbangun dari tidurnya. Ia berada di batu besar berbentuk pipih, ternyata dia tidur di atas sana. Batu tersebut juga berada tak jauh dari Hutan Morin, tapi untungnya Emely sudah keluar dari hutan tersebut.
Namun, gadia itu kembali dibuat terkejut. Di hadapannya terpampang jelas aliran sungai lahar juga gunung menjulang dengan asap dan percikan api yang keluar dari puncaknya. Pantas saja sedari tadi dia merasakan hawa panas dan Emely yakin itu pasti Gunung Krakate.
Dia langsung bergegas hendak mendekati gunung tersebut. Akan tetapi, ia baru sadar, gunung itu berada di seberang sungai lahar, lahar panas yang dipenuhi dengan pasir juga kerikil gunung. Emely tidak tahu cara apa untuk menyeberanginya.
"Ck, aku harus apa sekarang?" Emely berpikir keras, dia sungguh bingung. Di sana tidak ada sesuatu yang bisa menahan lahar panas.
"Emely?"
Sontak gadis yang dipanggil itu terkejut dengan kedatangan seseorang. Entah dia datang dari mana, Emely tidak menyadarinya.
"Kau? K-kau di sini juga?" tanya Emely tak percaya. Laki-laki yang belakangan ini selalu membuatnya emosi kini berdiri di hadapannya. Dia adalah Crish.
"Kau sendiri kenapa bisa ada di sini?" Chris mendelik, dia tidak habis pikir bisa bertemu Emely di sana.
Gadis itu terdiam sejenak, dia tidak mungkin menceritakan semuanya pada Chris. Namun, Emely juga penasaran kenapa Chris bisa masuk ke dunia itu.
"A-aku masuk ke dalam buku." Emely menjawab sedikit pelan. Dia tahu cowok menyebalkan itu pasti tidak akan percaya.
"Ke dalam buku? Aku juga terbawa ke sini karena sebuah buku. Apa buku yang membawa kita itu buku yang sama?"
Dengan cepat gadis di hadapannya mengeluarkan buku XVIII dari dalam ransel. "Maksudmu buku ini?" tanya Emely memperlihatkan buku tersebut.
"Ya, benar! Buku sialan ini yang membuatku sengsara!" Chris terlihat emosi, dia hendak membuang buku itu ke sungai lahar.
"Eh, jangan! Itu bukuku, kembalikan!"
"Oh, jadi ini bukumu? Pantas saja membuatku sial, sama seperti pemiliknya! Pembawa sial!"
"Chris, kau sedang berbicara dengan siapa?" Tiba-tiba sosok pria berbadan kekar datang dari balik hutan, dia membawa seikat kayu bakar. "Hei, ternyata ada seorang wanita di sini. Siapa dia?"
"Sudahlah, dia tidak penting. Sekarang kita kembali ke pondok saja," ucap Chris seraya membanting buku XVIII tepat ke arah Emely.
"Siapa namamu, Nona?" Pria itu bertanya dan membuat langkah Chris terhenti.
"Aku Emely."
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku ingin menyeberangi sungai lahar, hanya saja aku tidak tahu caranya."
"Ray, sudahlah! Jangan pedulikan dia. Ayo pulang! Aku sudah lapar." Chris kembali berteriak.
"Iya, sebentar!" timpal Ray agak keras. Ia kembali fokus pada gadis di depannya. "Aku Raymond, penjaga Gunung Krakate. Aku bisa membuatkanmu alat untuk menyeberangi sungai ini, tapi itu butuh waktu. Jadi, kau ikut saja denganku dulu. Bagaimana?"
Emely terdiam, dia tidak mungkin mempercayai orang baru begitu saja. Akan tetapi, tawaran tersebut bisa saja benar adanya dan itu akan cukup membantu.
"Baiklah."
ΦΦΦ
Siang ini Emely berada di pondok milik Ray, pondok berukuran sedang berbahan bambu dan batu putih yang dirangkap dengan besi tipis. Emely juga melihat ada dua benda yang berbentuk bundar seperti kapsul sedang terparkir di luar pondok. Ditambah banyak barang-barang aneh yang tidak Emely mengerti, pekarangan di pondok Ray persis seperti bengkel.
Terlihat wajah Chris terus ditekuk semenjak Ray mengajak Emely. Namun, ia juga tidak bisa melarang karena itu bukan haknya. Chris hanya banyak terdiam dan sesekali mengumpat kesal.
Sekarang mereka sedang makan siang, tapi seketika Ray menghentikan gerakannya yang hendak menyuap. Dia memperhatikan kedua pergelangan tangan Emely juga Chris.
"Wah, apa itu? Unik sekali, jenisnya serupa tapi bentuknya berbeda. Kalian membuatnya?" tanya Ray penasaran.
Dengan cepat Chris langsung menyembunyikan tangannya. Sedangkan, Emely terlihat biasa saja. "Tidak, ini sudah ada sejak lahir," jawab gadis itu.
"Oh, jadi itu tanda lahir," ucap Ray, "ya sudah, kalau begitu aku akan mulai membuat alat untukmu, Em. Mungkin membutuhkan waktu beberapa jam." Pria itu bangkit meninggalkan dua insan di sana, dia menyudahi aksi makannya lebih dulu.
"Kau penyembah patung Madam Nixon juga?" tanya Chris memulai pembicaraan.
"Tidak, memangnya patung apa itu?"
"Itu patung leluhur Irlandia yang sangat sakti. Kata ayahku, hanya pengikut patung tersebut yang memiliki tanda lahir seperti itu. Jika kau bukan pengikutnya, lalu kenapa kau memiliki tanda lahir seperti itu juga?"
"Aku juga tidak tahu. Ayahku sendiri tidak menyembah sebuah patung," jelas Emely, "jadi ... kau pengikut patung itu?"
"Ya, walaupun sebenarnya aku tidak mau. Tapi ayahku selalu memaksa, aku tidak bisa melawan. Aku juga tidak tahu cara apa agar aku bisa terlepas dari persembahan itu." Chris menunduk, dia tampak sedih.
Untuk pertama kalinya, Emely melihat pria yang selalu membuatnya kesal kini malah terlihat lemah. "Masalahku jauh lebih berat darimu. Tapi aku sudah menemukan cara untuk itu, walaupun cara tersebut sangatlah sulit dan entah akan berakhir sesuai harapanku atau tidak."
"Masalah apa?"
"Aku terkena kutukan. Tertulis di buku XVIII penyebabnya karena aku telah mencuri sebuah kalung dari patung sakti. Tapi aku sendiri tidak pernah melakukan itu." Tanpa sadar Emely malah menceritakan semuanya, dia terbawa suasana.
"Tunggu, kalung dari patung sakti? Ayahku pernah bercerita, kalau tidak salah, patung yang selalu kami sembah beberapa tahun silam kehilangan salah satu sumber kekuatannya dan itu dari sebuah kalung."
Emely tercengang. "Maksudmu kalung itu dari patung tersebut?"
"Mungkin saja. Karena sampai sekarang kalung itu tidak pernah ditemukan. Tapi aku juga tidak tahu kalung tersebut persisnya seperti apa."
Pikiran gadis itu terus berputar, apa yang Chris katakan mungkin saja memang benar.
ΦΦΦ
Selang beberapa jam, Ray selesai membuatkan alat untuk Emely. Netra gadis itu malah membola kala benda yang ia lihat tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
"Aku pikir kau akan membuatkanku perahu anti api," gumamnya pada Ray.
Emely masih meneliti sebuah benda berbentuk bundar dengan dua kursi di dalamnya, terbuat dari serpihan besi yang disusun sedemikian rupa oleh Ray. Seolah itu adalah pesawat kecil tanpa baling-baling.
"Pesawat ini disebut kapsul terbang. Ini jauh lebih berguna daripada perahu."
"Tapi aku tidak bisa mengendarainya, Ray. Lagipula, aku heran. Kenapa kau bisa membuat benda sebagus ini?"
"Ray itu orang genius. Dia bisa merancang apa pun menjadi sebuah benda yang hebat." Chris mengambil alih jawaban.
"Ah, tidak juga. Aku hanya memperbaiki pesawat usang yang kutemukan, tapi sedikit kuberikan bahan-bahan baru juga, sih."
"Keren!" takjub Emely. Dia jadi ingat penjelasan Zlic tentang bangsa manusia yang berotak genius dan ternyata itu benar. Seperti Ray yang sudah membuktikannnya saat ini.
"Ray juga yang menolongku saat pertama kali aku tiba di tempat aneh ini," lanjut Chris. Emely mengangguk paham. Dia berharap semua orang yang akan dia temui di sini bisa sebaik Zlic dan Ray.
"Memangnya untuk apa kau menyeberangi sungai itu, Em?"
"Aku ... ingin mengambil serbuk ganggang hijau di Gunung Krakate."
"Astaga! Di sana itu berbahaya. Banyak letupan lahar panas. Kau mungkin tidak akan kuat dengan suhu di dalam sana." Ray terkejut dengan raut tak percaya, gadis di dekatnya itu sungguh berani.
Emely menunduk dalam, hatinya kembali tergoyahkan. Ia tidak tahu dirinya akan selamat atau tidak dalam menjalankan misi itu.
Melihat wajah Emely yang tampak murung, Chris pun bersuara. "Ray, bukankah kapsul terbang yang kau buat itu anti panas?" Ray mengangguk cepat. "Bagus, kalau begitu tidak ada masalah."
"Maksudmu?"
"Emely akan tetap pergi ke Gunung Krakate. Kapsul terbang itu akan melindunginya. Kalau perlu aku juga akan ikut, lebih tepatnya aku yang akan mengemudikan kapsul tersebut."
"Kau bisa?" Emely memastikan. Dia juga sedikit terkejut dengan aksi Chris yang berniat membantunya.
"Lumayan. Sudah beberapa kali aku mengendarai kapsul terbang milik Ray."
Gadis itu tersenyum senang, harapan baru kembali datang. "Kalau begitu kita segera pergi!" Emely sangat bersemangat, dia langsung menaiki kapsul terbang lebih dulu.
Ray hanya bisa menggelengkan kepala jengah. "Ya sudah, kalian hati-hati. Dan untukmu, Em, serbuk ganggang hijau itu berada di lubang-lubang pada dinding gunung. Semoga berhasil!"
"Baik, Ray. Terima kasih," ucap Emely tersenyum tulus.
"Kami pergi dulu, Ray." Chris menyusul Emely ke dalam kapsul. Dia melakukan itu karena ia berpikir kutukan Emely bersumber dari patung yang selalu ia sembah. Chris mengira kalau dengan membantu Emely, dirinya akan terlepas juga dari persembahan yang tidak diingankannya.
ΦΦΦ
Sebuah kapsul terbang berada tak jauh dari titik puncak Gunung Krakate. Suasana tampak lengang, Emely dan Chris masih berpikir untuk aksi selanjutnya.
"Kau yakin kita akan masuk melalui lubang puncak gunung itu?" Emely terlihat khawatir.
"Iya, itu satu-satunya jalan yang bisa kita akses menggunakan kapsul ini."
"Baik, kita masuk sekarang," ucapnya sedikit ragu. Emely yakin pasti banyak lava yang akan menyambutnya.
Dengan pelan Chris mulai melajukan kapsul terbang hingga tepat berada di atas puncak gunung. Kepulan asap dan lautan lava yang meletup layaknya air mendidih terpampang jelas di depan mata. Mereka mampu melihatnya dari kaca jendela.
Pemuda keturunan ilmuwan itu kembali mengemudikan kapsul terbang memasuki lubang puncak gunung. Melawan gumpalan asap yang melewatinya, menerebos percikan api yang sesekali membumbung keluar dari cairan lava. Emely sedikit takut melihat hal tersebut.
Untung saja tidak terjadi apa pun dan mereka sudah sampai di dalam gunung. Kapsul terbang mulai bergerak perlahan menuju dinding pada bagian sisi gunung. Kini Emely mampu melihat lubang-lubang yang terbentuk secara alami di setiap dindingnya. Terlihat di setiap lubang terdapat serbuk seperti pasir berwarna hijau.
Chris sedikit membuka kaca jendela kapsul, hawa panas pun langsung menerpa. "Cepatlah kau ambil serbuk itu! Kita tidak bisa berlama-lama di sini," titah Chris membuat Emely segera membuka tutup botol yang ia bawa.
Dengan cepat Emely mengulurkan tangan melalui jendela, ia mengambil serbuk itu seraya memasukannya pada botol. Suhu amat panas yang terasa pada tangannya harus Emely tahan.
Hingga akhirnya botol tersebut sudah terisi penuh. Tugas Emely di Gunung Krakate telah selesai. Chris kembali menggerakan kapsul terbang keluar gunung dengan kecepatan tinggi, membuat Emely hampir saja terjatuh dari kursi.