Pesawat tersebut meledak di atas ketinggian, puing-puingnya mulai berjatuhan dan Saukilla pun sudah tidak sadar.
Deemm ....
*** ***
Kabar meledaknya pesawat yang ditumpangi oleh Saukilla pun dengan pesat menyebarluas seantero Indonesia. Mungkin mereka mengetahui itu semua. Maya, sahabat dari Killa pun tidak percaya dengan musibah yang menimpa temannya. Ia ingat betul percakapan terakhir mereka kemarin.
Yang di mana Killa menitipkan beberapa rumah, aset, dan kekayaan yang dirinya miliki.
"Ya Tuhan. Bahkan aku tidak menyangka jika Killa harus berakhir seperti ini. Dia adalah pengusaha sukses yang masih berusia cukup muda, ayah ibunya tak ada sejak lama dan kakak-kakaknya begitu jahat pada Killa."
Dari sudut berlawanan, Kak Genta beserta isinya mendekati Maya. Mereka sama sekali tak memperlihatkan rasa sedih ataupun iba terhadap insiden tersebut.
"Sudahlah, kamu tidak perlu menangisi temanmu itu. Killa sudah meninggal bersama dengan meledaknya pesawat itu. Percuma kamu menangis. Dia tidak akan hidup lagi." Ujar Kak Genta yang tak menunjukkan mimik wajah berduka.
Padahal sejatinya Saukilla adalah adik kandungnya sendiri.
"Jadi, Kak Genta tidak memiliki niatan untuk menyuruh beberapa Denjaka guna mencari jenazah Saukilla?"
"Untuk apa, Merr. Tubuh Killa pun mungkin sudah hancur menjadi beberapa keping dan itu entah berada di mana."
"Iya benar, itu hanya akan membuang-buang biaya saja!" sahut Riana yang merupakan istri dari Kak Genta.
"Meskipun menghabiskan biaya banyak, yang jelas itu tidak merugikan kalian kan? Aset yang dimiliki Killa itu kan banyak, kenapa pihak keluarga tidak menggunakan itu saja?"
Mereka berdua pun justru memaki Maya yang terus mendesak pihak keluarga untuk melakukan pencarian selanjutnya. Namun malah ia yang kena batunya.
"Kamu tidak perlu ikut campur dengan urusan ini, ya!"
Kak Genta beserta istrinya pun bergegas pergi meninggalkan bandara. Padahal beberapa anggota keluarga penumpang pesawat tersebut banyak yang menitikkan air mata. Lain halnya dengan Kakak kandung Saukilla.
*** ***
Korea Selatan waktu setempat. Di sana sudah memasuki waktu malam. Killa hanya bisa mengedipkan kedua mata saja. Seluruh anggota tubuhnya terasa kaku dan sakit di beberapa bagian.
Kornea matanya menembus tepat di atas Awan. Kanan Kiri begitu gelap, hanya sinar rembulan saja yang menjadi penyelamat Killa. Setidaknya, ia bersyukur masih bisa melihat benda langit sebelum kematiannya tiba.
"Apa aku sudah tiba di Korea?"
"Atau aku sudah berada di surga?"
"Ini semua gara-gara peramal sialan itu!
Tapi tunggu dulu, dia sempat berkata jika aku akan ditolong oleh seorang abdi negara. Aku sudah dua hari di sini, tapi tak ada satu pun yang datang menemuiku. Apa jangan-jangan peramal itu hanya berbohong saja?" lirih
Killa seraya menetralisir napasnya.
Ia begitu kesulitan meski untuk bernapas lega. Dadanya terasa sakit dan panas.
Malam semakin tinggi, merangkak fajar menuju pagi. Berbeda dengan kota metropolitan yang biasanya ramai akan suara kendaraan. Kini yang menyusup masuk ke dalam indera pendengaran Killa hanyalah nyanyian burung hantu serta desau angin malam.
*** ***
"Untuk team Alpha, kalian akan dipimpin oleh Kapten Sean. Tugas kalian adalah berjaga di perbatasan pulau Geoje. Kita tidak perlu menunggu sampai matahari terbit. Ini adalah waktu yang tepat guna memantau pergerakan musuh." Ungkap Jenderal Besar menjelaskan.
Kapten Sean membawa empat orang prajurit, mereka semua berasal dari Indonesia. Mungkin hanya Kapten Sean sendiri yang berdarah negeri ginseng.
Dini hari yang buta, semesta masih mendengkur halus di bawah selimut tebal. Namun, berbeda dengan pasukan khusus tersebut. Mereka sudah harus menembus dinginnya udara yang mencumbu halus di setiap kulit mereka.
Nyanyian burung hantu, desauan angin, serta beberapa suara dari ranting kering yang terinjak. Mereka harus menjalankan tugas meskipun nyawa sebagai tandunya.
"Kapten!" seru Renjana yang berhenti sedikit jauh dari pasukannya.
Sean pun menoleh "Ya. Ada apa?"
"Izinkan saya buang air besar terlebih dahulu, Kapten."
"Baiklah, silakan."
"Terima kasih, Kapten."
Renjana pun berlari menyibak rimba raya. Ia hanya bermodalkan senapan serta headlamp yang cahayanya mampu menembus malam. Renjana pergi cukup lama, Kapten Sean dan yang lainnya merasa jenuh sehingga Kapten Sean pun memutuskan untuk berkeliling rimba.
"Saya akan berkeliling terlebih dahulu. Kalian tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Jika lima menit yang akan datang Renjana belum juga kembali segera susul dia."
"Siap, Kapten."
Kapten Sean berjalan seorang diri. Suara patahan dari ranting kering yang terinjak mampu mengisi suasana hening. Kemudian jangkrik yang berirama serta malam yang menghembuskan angin kencangnya lekat sebagai ciri khas hutan belantara.
"Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun
Aku memiliki banyak aset kekayaan, beberapa perusahaan penerbit, beberapa cabang restoran dan pamor yang begitu melejit. Namun, apa guna itu semua yang sudah aku kumpulkan dengan susah payah jika akhirnya aku pun akan berakhir di hutan ini dalam keadaan mengenaskan."
Demikianlah monolog Killa seraya terisak. Ia sebenarnya merasa ketakutan pada takdir Tuhan yang tak pernah berpihak padanya. Saukilla masih berharap jika ucapan peramal gimbal itu benar-benar nyata.
"Sudah hampir tiga hari aku di sini, tapi di mana abdi negara itu. Kenapa dia tidak lekas menolongku, apakah permal gimbal itu benar-benar hanya berdusta saja. Oh! bagaimanapun juga aku tidak bisa langsung mati begitu saja," keluh Killa.
Bahkan ia ingin menyeka air mata, namun rasanya berat hanya untuk mengangkat satu tangan kiri saja.
"Baiklah, aku akan berhenti menahan semua sakit ini."
Sejatinya Killa sudah tidak kuat, rasa sakit yang kian hebat tak mampu disembunyikan lagi. Ia masih terus terisak berharap ada bantuan yang datang, namun bukannya bantuan yang menghampirinya justru malah suasana gelap menyambut mata.
"Apa itu?" tanya Kapten Sean seraya terus melangkah mendekat.
Hanya bermodal head lamp ia menyisir ilalang.
"Astaga! Itu adalah orang."
"Ala dia korban dari kecelakaan pesawat rute Cengkareng ke Incheon," ujarannya.
Tak tunggu lama, Kapten Sean pun segera berlari menghampiri tubuh Killa. Kapten Sean pun mengarahkan headampnya ke titik di mana Saukilla berada. Ia merasa ngilu tersendiri manakala mendapati luka pada tubuh Killa.
"Nona! Hei Nona. ona kau bisa mendengar suaraku?" tanya Kapten Sean seraya mengguncang tubuh Killa.
"Perempuan ini masih hidup."
Kapten Sean pun berusaha mencari kartu nama, namun rupanya kartu nama tersebut sudah tidak ada. Derap langkah kaki terdengar begitu banyak tengah menuju ke arahnya. Kapten Sean pun menoleh ke arah tersebut. Ia berjaga-jaga saja apabila yang datang adalah musuhnya.
Rupanya tidak, itu merupakan keempat prajuritnya tadi. Mereka bergegas menyusul Sean dan gegas melontarkan rentetan pertanyaan.
"Kapten, apa yang terjadi dengan perempuan ini?"
"Entahlah, sepertinya perempuan ini merupakan korban dari kecelakaan pesawat dua hari yang lalu."
"Tapi dia masih hidup, Kapten," seru Praka Renjana.
"Benar. Sekarang saya ingin meminta bantuan kepada kalian untuk cepat datang ke titik perbatasan."
"Lantas, Kapten hendak ke mana?"
"Saya akan membawa perempuan ini ke penginapan kita. Perempuan ini masih hidup dan ia memerlukan bantuan, tak mungkin saya meninggalkan dia." Jelas Kapten Sean seraya menyentuh kening Killa.
Keempat prajuritnya saling bersitatap, mereka tahu betul peraturan yang ada di desa militer. Tentunya tidak bisa sembarangan membawa masuk perempuan. Kapten Sean pun bisa membaca mimik wajah kekhawatiran mereka.
Kapten tentara angkatan darat yang berusia kisaran tiga puluh tiga tahun asal Indonesia tersebut pun bergegas menepuk pundak Renjana.
"Kalian semua tidak perlu mengkhawatirkan akan hal itu. Saya berjanji, tim Alphar akan tetap aman-aman saja."
"Kapten, kalau begitu segeralah menuju penginapan. Kami akan berangkat ke titik perbatasan saat ini juga." Kapten Sean pun mengangguk, ia gagas menggendong tubuh Killa dan membawanya pulang ke penginapan.
*** ***
Keempat serdadu tersebut mulai membahas sosok Killa. Mereka masih penasaran sekaligus kasihan. Perjalanan yang seharusnya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai perbatasan, tetapi kini sudah memakan waktu sekitar satu jam setengah. Tetapi, mereka belum juga tiba.
"Tadi perempuan itu seperti bukan warga Korea."
"Benar, sepertinya dia berasal dari Indonesia."
Chicko pun menyahut seraya membenarkan ikat tali sepatunya.
"Memang apa yang terjadi pada perempuan itu. Kenapa dia bisa berada di perbatasan pulau Geoje?"
"Sepertinya benar yang dikatakan oleh Kapten Sean. Jikaa perempuan itu merupakan salah satu penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan dua hari yang lalu."
*** ***
Setibanya di rumah penginapan, Kapten Sean segera mengobati luka bakar pada tubuh Killa. Ia tak memiliki kesempatan untuk sekadar mengamati wajahnya. Waktu yang terus memaksanya untuk cepat menyelesaikan tugas membuat Sean tergesa-gesa.
Sean berjalan ke sana ke mari menyiapkan segala kebutuhan untuk perempuan itu. Beberapa ramuan herbal yang sering Sean konsumsi kala sedang terkena luka tembak. Kemudian, ia menyiapkan makanan, handuk serta kaos oversize milik dirinya.
"Mungkin ini sudah cukup. Aku bisa meninggalkan perempuan malang ini."
Saat Kapten Sean hendak melangkah, ia berhenti sejenak.
"Aaarrgghhh tidak! Bagaimana nanti kalau perempuan ini justru berteriak dan berkeliaran di sekitar penginapan," celetuk Sean kebingungan.
Pasalnya di sana tidak ada ponsel lagi pula, misal pun ada tentu mereka tak bisa saling komunikasi. Hingga rasa bingung pun membawa Kapten Sean pada sebuah pesan tertulis.
*** **
Sekitar pukul delapan waktu Korea Selatan, Killa pun membuka mata, ia merasa asing dengan tempat tersebut bahkan untuk mengingat saja rasanya sukar. Pikirannya terasa kosong, Killa berusaha bangun namun tubuhnya terasa masih begitu sakit.
"Di mana aku?"
Killa pun menoleh ke meja samping ranjang. Ia melihat secarik kertas dan Killa pun gegas membacanya.
Capt Sean.
'Segeralah mandi. Di situ saya sudah menyiapkan handuk, pakaian, makanan serta obat herbal. Saya tadi menemukanmu di hutan perbatasan pulau Geoje. Sebagai imbalannya, tolong setelah kamu membaca surat ini jangan keluar dari tempat tersebut sebelum saya pulang. Pukul delapan malam saya akan kembali ke tempat tersebut.'
Begitulah isi surat Sean kurang lebihnya. Namun, Killa tidak mengingat apa pun seperti yang dikatakan oleh Kapten di mana ia menemukan Killa di hutan perbatasan Pulau Geoje.
"Aku berada di hutan?"
"Kenapa aku di hutan?"
"Kenapa aku tidak bisa mengingat sesuatu?" ujar Killa kebingungan.
Agaknya benturan hebat membuat dirinya melupakan semua memori yang tertanam dalam ingatan. Apa mungkin Killa lupa ingatan?
**** Bersambung **