Chereads / überleben / Chapter 1 - Prolog

überleben

Alda_Purnama
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

15 Maret 2016

_______

Hari itu mungkin mejadi hari yang paling membahagiakan. Rintik-rintik hujan perlahan turun, diikuti oleh cahaya matahari pagi yang hangat. Membiarkan cahaya itu membias, kemudian melengkung membentuk pelangi. 

Diriku masih bermalas-malasan di atas kasur. Bergulung nyaman diantara selimut tebal berwarna coklat yang baru kutemukan kemarin setelah dinyatakan hilang dua tahun yang lalu. Sulit, untuk memberi rasa yang sama pada sesuatu yang berbeda. Aku menangis tersedu-sedu seperti orang gila, bahkan sampai demam hanya karena perkara selimut dengan bulu usang. Kakakku sampai pusing melihat tingkahku, dia lalu membeli selimut yang sama, warna, tekstur, dan lebarnya tidak ada perbedaan. Namun tetap saja, perasaan ketika memakainya berbeda.

Dan kemarin malam, saat disuruh membersihkan kamar yang telah bereformasi menjadi gudang, tiba-tiba saja selimut kesayangku itu muncul. Aku berteriak kencang sampai terbentur pada meja reyot karena kesenangan. Kakakku yang di depan pintu bersama suaminya merasa was-was, mengira diriku sudah gila karena tugas sekolah yang terus menumpuk.

Hahaha, itu cukup memalukan untuk dijadikan cerita sebenarnya. Aku terkekeh pelan dengan mata tertutup mengingatnya. Suara rintik hujan bertambah keras membentur atap apartment. Semakin kueratkan selimut dan juga guling untuk menikmati momen tersebut.

"Kamu jadi pergi? Hujan gini, cuaca lagi nggak baik. Besok aja kenapa sih? Jangan nekat deh."

"Nggak bisa Ren, ini urusan penting. Kalau aku berhasil dalam proyek kali ini, kita bisa dapat untung besar. Mama sama papa pasti bakal bangga, apartment ini bakal diganti sama rumah yang besar dan mewah, itu impian kamu kan? Cita-cita yang harus kita raih tanpa campur tangan orang tuaku."

"Iya, bener. Tapi aku juga khawatir tahu kamu harus pergi saat cuaca nggak lagi stabil, bentar hujan bentar panas, kamu nggak takut apa?"

"Kan kita bisa doa."

"Bukan kayak gitu sayanggg, kamu ah nggak ngerti. Yaudah pergi aja sana."

Sayup-sayup suara perdebatan itu terdengar dari dapur. Aku yang memang mendapatkan tempat tidur di ruang tengah, tepat di depan tv dengan beralas kasur lipat berkualitas lembut ditemani dengan lebah berukuran sedang merasa sangat terganggu.

Ya, ya, ya, memang tempat tinggal ini milik mereka. Tapi, apa tidak mungkin mereka bisa mengecilkan suara supaya putri rebahan ini dapat menikmati tidurnya.

"ESLYN!!"

Teriakan itu menggema di setiap sudut ruangan. Membuat mataku yang sulit terpejam semakin tak bisa terpejam. Astaga, ini hari minggu. Hari baik, hari bahagia sebelum kembali depresi ringan besoknya. Kenapa kak Eren tidak bisa mengerti sih? Kalau terus-terusan begini, aku bisa gila asli bukan palsu lagi.

"Eslyn bangun!!! Astaga, ini anak cewek satu kenapa susah banget dibilangin sih."

Terdengar suara langkah kaki yang mendekat, kueratkan kembali selimut, memeluk guling, dan mengadahkan wajah pura-pura tertidur pulas.

"Eslyn, kakak bilang bangun. Kamu tuh ya, ini udah jam sepuluh tapi masih asyik molor, mau dapet apa kamu nanti? Kakek-kakek?"

Ih, mulutnya nggak bisa difilter. Menggunakan kemampuan akting yang profesional, aku menggeliat di tempat seperti orang tidur yang terusik.

"Ribut, kakak apa sih?" Kataku sok kesal.

Kak Elena melipat kedua tangan di depan dada. Alisnya menekuk ke bawah, sedang dalam mode marah. Berdoa saja, semoga aku bukan pelampiasan kemarahannya.

"Apasih-apasih, bangun. Jam segini masih tidur, udah mau siang juga, tuh cucian numpuk nunggu kamu belai, sana, habis itu cuci piring terus nyapu di ruang tamu, debu banyak banget."

Aku melongo mendengar ucapannya. Enak saja, semua pekerjaan rumah dilimpahkan kepadaku. Masa iya, penderitaan di sekolah tidak cukup untuk menghukumku.

"Banyak banget. Aku tuh capek, kakak kalau gitu kerja apa coba? Masa cuma santai cumbu-cumbu sama suami tercinta," mataku melirik sinis.

Tangan kak Elena melayang pura-pura ingin memukulku. Matanya melotot seperti ingin keluar dari cangkangnya.

"Jangan bantah. Coba hitung udah berapa lama kamu nggak beberes, dari senin sampai sabtu kakak semua yang kerjain, kamu setiap disuruh alasannya selalu kerja tugas, ada tugas. Kakak juga butuh istirahat ya, urus kamu, Eres, sama Sayn itu berat. Bayangin aja kakak sendiri urus kalian yang kelakuannya lebih bayi daripada Eres, stress tahu mana nggak pernah diajak jalan. Jangan pancing emosi, kakak potong uang jajan, nangis kamu."

Ceramah panjang itu seperti air salju yang dituangkan dikepalaku yang berkepul api. Hhh, wajahku langsung menekuk malas. Hanya beberapa kata yang kulontarkan tapi dibalas dengan seribu dua ratus huruf dengan suara tinggi.

"Nggak usah masang muka jelek, muka kamu udah jelek dari lahir."

Mataku kembali memandang wanita dengan anak satu itu sinis.

"Kalau aku jelek kakak apa dong? Di bawahnya jelek, apa tuh?"

"Ngelawan lagi, mana tuh mata ngeselin banget, rasanya mau kakak keluarin terus buang ke bawah,  kesambar petir biar nyaho," dia mengambil boneka lebah lalu melemparkannya padaku.

"Cih, sikopat," umpatku pelan.

Kak Elena berlalu masuk ke dalam kamar. Aku mengikat rambut asal, melipat selimut, merapikan bantal, guling, lalu menyimpan pada meja kecil dekat tempat tv. Kasur lipat tak ikut kurapikan, cukup memastikan bahwa tidak ada kotoran, hewan, atau sejenisnya. Soalnya, Eres, bayi berumur satu tahun itu yang gemar berbaring sambil menonton kartun yang menurutku sudah sangat monoton.

Opsi pertamaku adalah mencuci piring sekalian bisa sarapan juga. Aku berjalan ke dapur, yang ternyata kak Sayn masih ada disana melamun menatap gelas mug tinggal yang tinggal ampas kopinya saja.

"Kak Sayn nggak kerja?" Tanyaku basa-basi mengambil piring yang tersisa.

Dia menatapku terkejut, karena membuyarkan lamunannya.

"Eh, iya. Nanti tunggu hujan reda dulu."

Kepalaku mengangguk dengan Mulut penuh. "Emwang kwak Sayn benerwan mau ke Romwa lagie?"

Kening pria itu berkerut bingung. "Roma? Perasaan kakak belum pernah kesana."

"Eh? Nggak pernah ya," ucapku tak acuh, "tapi tadi ribut-ribut mau terbang kemana, medan?"

"Kamu tuh ada-ada aja. Mana ada ke Medan, sebenarnya tadi kakak izin sama Lena mau ke Belanda, lagi," dia terkekeh kecil.

"Uhuk, uhuk," tenggorokanku mendadak menolak sesendok nasi yang ingin kutelan. Tanganku memukul meja dengan keras.

Kak Sayn yang panik langsung menuangkan air putih ke mug yang ada di depannya. Aku langsung menerima dengan senang hati, namun sedetik kemudian, mulutku menyemburkan air yang telah tercampur ampas tersebut.

"Aish, kak Sayn keterlaluan."

"Ya, maaf, maaf. Kakak tadi refleks, maaf."

Aku mendengus kesal. Mengusap dagu dengan kasar, sarapanku tidak berjalan lancar. Tanganku gemetar meraih glass pitcher kemudian menuangkan ke dalam gelas yang kuhabiskan dalam sekali tegak.

"Rasanya seperti is dead," mataku menatap kak Sayn yang masih berdiri dengan raut khawatir.

"Kenapa kak?"

"Kamu beneran udah baik?"

Tanganku mengibas santai. "Ya, ya, itu hal kecil doang, udah kumaafin kok. Tapi kak, aduh sepertinya harus ada penebusan untuk tenggorokanku."

"Kenapa? Mau dibawa ke rumah sakit?"

"Nggak gitu."

"Terus?"

Mataku melirik-lirik manja ke arah wastafel tempat piring musuh itu bersarang. Ah, ini seperti keajaiban ditengah kesialan yang menimpa.

"Kak Sayn masih lama pergi kan? Tuh lihat hujannya ngeri euy, maka gitu gimana kalau kakak cuci piring aja," usul dengan senyum dan mata berbinar.

Pria itu lagi-lagi memasang wajah bingung tambah terkejut. "Tapi, kayaknya tadi kamu yang disuruh sama kakakmu deh."

"Adoh, ada yang mau dimaafin nggak seh?" Lirikku sok marah.

"Gimana kalau diganti uang aja? Soalnya kakak takut kakakmu marah nanti."

Cih dasar, penakut. 

"Nggak bisa huhu, soalnya aku juga mau cucian, mana suruh bersihin debu di ruang tamu lagi padahal nggak ada debu hhh. Kak Sayn nggak perlu takut gitu kali, lagian nanti kalau kepergok sama kak Elen dia pasti bakal senyum-senyum malu sambil bilang dalam hati aww suamiku rajin sekali, gituu."

Tawa kak Sayn seketika pecah. Aku hanya mengangkat bahu melihat hal itu. Bukan rahasia lagi sih, kalau kak Elena itu sangat galak. Orangnya juga gengsian, berbanding terbalik dengan apa yang kukatakan tadi. Itu sebabnya suaminya tertawa hebat sampai sakit perut dan menangis.

"Sumpah ya, kakak aduin abis kamu di tangan Lena."

Bibirku mencebik ke bawah. "Satu kali aduin seribu hari puasa bicara sama kak Sayn."

Pria itu mendadak kicep. "Parah Lyn, becanda doang."

"Ya, ya, ya, ini jadi nggak? Nanti nggak ada yang kelar singanya keburu keluar."

Senyum hangat muncul diwajah kak Sayn. Mengangguk kecil, dia mengulurkan tangannya kearahku kemudian kujabat dengan anggun layaknya bos besar dengan peinvestasi asingnya.

Semoga deal kami membawa berkat, amin.

***

Sepertinya baru sedetik tadi aku bangun dengan misuh-misuh dalam hati. Kini malam telah tiba, menggantikan siang tadi yang hanya ditemani hujan yang seperti tak mau berhenti untuk turun.

Mulutku asyik mengunyah kerupuk jagung, pandanganku sibuk menatap laptop yang menayangkan film fantasi favoritku. Astaga, aku tersenyum-senyum sendiri saat wajah pemeran favoritku disorot dalam jarak dekat.

"Huaa, cantik banget, mana keren lagi," teriakku kegirangan saat tokoh perempuan tersebut menerima panah beserta busurnya dari seorang kakek tua.

"Eslyn!"

Panggilan alarm lagi. Bersunggut kesal, kujeda film tersebut, kemudian berjalan ke sumber suara, lebih tepatnya penganggu kesenangan.

"Paan kak?" Tanyaku dari balik pintu kamar.

"Masuk sini, ngapain di luar situ hah? Nunggu sembako."

Sialan kak Elena. Bibirku mendumel sembari mendorong pintu, masuk ke dalam kamar menatap ke arah dua koper besar yang ada di dekat lemari.

"Jagain ponakamu dulu."

"Hah?" Tanyaku gagal paham. 

Kak Elena tampak selesai siap-siap. Dia tampak cantik menggunakan dress biru muda selutut dengan rambut panjang hitam yang diikat.

"Kakak mau temenin Sayn ke kantor ambil berkas yang ketinggal buat besok, kamu jagain Eres dulu. Tuh, dia ada di balkon."

Kaki menghentak ke lantai, wajahku berubah masam yang dibalas dengan lototan mata.

"Kasih ikut aja sih, nanti nangis dia ditinggal sama aku."

"Kakak cuma sebentar, lagian habis hujan nanti masuk angin, kayak bisa rawat Eres aja kalau sakit."

Mengumpat kepada kakak dosanya sebesar apa sih? Aku saat ini sangat kesal sampai menjambak rambut sendiri, kak Elena dan suaminya benar-benar menyebalkan hari ini.

"Terus apa bedanya Elense anak lo main di balkon yang otomatis kena angin malam, otak lo hilang atau abis di jual sih, ish."

Prak!!

"Awww, sakit."

Tanganku refleks memegang kepala yang terkena sandal tidur. Kak Elena tersenyum sinis sembari berkacak pinggang menatapku dengan penuh kemenangan.

"Siapa suruh berani banget. Bicara kasar lagi kakak kuncir itu mulut kamu, supaya kapok."

"Maaf," kataku setengah hati.

"Maaf, maaf," cibirnya.

Kak Sayn muncul dari balik pintu balkon dengan mulut yang menahan kekehan. Tuhkan, dia pasti mengejekku, sama saja seperti istrinya yang galak seperti singa itu.

"Ayo pergi," ajaknya mengambil jaket yang ada di atas kasur.

"Tuh sana jaga ponakanmu, jangan main hp aja, kalau jatuh kakak bakal jatuhin kamu juga."

"Dih? Sama adik sendiri kok gitu."

"Makanya, jagain baik-baik," balasnya sewot.

"Iya, iya."

Kak Elena mengeplak kepalaku sembari berlalu. Yang kemudian dielus pelan oleh suaminya. Tapi tetap saja, aku masih kesal dengan kak Sayn karena kejadian pagi tadi. Gara-gara ketahuan induk singa, aku jadi harus menambah tugas dengan mengepel lantai dapur sampai kinclong. Kak Sayn sama sekali tidak memberi pembelaan, malah menyudutkanku dengan fakta yang ada.

Padahal dia bisa berbohong. Dasar, tak berperi adik iparan sekali.

"Jangan sentuh, kita nggak kenal!"

Kedua pasangan itu hanya tertawa di atas penderitaanku. Huh, awas saja aku akan membalasnya nanti.

"Kakak bakal kunci pintu dari luar."

"Hm."

Aku kemudian melangkah ke arah balkon setelah menutup pintu kamar. Kulihat Eres disana tengah bermain dengan boneka lebahku yang sudah dijatuhi liurnya. Tenang saja, liur anak bayi tidak bau kok jadi tidak masalah.

"Aduh ponakan tante lagi ngapain, hm? Main apa itu?" Jiwa sok keibuanku keluar setelah dia menatapku.

Eres baru saja berusia setahun. Giginya baru tumbuh dua di tengah, jalan pun masih tersungkur. Anak itu juga baru bisa berkata dada sama yaya.

"Yaa, bunda sama ayah lagi pergi. Kasihan Eres nggak dikasih ikut. Sini sama tante cantik aja, kita main di dalam."

Dengan tersenyum, tanganku mengangkat badannya yang ringan dan kecil. Kemudian berjalan masuk, baru selangkah anak itu sudah menangis seolah tak ingin meninggalkan balkon yang tak ada istimewanya itu.

"Kamu mau disini, iya?"

Kataku meletakkannya, yang ajaibnya Eres langsung berhenti menangis. Anak itu bahkan lansung tertawa sampai matanya berbentuk bulan sabit ke arahku.

"AAAAA."

Teriakku frustasi setelah menyadari bahwa film favoritku tak akan habis kutonton malam ini. Huhu, Pevensie bersaudara maafkan aku.

~~~~~

16 Maret, 2016

"Harus banget ya kak?" Tanyaku berhenti di koridor kelas sembilan. Mataku menatap langit yang tertutupi awan putih sepanjang pengelihatan.

"Ini mendadak Lyn, cepet kesini! Pesawat Sayn berangkat jam empat nanti."

"Aduh kak, tapi aku ada janji sama temen hari ini."

"Pentingan mana kakak sama temenmu?"

Kalau disaat seperti ini saja dia terlihat layaknya seorang kakak perempuan yang sangat lembut.

"Yaudah iya, aku bakal langsung kesana, ih ganggu waktu anak muda aja deh, nyusahin."

Hanya suara tawa puas yang terdengar dari balik ponsel. "Ini baru awal, kalau kakak sama Sayn beneran udah pergi nanti, kamu bakal lebih repot jaga Eres sambil sekolah. Tapi kakak doain deh kamu dapet cowok yang bisa diandelin, supaya bisa bantu urus Eres juga."

"Heh ngomong apa coba??! Aku masih smp nggak ada cowok-cowok, kakak ini pling-plang banget."

Apa-apaan coba. Dia yang menyuruhku supaya fokus sekolah, sekarang dia juga yang bahas tentang cowok, labil sekali.

"Tapi udah mau sma, ciaa."

Hih, itu suara Kak Sayn. Bisa-bisanya dia menyahut saat aku masih bersikap acuh kepadanya.

"Udah dulu deh ya kak, aku ke bandara sekarang kirim lokasi tempat kakak sekarang nunggu biar nggak lama."

Tanganku menekan tombol merah. Secepat itu juga pesan info lokasi memberi notif. Aku kemudian melangkah cepat sembari mengetik pesan kepada Yela bahwa aku tak sempat berkumpul dengannya karena ada urusan.

Karena tak fokus kepada jalan, aku hampir saja jatuh ditangga andai tak ditolong oleh seseorang yang tak sengaja berpapasan denganku.

"Makasih," kataku dengan jantung yang berdetak kencang, kaget.

"Lain kali jangan ceroboh," pemuda itu berujar datar. Wajahnya tak terlalu kukenali karena tertutupi oleh tudung jaket.

Atau karena dia memang bukan anak smp sini?

"Muka lo bonyok," kataku sedikit ngeri. Terdapat banyak bekas lebam dan robekan pada bibir dan pelipisnya.

"Ya."

Aku ingin segera berlalu saat mendengar satu kata itu. Tapi sepertinya jiwa malaikatku menggila saat melihat setetes darah mengenai lantai tangga yang putih.

"Hidung lo berdarah," tanganku gemetar merogoh sapu tangan bergambar beruang mini kecil milik Eres yang tak sengaja kuculik tadi karena sangat imut, "ini buat lo. Bersihin cepet gue buru-buru soalnya."

Tanpa banyak bicara pemuda itu mengambil sapu tangan kemudian membersihkan hidungnya pelan. Ujung sepatuku mengetuk lantai sembari menghintung mudur angka 100-0.

"Hoi jangan lari lo!! Dasar anak pembawa sial."

Tubuhku terhuyung hampir jatuh saat pemuda berpakain hitam itu lari tanpa mengembalikan sapu tangan milikku. Kemudian suara lari terdengar dari arah bawah menuju ke atas sepertinya dia sedang di kejar oleh anak nakal sekolah.

"Hai, Eslyn kayaknya kita udah lama nggak ketemu," aish, ternyata dia jadi korban selanjutnya Zaus. Anak orang kaya sekaligus pemegang terbesar yayasan di beberapa sekolah di kota ini.

"Heh, iya udah lama. Gue sampai kira lo udah di panggil sama yang maha kuasa," kataku sarkas, menatapnya tak minat, "tapi gue lupa lagi, kalau yang selalu diambil Tuhan kan orang baik, bukan yang iblis kayak lo."

"Uhu, iblis tapi lo demen kan?" Tanyanya percaya diri.

Mataku memutar malas. Meladeni orang seperti dia buang-buang waktu saja.

"Bermimpi aja Zaus, soalnya semua orang berhak untuk bermimpi kok, sekali pun itu orang jahat."

Tanpa menunggu perkataan yang akan dilontarkan mulut kotornya lagi, aku menuruni tangga secepat mungkin guna menghemat waktu.

Kak Elena and family, aku datang.

***

"Kenapa nggak sekalian malam aja baru dateng, biar keponakan kamu diculik terus kakak gantung kamu di pohon toge."

"Jahat banget," cebikku lalu menengak minum orange jus dengan nikmat.

Kak Elena hanya menatapku jengah. "Stop Eslyn, menunda waktu itu bukan hal yang baik. Banyak yang bisa terjadi dalam satu menit jadi kakak minta kamu harus pandai-pandai dalam mengatur waktu."

Entah kenapa, rasanya ceramah kak Elena kali ini sangat menyentuh hati. Aku tidak berani membantah atau pun memotong ucapannya.

"Maaf, tadi aku sempet nolong orang yang lagi ingusan darah."

Dahi kak Elena berkerut, dia lalu melirik ke arah Sayn yang memasang eskpresi sama dengannya.

"Maksud kamu apa?"

"Mimisan," mataku berkedip-kedip menatapnya.

"Ya, lain kali harus lebih pinter atur waktu lagi. Susah loh Lyn kalau kakak nggak bakal ada lagi ingetin kamu," kak Elena mengambll alih Eres yang tertidur dari gendongan Sayn.

"Iya, iya."

"Kakak bakal ikut juga ke Belanda."

Aku yang sedang fokus memikirkan sapu tangan beruang menoleh. Tak berkedip menatap kak Elena yang memperlihatkan ekspresi bahwa dia tidak sedang bercanda atau pun berbohong.

"Yaa, kak Elen jangan tinggalin aku dong."

Kelopak mataku terasa berair. Sungguh, ini pertama kali aku emosional di depan wanita itu selama hidup dengannya. Apa, aku merasa bahwa perkataannya itu menyakitkan. Kita tidak pernah berpisah sampai dia benar-benar memiliki keluarga sendiri. Dia selalu ada untukku mulai dari bayi sampai umurku menginjak 15 tahun. Saat orang tua kami benar-benar pergi untuk selamanya, kak Eren yang mengantikan peran mereka. Memelukku dari segala kepahitan yang kualami.

Dan untuk pertama kalinya dia ingin pergi, itu cukup menyakitkan untukku.

"Nggak bisa gitu dong, kakak pengen temenin Sayn."

"Tapi kak Sayn bukan anak kecil lagi, udah berapa kali juga bolak-balik sendirian nggak kenapa-napa."

Senyum manis muncul di wajah Kak Elena. "Sebenarnya ini rahasia, tapi kakak sama Sayn mau sekalian bulan madu juga."

Mataku melotot tak percaya. "Ish, kan udah bulan madu tahun-tahun kemarin, masa bulan madu lagi dah punya anak juga."

"Nggak ada undang-undang kali yang ngelarang suami istri bulan madu dua kali, lagian waktu itu kamu ikut kan, ganggu waktu kita berdua aja."

Bibirku mencebik kesal. Mataku melirik sinis ke arah kak Sayn yang baru saja datang sambil membawa dua tiket di tangannya.

"Ayo, Lena."

"Jadi beneran? Kak Elena mau ikut?" Tanyaku tak menyembunyikan kesedihan.

Tersenyum hangat, wanita itu melangkah memelukku setelah membiarkan Eres diambil alih oleh ayahnya. Rasa hangat menjalar di hatiku saat membalas pelukan kak Eren dengan kuat.

"Nggak bakal lama kok, janji deh. Kamu sehat-sehat disini, jangan nakal, jangan banyak nonton film juga, belajar yang rajin biar bisa dapet nilai yang bagus biar bisa sukses kayak keinginan yang kamu impikan."

"Iya ih, bawang ucapannya jadi deres gini," kataku menarik ingus yang hendak keluar.

"Jorok banget, Eslyn," dia mengeplak kepalaku ringan.

Aku tertawa lalu kembali memeluknya.

"Kakak titip Eres ya."

"Hah?" Kataku cengo, melepas pelukan.

Senyum diwajah kak Eren masih saja membias.

"Namanya bulan madu yang pasti berdua doang, kalau Eres ikut namanya tahun madu dong."

Apa? Sejak kapan kak Eren bisa melepar guyonan garing seperti ini?

"Tapi itu ribett asli kak Elen, nanti aku bakal sibuk sekolah, les, terus kelas tambahan, emang bisa urus Eres?"

"Bisa dong, kan kamu saudaranya wonder woman."

"Nggak ih, titip sama oma-opanya aja, gimana? Mau nggak mereka?"

Seketika terjadi keheningan diantara kami. Mulutku sepertinya tidak bisa direm mau asal ceplos aja. Tapi, sungguh memikirkan Eres di tengah kesulitan anak bangku terakhir membuatku stress ringan.

Kak Sayn menatapku hangat. Dia berjalan merangkulku dan kak Eren yang terdiam kaku di tempatnya menerima Eres yang masih saja terlelap tidur.

"Kan keluarga kita cuma 4 orang Lyn, kamu kak Elen, kakak, sama Eres. Kalau kita pergi otomatis kamu yang harus jaga, nggak ada orang lain, nggak ada oma-opa, yang ada cuma Eslyn, tante yang pasti bisa rawat anak kakaknya penuh kasih sayang, seperti kasih sayang kakakmu ke kamu, paham kan?"

Lagi-lagi air mataku mengalir deras. Kupeluk tubuh kak Sayn dengan erat seraya mengusap ingusku dibalik jasmya yang rapi.

"Oke deh, aku bakal jaga Eres comel kalau gitu."

Akhirnya kami semua berpelukan. Kak Elena berulang kali mengingatkanku tentang ini dan itu, dia juga memberitahu kalau Eres sudah terdafrar dalam tempat penitipan anak selama aku sekolah nanti.

Sudah hampir pukul empat. Pengumuman tempat keberangkatan kapal mereka telah bergema semenit yang lalu.

Aku mengambil alih Eres yang tak merasa terganggu dengan kebisingan. Dia lalu kuletakkan pada kereta dorong yang menganggur.

"Jaga diri baik-baik," Kak Elena memelukkku, mencium pucuk kepalaku, dan kedua pipi putranya.

"Kakak juga sama kak Sayn jaga diri, hati-hati, jangan bikin ponakan yang banyak, ngeri," balasku menyalami tangannya.

"Ehm," dehem kak Sayn kikuk.

"Nggak niat cium sama peluk juga nih? Mumpung kunci omongnya dibuka," kataku melirik tak jelas.

Pria itu terkekeh kecil. Maju selangkah membawaku kepelukannya yang sehangat kak Eren.

"Oke putri rebahan, mau oleh-oleh apa nanti?"

Bibirku tersenyum melepas pelukan. Kemudian menggeleng kecil ke arah mereka.

"Aku nggak butuh oleh-oleh, cukup kak Elena sama kak Sayn pulang aja nanti selamat, aku udah senang sama bersyukur banget, aku cuma nunggu pelukan sama ciuman kalian lagi dan bilang aww adekku aku balik, kamu tambah cantik aja sini peluk."

Kami bertiga tertawa mendengar ucapanku. Sebelum mereka berdua benar-benar pergi, menghilang dari balik pandanganku. Ah, hatiku sedih sekali.

Tapi tenang Eslyn, kita bakal bertemu sama mereka lagi seminggu lagi disini. Jadi, ayo pulang dan urus bayi kecil comelmu ini.

***

Aku terbangun dari tidur karena mendengar suara tangisan bayi. Melirik jam yang menunjukkan pukul delapan malam. Ternyata aku tertidur setelah melaksanakan sholat isya.

Mataku lelah menatap Eres yang hampir terjatuh dari atas kasur. Jantungku berdegup setengah mati menatap bayi kecil itu bercucuran air mata, seperti seseorang yang menangis karena ketakutan.

"Aaa anak comel, tenang ya. Tante disini kok. Jangan nangis lagi," kataku bingung cara menghentikan tangisannya.

"Huhuhu, kenapa sih? Ada masalah apa?" Tanyaku seperti orang gila.

Tangisan Eres semakin menjadi. Aku yang kalut tak berpikir panjang langsung mengambil sweater yang tergantung di balik pintu lalu mengenakannya. Tanganku lalu cekatan memakaikan kaus kaki dan tangan kecil kepada Eres. Tak lupa juga topi rajut untuk menutupi kepala hingga teliganya agar tetap hangat.

"Ayo, kita jalan."

Kugendong Eres hingga ke ruang tamu. Meletakkan pada kereta dorong, lalu berjalan keluar menuju tangga lift. Dengan tujuan lantai 50-1. Sepertinya ini sedikit menghiburnya, terbukti anak itu sudah berbenti menangis.

Kami berjalan-jalan sebentar. Memutari lobi, lalu keluar ke jalan menghidup udara segar sehabis hujan deras beserta angin kencang saat pukul lima sore tadi.

Opsi terakhir yang kupilih adalah memasuki sebuah market kecil yang berada tak jauh dari apartment. Biasanya aku kesini jika kak Eren kehabisan stok gula dan bahan dapur lainnya.

"Kamu mau es krim?" Tanyaku kepada Eres yang mengacuhkanku.

Astaga, umurnya belum bisa untuk memakan es krim. Kalau orang tuanya tahu aku pasti sudah habis di geplak. Tapi tak apalah, aku akan membeli untukku sendiri.

Seraya menunggu antrian yang lumayan panjang, aku memilih untuk melihat siaran tv yang tersedia di market tersebut. Hal ini sudah biasa kulakukan jika lupa memawa ponsel.

"Siaran berita terkini, dikabarkan dari pengitaian yang dilakukan bahwa pesawat dengan tujuan Belanda, jam terbang 16:00 mengalami gangguan. Sampai detik ini kita kehilangan titik kontak saat terjadi badai sore tadi. Kemungkinan besar pesawat jatuh karena cuaca yang buruk, seperti itu laporan terkini, kami akan datang dengan kabar baru nanti, sekian."

Waktu terasa berhenti berputar. Mataku mengerjap kecil mencoba menahan diri agar tidak tumbang. Nafasku memburu, jantungku berdetak kencang. Mungkin ini hanya mimpi. Iya, mimpi. Semua yang terjadi hanya semata karena tekanan ketakutan yang kualami.

"Kasihan banget."

"Astaga, lagian kenapa harus terbang kalau tahu cuaca sedang buruk."

"Semoga keluarga yang ditinggal tabah dengan cobaan ini."

Air mataku mengalir deras. Kutampar pipiku kuat demi membangunkan aku dari mimpi ini. Tapi rasa sakit dan jeritan Eres menamparku secara tak kasat mata.

"Nggak!!! Nggak!!! Kak Elen, kak Sayn, nggak!! Nggak!" Teriakku mengema di market tersebut.

Semua orang menatapku heran, mulai mengerubungi pandanganku mengabur. Sayup-sayup kudengar mereka mengatakan bahwa aku adalah salah satu korban keluarga yang ditinggalkan.

Aku menolak itu! Aku tidak ingin kehilangan keluarga lagi. Cukup mama dan papa saja. Mereka berdua jangan.

Pada akhirnya aku cuma bisa menangis seperti orang bodoh. Perlahan tubuhku melemas, kepalaku pusing, yang terakhir kudengar hanya suara tangisan Eres yang seperti lemon cuka yang diperas pada luka baru saja kering, sangat menyakitkan dan juga menyiksa.