25 Juli, 2017
______
Siang ini terasa sangat panas. Matahari tak hentinya menambah suhu hingga membuat beberapa murid yang sedang bersantai sambil memainkan basket mengangkat tangan dan mulai beristirahat.
Aku yang sibuk membaca di tribun penonton mendongkak saat seseorang menempelkan sekaleng minuman coklat di pipiku. Mataku melotot menatapnya, dia hanya memberi cengiran tak jelas.
"Gue lama ya?" Yela bertanya, duduk di dekatku sembari merapikan rambutnya.
"Nggak kok, tapi cukup buat gue muak sampe mau patahin tiang ring."
"Gila, makin sangar aja," dia tertawa terbahak-bahak. Sampai aku harus menyenggolnya saat beberapa anak basket melirik ke arah kami.
"Jaga image, begoo," bisikku menangkap basah Moran, cowok hits yang hampir satu tahun disukai oleh perempuan itu.
Tersadar, Yela buru-buru menutup mulutnya. Menatapku seolah menjadi orang yang bersalah karena terlambat mengingatkannya. Adeh, rasanya mau kujambak saja rambut coklatnya itu.
"Eslyn, kenapa baru diingetin sekarang. Astaga, muka gue kalau lagi ketawa masih cantik nggak sih? Huh, takut Moran ilffel terus berpaling ke cewek lain," dia menatap wajahnya sendiri menggunakan kamera ponselnya.
Mataku hanya memutar malas mendengar hal itu. Menyadari bahwa semua usaha yang selama ini dilakukan oleh Yela adalah kesia-siaan belaka. Hampir satu tahun, sejak kami masuk SMA Sirius, perempuan itu gila-gilaan mengejar Moran. Katanya dia jatuh cinta karena pernah diberitahu kalau papan namanya terbalik saat masa orientasi.
Aneh sekali. Harusnya Yela malu dengan hal itu, tapi dia malah menjatuhkan hatinya kepada pemuda yang notebenya sudah mempunyai pacar. Kakak kelas, yang terkenal posesif dan tukang labrak.
"Moran emang udah punya cewek Yela, mau gue jedotin kepala lo di kursi atau di tembok koridor nanti supaya sadar kalau cowok yang lo kejar itu udah ada pawangnya," kataku gemas menutup buku.
Nampaknya Yela tidak mempedulikan omonganku. "Udah ya Eslyn seyeng, namanya cinta nggak bisa dipaksa mau jatuh sama siapa aja, yang penting mereka baru pacaran. Toh, nanti yang diajak Moran ke pelaminan gue, haha."
"Terserah, sesuka lo aja. Nanti juga kalau sakit hati larinya ke gue."
Sebenarnya aku merasa kasihan dengan sahabatku itu. Sifatnya emang agak kecentilan ditambah percaya dirinya setinggi langit yang membuat cowok mana pun yang disukainya akan menjauh karena kadar sifatnya itu yang terlalu berlebihan. Namun, Yela berhak bahagia. Setelah terbebas dari masa galaunya saat SMP kini dia benar-benar bangkit dan kembali bersemangat mengejar cinta lainnya yang mungkin saja akan gagal lagi kali ini.
Maka dari itu sebagai orang terdekatnya, aku akan membantunya mendapat kebahagiaannya. Lagi pula, menurutku Moran lebih cocok dengan Yela yang selalu tersenyum memancarkan aura manis pada dirinya. Ketimbang Olara, ish. Bedak dempul dan lipstik merah merona di wajahnya. Dia tidak seperti anak sekolahan melainkan tante-tante girang yang sedang mencari mangsa di sekolah.
"Mau nggak?" Tawarnya satu botol kaleng kepadaku.
Mataku hanya berkedip menatapnya, menggeleng pelan.
"Kenapa? Panas gini masa lo nggak haus, mana nolak ke kantin lagi. Ini ambil aja," tangannya bergerak-gerak di depanku.
"Heh, bayar nggak nih?"
Dia melotot kepadaku. Merasa bahwa omonganku mencoreng harga dirinya yang sangat mahal itu.
"Yakali sih. Lo mah asal nyeplos aja, gue tuh kasih ini gratisss plus ikhlas. Yang namanya sahabat nggak bakal kasih harga buat sahabatnya, cepetan ambil keburu biasa nanti."
Tersenyum tipis, aku mengambil minuman tersebut. Membuka, lalu meneguknya. Membiarkan air perasa coklat tersebut membasahi mulut serta tenggorokan yang sedari tadi kering seperti gurun.
"Makasih."
"Elah tadi aja sok-sok nolak."
"Bukan gitu, gue tadi ngetes lo doang, siapa tahu aja cuma prank. Dan ternyata minuman ini mau lo kasih ke gebetan."
Yela menoleh kearahku dengan binar mata yang membuatku merasa tidak aman.
"Okee, saran lo bagus banget cuy, iya ya, kenapa dari kemarin gue nggak kepikiran buat ngasih Moran minuman, pasti dia bakal bahagia banget."
Tanganku refleks memukul lengannya ringan. "Lo mikir apa sih, mau di bakar hidup-hidup sama pacarnya."
"Lah? Kan lo sendiri yang bilang tadi, duh."
Aku gemas menatapnya. "Gue kan bilang 'kirain' teken disitu 'kirain'. Lagian gue nggak bakal biarin lo buat ngasih dia beneran, cinta lebih diam aja deh daripada cinta geplakan dari pacarnya."
"Iya juga sih," raut wajah anak itu lesu, "Moran juga ngapa coba pacaran sama tante sekolah, kenapa nggak sama gue aja yang cantik jelita ini. Kayaknya dia kena pelet deh sama Olara."
"Ngomong sembarangan," kataku kembali memperhatikan sebagian murid yang jiwa basketnya tak pupus meski sudah seperti panggangan daging.
"Oh iya, hm, Lyn kabar Eres gimana? Dia sehat aja kan? Rindu sama anak comel," Yela berusaha terdengar riang. Meski kutahu anak itu pasti merasa tak enak hati menanyakan hal itu.
Kepalaku menoleh kepadanya, tersenyum kecil. "Dia baik aja kok, malahan tingginya nambah. Eres udah bisa jalan tambah sempoyongan lagi."
Bayangku kembali berputar pada kejadian satu tahun yang lalu. Dimana saat itu, keterpurukan, kesedihan, dan rasa ingin mati terus menghatuiku setiap hari. Kehilangan orang yang kita cintai, seseorang yang selalu bersama setiap saat bukanlah hal mudah yang bisa kurelakan.
Kak Elena adalah sebagian hidupku. Dia yang menjagaku saat papa dan mama harus benar-benar pergi karena tragedi kecelakaan kereta api. Membuat kami berdua kehilangan tempat untuk bersandar selamanya. Tapi kak Elena adalah sosok yang kuat. Di saat umurnya yang seharusnya menghabiskan waktu bersama teman-temannya, dia malah memilih untuk merawatku yang masih sangat kecil dan tak tahu apa-apa. Kasih sayangnya sangat tulus meski sering mengomel atau memarahiku.
Belasan tahun kemudian Kak Elena sudah resmi berstatus sebagai istri orang. Dia seharusnya meninggalkanku untuk pergi dengan keluarganya sendiri, tapi tidak. Dia merangkulku, meminta agar aku ikut dengannya, tak membiarkan adik kecilnya ini terlunta-lunta oleh kejamnya dunia. Kak Elena juga Mengatakan bahwa dia tidak akan pergi jika Sayn tidak membolehkanku ikut dengannya juga. Yang tentu saja dijawab anggukan oleh pria itu. Kak Sayn sangat baik. Dia juga meyayangiku dengan sepenuh hati, tak pernah mengeluh walau aku sering menjahili dan menatapnya sinis saat sedang kesal.
Mereka berdua adalah keluargaku. Sudah kuanggap sebagai orang tuaku. Namun diambil oleh Tuhan, lagi.
Sangat susah untuk bangkit selama satu tahun terakhir. Aku bahkan pernah jatuh sakit tapi tetap sekolah dan harus merawat Eres dengan baik. Fisikku memang tak sekuat itu, lelah terus mengerayangi tubuhku. Pikiranku kalut dan sering berpikir melakukan tindakan nekat. Tapi, semuanya berubah saat mataku menangkap senyuman Eres yang membuat hatiku menghangat. Satu-satunya, keluarga yang tersisa kini hanya dia. Maka dari itu, aku harus lebih ekstra lagi agar sukses dan dapat memberi hidup yang layak untuknya.
"Eslyn."
Aku tersentak saat Yela menguncang bahuku pelan.
"Kenapa? Kok mendadak ngelamun?"
"Nggak, gue lagi mikirin Eres aja."
"Yaaa, Eslyn maaf. Gue nggak ada maksud gitu, sumpah," katanya memberi peace kearahku.
"Gue gampar lo kalau minta maaf lagi," tanganku pura-pura melayang kearahnya.
"Iya, iya, ampun tuan putri."
Mataku hanya melirik malas. Kami berdua lalu terhanyut menikmati penampilan duel basket antara kelas X dan XI. Sebelum semuanya kacau saat seseorang dari atap meloncat ke tengah lapangan tersebut.
"Wah," Yela berdiri berteriak kaget.
"Woi lu apa-apaan," kata salah satu anak kelas XI yang langsung melempar bola basket kepada orang yang terjatuh tadi.
"Kalau mau bunuh diri jangan disini, di tempat lain sana. Kita nggak bisa kalau sampai harus berurusan sama polisi hanya karena ulah orang bodoh kayak lo."
Kakak kelas itu terus menghardik. Pemuda berpakaian hitam itu berdiri dengan kaki pincang. Aish, pasti salah satu lengannya patah karena terbentur tadi. Untung saja dia masih hidup.
"Jangan lari lagi! Sini hadepin gue kalau lo berani, tikus got."
Suara tersebut muncul dari arah pintu yang terbuka secara brutal. Muncul Zaus bersama anak buahnya yang bodoh, berlagak seperti super hore yang siap membasmi kejahatan. Astaga, mereka lagi.
"Kejar dia!" Perintah pemuda itu marah saat melihat dia yang berpakaian hitam itu melarikan diri dengan cepat meski sedang terluka.
"Serem," Yela bergidik ngeri.
Kelopak mataku mengerjap cepat saat tak sengaja bertatapan dengan Zaus. Sial sekali, kenapa harus bertemu dia di saat seperti ini.
"Ayo pergi," ajakku cepat.
Yela yang mengerti langsung membenahi buku bacaan tadi, memeluknya. Kami berdua menuruni tribun seperti orang kesetanan. Berniat melewati pintu sebelah kiri yang dilewati pemuda berpakaian hitam tadi kabur. Meski harus berputar dua kali untuk sampai ke kelas.
"Nggak mau nyapa gue Eslyn," kata Zaus sembari berjalan cepat ke arah kami.
"Si anjir sok ganteng banget," kesal Yela melihat salah satu antek Zaus menutup pintu, "putar-putar."
Aish, terlambat ini mah. Berandalan sekolah itu lebih dulu menghadang kami dengan wajah songong yang minta ditampol.
"Hai Eslyn kita ketemu lagi, makin-makin aja lo ya," katanya tertawa diikuti oleh teman bodohnya.
"Ada urusan apa ya? Gue nggak merasa nggak ada utang tuh sama lo, jadi minggir karena muka lo ganggu mata gue."
"Oh, saking gantengnya lu, gila-gila."
Hah? Aku menatap sinis ke arah pemuda bertubuh gempal tersebut. Dia bodoh atau apa sih, bisa-bisanya memutar ucapanku.
"Bego," ucapku datar.
"Eslyn, padahal gue cuma sapa lo secara baik-baik, tapi kenapa selalu sikap tak acuh yang lo kasih," pemuda itu maju selangkah, raut wajahnya tak terbaca.
Ada sedikit rasa takut dalam diriku. Tapi kalau kuperlihatkan itu akan menjadi boomerang untukku sendiri.
"Siapa nyuruh nyapa?! Dari awal sekolah kita emang nggak deket, cuma tahu sebatas nama doang. Gue juga nggak ngarep disapa sama murid berandalan kayak lo."
Yela berusaha memegang lenganku, dia merasa sangat takut melihat Zaus yang sepertinya ingin memakanku hidup-hidup.
"Gimana? Udah percaya kan, Eslyn Raquel, satu-satunya cewek yang berani ngebantah gue. Ini bahkan bukan pertama kalinya, tapi gue malah makin jatuh cinta."
Teman-temannya bersorak. Aku melototkan mata seraya memasang wajah muak. Pemuda itu, aish. Lidahku bahkan keluh ingin mengatakan apa lagi untuk membuatnya sadar bahwa yang dilakukannya itu benar-benar bodoh.
"Gila."
Zaus hanya tersenyum miring. Tangannya bergerak mencekal lenganku dengan kuat.
"Ikut gue."
"Nggak! Apasih?" Aku berusaha melepas cekalannya yang meninggalkan bekas memerah.
"Lo ikut gue," katanya penuh penekanan, ingin menarik tanganku, lagi.
Aku yang sudah muak menatapnya meradang.
Buk!
Zaus jatuh tersungkur diantara kaki temannya. Aku yang baru saja memberinya satu bogeman mentah tersenyum tipis menatap ke arahnya yang seperti sangat terluka harga dirinya.
"Lukanya nggak seberapa kok, paling hilang cuma tiga hari doang. Jangan bicara sama gue lagi setelah ini, bye."
Tanganku bergerak merangkul Yela yang nampak terkejut dengan asli yang kulakukan. Dia bahkan tak peduli lagi ekspresi yang ditampilkan di depan anak basket saat kami melewatinya.
Salah satu diantaranya tersenyum yang kubalas dengan tatapan sinis, menusuk. Harusnya mereka bergerak menolong kami saat dihadang Zaus tapi mereka hanya berdiam layaknya patung. Cih, dasar lemah.
***
"Udah kenapa sih?" Aku menatap jengah Yela yang masih melamun, sedetik kemudian dia berdecak tak terima, lalu mengusap wajahnya seperti orang stress.
"Sumpah, gue geplak lo kalau gitu terus."
Tangan Yela memukul meja. Dia berdiri lalu menudingku dengan telunjuknya yang panjang.
"Lo! Gue nggak percaya, huh, Eslyn!! Astaga, lo lakuin apa tadi hah? Pukul si ssstt, kenapa sih? Kenapa harus mukul, kan bisa pake cara lain."
Mataku memutar malas mendengar ocehan tersebut. "Kalau gue nggak mukul terus apa? Lo mau gue ikut sama dia, jadi pacar dia, gitu? Woh, gue emang miskin ya tapi harga diri gue nggak serendah itu."
Perempuan itu mendengus frustasi. "Bukan gitu maksud gue, tapi huh, lo tahu sendiri Zaus itu siapa. Kita udah hampir empat tahun sekolah di tempat yang sama, pasti lo tau dong tabiatnya, sama semboyan bodohnya itu, maaf, yang bilang siapa aja yang berani ganggu apalagi sentuh dia akan berurusan sampe mati, ngeri nggak tuh."
Aku terdiam seribu bahasa. Menyadari kebenaran dari ucapan Yela. Astaga, apa yang baru saja kulakukan. Memberi oleh-oleh pada pipi pemuda itu. Tapi kan, dia yang salah. Selalu mengangguku dengan sapaan cringenya itu.
"Kenapa? Baru nyadar lo?"
Tanganku bersidekap dada. "Gue nggak takut sih. Orang dianya yang mulai."
"Astaga nih anak, bukan yang itunya. Orang tua Zaus itu kaya raya, terkenal tuh sayang banget sama anaknya sampai-sampai Zaus bakal tetap dibela walau dia salah, gue cuma khawatir sama lo."
Tanganku mengubah posisi menopang dagu. Merasa terbebani juga dengan ucapan Yela.
"Yaudah sih, doain aja kalau dia lupain kejadian tadi, terus nggak nuntut gue."
"Amin, syukur-syukur dia lupa. Kalau nggak kita bakal minta bantuan mami ini buat bayar pengacara."
"Ngeri weh, gue sumpel juga tuh mulut bacotnya sembarangan."
Yela tertawa lepas, membuatku ikutan tertawa juga. Sedikit keteganganku mencair karenanya.
"Astaga, gue lupa ngasih tau lo," gadis itu menepuk jidatnya.
"Apa?"
"Bakal ada anak baru."
Hah, aku kira beritanya sangat penting.
"Terus? Nggak peduli sih."
"Elah, astaga dia cantik bingit Lyn, gue takut nanti Moran berpaling terus suka sama dia."
Kugeplak kepala anak itu menggunakan buku catatan yang ada di meja. Dia langsung sok mengaduh kesakitan.
"Halu lo kelewat batas, emang lo pikir Moran lihat cewek dikit terus suka apa."
"Gue kan cuma jaga-jaga doang huhu."
Tak kuhiraukan omongannya. Kami berdua berdiam diri, terhanyut dengan aktivitas masing-masing sembari menunggu guru matematika masuk memberi pelajaran.
Bel pelajaran berbunyi lima menit yang lalu. Di luar sana terdengar suara ketukan hak sepatu.
"Selamat siang anak-anak," ibu Jisa masuk menyapa dengan senyum cantik di wajahnya.
Guru berumur tiga puluh tahun itu, tersenyum ke arah siswi berpenampilan cetar dengan rambut ombre ungu yang berdiri di dekatnya.
"Itu anak baru yang gue maksud," bisik Yela.
Kepalaku hanya mengangguk kecil. Merasa biasa saja melihatnya, dia cantik. Tapi, menurutku masih banyak yang lebih darinya di sekolah ini hanya jarang tersorot saja. Modal penampilan berlebihan seperti orang luar yang membuatnya 'lebih' oke daripada lainnya.
"Kali ini kalian kedatangan teman baru, ayo perkenalkan namamu."
Perempuan itu tersenyum cerah, menatap kearah kami. "Hai, kenalin nama aku Angel Star. Pindahan dari London Bright City School, semoga kita bisa jadi teman yang baik."
Idih, basi. Kutebak anak itu masuk dalam kategori orang yang memilih teman untuk masuk ke dalam circlenya.
"Kita harus temenan sama dia."
Mataku memutar malas mendengar omongan murid yang ada di depanku. Ya, mereka mungkin cocok menjadi teman. Sama-sama pemilih tapi punya otak kosong.