"Hanya begitu saja? Mana rasa bersalahmu wahai, Yang Mulia Yohan?" sindir Misellia.
"Apa maksudmu? Bukankah dengan kamu tinggal di sana, berarti aku sudah bertanggung jawab padamu."
"Begitukah?"
Misellia benar-benar tidak menyangka bahwa pria yang coba ia selamatkan dari penghinatan adalah orang yang tidak peka! Lagipula bertanggung jawab yang ia maksud adalah sebuah pernikahan atau setidaknya permintaan maaf yang tulus dari pria itu, namun dari reaksi Yohan yang seperti orang kagok, ia kira itu hanya akan menjadi usaha yang sia-sia.
Misellia mengambil kartu nama tersebut dan uang yang diberikan oleh Yohan dengan kasar, lalu berkata, "Baiklah kalau itu maumu. Aku pergi."
"Apa aku salah bicara?" tanya Yohan sambil menatap punggung Misellia yang sudah pergi menjauh. Setelah menggidikkan bahu, ia pun langsung memerintahkan kepada Afif untuk melajukan mobil dan meminta agar pria itu membawanya ke suatu tempat.
Afif, pria dengan earphone bluetooth itu melihat Yohan melalui kaca spion yang menggantung di dalam mobil.
"Ada apa, Yohan?" tanyanya. Sedikit penasaran dengan tingkah Yohan yang berbeda dari biasanya. "Sejujurnya aku cukup penasaran. Bukankah semalam kamu masuk bersama Alera? Lalu kenapa pagi ini malah keluar dengan Misellia?"
"Itu ...." Yohan memberi jeda. Tanpa sadar ia melamun. Mengingat bagaimana paginya dirusak dengan pergolakan yang cukup rumit beberapa menit yang lalu.
Saat Afif menekan klakson mobil secara mendadak, Yohan tersadar dan mengerjap.
"Tidak ada apa-apa kok," jawab Yohan.
Afif menghela napas panjang. Dia tidak bisa ditipu. "Entah aku yang jago membaca situasi atau memang kamu yang tidak pandai berbohong. Wajah jelekmu itu menggambarkan semuanya, bodoh." Afif menepikan mobil tersebut dan keluar dari mobil.
"Sungguh, tidak ada yang terjadi antara aku dan wanita itu." Yohan berkilah ketika Afif tiba-tiba membuka pintu penumpang dan duduk di sebelahnya.
Tatapan intens yang terlihat mengintimidasi itu membuat Yohan mengalihkan pandangan ke sisi lain.
"Mungkin ada," cicit Yohan.
"Bisa kamu ceritakan detailnya? Mungkin aku bisa carikan jalan keluar?"
Beberapa detik Yohan berpikir, sampai akhirnya ia setuju dan menceritakan semuanya pada Afif.
"Ini bercanda kan?" tanya Afif.
"Menurutmu aku terlihat sedang ingin bercanda?"
"Kok nyolot?" balas Afif yang berhasil membungkam Yohan.
Kini Yohan sadar. Afif cuma memuaskan rasa penasarannya alih-alih untuk memberinya jalan keluar.
"Arrgh!" Yohan membenturkan kepalanya ke bantalan kursi. Kemudian bersiap menumpahkan kekesalannya.
"Bisa gak sih kamu ngasih saran aja, Fif? Aku sudah cukup pusing dengan masalahku sendiri dan ini ditambah lagi!" Yohan memijat kepalanya, pening. Sampai-sampai rasanya ingin meledak saja.
"Kayaknya aku gak punya saran deh, tapi aku ada sedikit wejangan buat kamu."
"Apa?"
Afif tersenyum. "Kata orang, hidup itu seperti bola dunia. Akan berputar bila ada seseorang yang menggerakkannya. Aku gak tau ini bakal nyambung apa enggak, tapi yang bisa aku pastiin adalah ...." Afif menepuk bahu Yohan dan membuatnya sedikit tersentuh.
"Misellia wanita yang baik untukmu."
Seketika Yohan kehilangan ekspresinya. "Baik palamu. Bukannya redain suasana, dia malah makin ngomporin ayahnya sendiri. Baik dari mana orang kayak gitu," tukasnya menahan kekesalan. Berusaha keras agar dirinya tidak kebakaran jenggot saat mengingat sikap wanita itu.
"Memang kamu sudah nanya ke dia apa alasannya lakuin itu?" tanya Afif lagi.
"Sudah. Dia bilang--"
Tiba-tiba Yohan menghentikan kalimatnya. Melihat reaksi Yohan, sepertinya Afif sudah paham. Oleh karena itu, Afif beralih ke kursi kemudi.
"Sudah terpikirkan apa yang harus kamu lakukan saat ini?" tanya Afif sebelum menginjak pedal.
Pertanyaan Afif membuat Yohan termangu untuk sesaat, sampai akhinya ia mengangguk.
"Ayo pulang. Ada sesuatu yang harus aku lakuin," perintah Yohan dan membuat Afif tersenyum lega.
"Siap, Pak."
***
Misellia terlihat memandangi dunia luar lewat jendela bus. Sembari mengamati kendaraan, dalam bungkam ia menahan suara tangisnya agar tidak mengganggu penumpang lainnya. Namun, itu hanya membuat dirinya semakin kesakitan dan sesak.
Saat napasnya terasa mulai menyempit, ia merogoh sakunya dan mencari benda kecil bernama inhaler itu. Kemudian mengesapnya sembari mengusap air mata yang lagi-lagi terjatuh ke pipi.
Setelah turun dari bus, Misellia pun berjalan menyusuri jalan setapak yang menanjak. Sebuah rumah berpagar tinggi dan bertuliskan Kediaman Herlesh di depan sana membuat Misellia tersenyum getir.
"Sejak kecil ayah selalu memaafkan semua kenakalanku. Lalu kenapa dia tidak memaafkan aku di saat kesalahan itu terjadi bukan atas kehendakku?" kata Misellia yang mencoba meyakinkan diri sendiri. Kemudian segera menghampiri seorang pria berseragam yang tengah berdiam diri di dalam pos jaga.
"Pak," panggil Misellia.
"Nona Misellia." Pria itu refleks berdiri saat melihat keberadaan putri majikannya.
"Iya, ini saya, Pak." Misellia beralih pada pagar yang membentang di sebelah kirinya. Hendak mendorongnya, namun sebuah suara menginterupsi dirinya.
"Apa yang kamu lakukan di rumah saya?"
Pria itu menutup pintu mobilnya dengan sedikit bantingan, lalu melangkah menghampiri Misellia yang sudah memasang wajah kesedihan.
"Ayah ...." ucap Misellia parau.
"Jangan sekali-kali kamu menyebut saya ayah. Setelah mempermalukanku, kamu sudah tidak pantas menjadi putriku lagi. Pergi dari sini sekarang!"
"Tidak. Tidak, Ayah." Misellia mencoba mempertahankan diri ditempatnya saat samg ayahnya menarik tangannya untuk pergi dari sana. "Ini hanya kesalahpahaman, Ayah. Misellia dijeb--"
"Diam!"
Misellia tersentak. Kini air matanya sudah mengalir deras saat mendapati tatapan ayahnya yang seolah ingin melahapnya. Bahkan, sepanjang hidupnya pun, ini adalah kali pertama tuan Baron mengeluarkan suara yang begitu tinggi padanya.
"Misellia ...." ucap Alera yang baru saja keluar dari mobil. Tuan Baron mencegat Alera yang hendak menghampiri Misellia di sana.
"Ayah, lepaskan. Aku ingin bicara dengan Misellia, tolong." Alera memohon sambil berusaha melepaskan genggaman sang ayah, namun diabaikan begitu saja oleh tuan Baron. Misellia menggertakkan giginya. Dia tahu betul bahwa wanita itu hanya berpura-pura saja.
"Sebaiknya kamu pergi sekarang, sebelum emosi saya tidak bisa terkontrol lagi," tukas tuan Baron pada Misellia dengan dingin.
Misellia menggeleng-geleng, lalu menjatuhkan lututnya tepat di depan sang ayah sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. "Aku berani bersumpah. Semalam aku dijeb--"
"Saya bilang pergi!"
Tampaknya pria itu tidak ingin mendengar penjelasan sang putri. Dia merasa muak. Diraihnya tangan Misellia secara paksa.
"Jangan pernah kamu datang ke rumah saya lagi!" ucapnya sambil menghempaskan Misellia dari depan rumahnya.
Alera yang melihat pemandangan itu pun melipat tangannya di dada dan tersenyum licik. Sementara Misellia sudah mengusap air matanya di sana.
"Kalau memang itu mau, Ayah ... aku akan pergi. Tapi satu hal yang aku minta." Misellia kembali mengatupkan kedua tangannya. "Tatap Lia sekali aja, Ayah ...."
Namun, tuan Baron malah pergi tanpa berkata apapun pada Misellia. Hal itu membuat sang putri merasa sesak kembali. Terlebih ketika ia mendapati Alera di sana yang memeluk ayahnya seolah memberi tahu bahwa sang ayah tidak akan pernah kembali padanya lagi.
Misellia pun pergi dengan tatapan kosong. Dia kembali menyusuri jalan yang dilaluinya tadi dan segera naik ke bus yang berhenti di halte.
Saat duduk di kursi penumpang, Misellia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Bersamaan dengan itu, sebuah kartu pun jatuh.
"Ini kartu yang Yohan kasih tadi?" Misellia menggenggam kartu tersebut. "Mungkin aku bisa tinggal di rumah itu untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kemarahan ayah mereda. Tapi kapan?" Misellia menipiskan pandangannya. Kemudian ia menyandarkan kepala pada jendela bus dan menutup mata perlahan.