Misellia terpaku di depan sebuah gerbang yang terlihat besar. Dari dinding yang menjadi pagar di sekitar gerbang itu, bisa Misellia pastikan bahwa rumah yang ada di dalamnya begitu besar dan memiliki halaman yang luas.
"Apa ini rumahnya?" tanya Misellia agak takjub. Dia pun menghampiri satpam yang menjaga.
"Permisi, Pak. Apa benar ini rumah Yohan Ararya Cendric?" tanya Misellia sambil memeriksa alamat yang tertera di kartu yang ia pegang saat ini.
"Benar, Bu." Seperti menyadari sesuatu, pria berseragam serba putih itu keluar dari pos jaganya. "Apakah nama anda Misellia?"
"Iya, itu nama saya. Kenapa, Pak?"
"Kalau begitu anda langsung masuk saja. Tuan Yohan sudah menunggu anda di dalam," jawabnya.
"Benarkah?" Misellia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Mengingat bagaimana sikap pria itu sebelumnya.
Misellia memerhatikan satpam tersebut yang baru saja membuka gerbang untuknya. "Mari masuk."
Misellia pun mengikuti satpam itu dari belakang. Tidak berhenti ia berdecak kagum sembari melewati halaman rumah yang besar itu. Sampai di depan beranda, Misellia menaiki beberapa anak tangga.
"Saya akan kembali ke pos jaga."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Bu."
Sebelum mengetuk pintu, Misellia terlihat menarik napas dalam-dalam. Entah itu untuk apa, dia pun tidak tahu. Padahal sebelum ini pun, ia kira dirinya sudah cukup akrab dengan Yohan karena mereka tidak lama lagi menjadi saudara ipar. Namun ternyata tetap saja canggung. Ditambah lagi dengan masalah yang membuat mereka berada di situasi yang rumit seperti saat ini.
"Sudah kuputuskan. Mulai sekarang, tidak usah jaga sikap di depan pria itu. Ngapain juga aku canggung? Gak penting banget," ucap Misellia yang kemudian mengetuk pintu.
Saat pintu terbuka, Misellia terkejut karena yang membukanya adalah Yohan. Walau sebenarnya ada Afif yang berdiri di belakangnya, namun pria itu ingin membuka pintunya sendiri.
Misellia melambaikan tangan dengan kaku, hendak menyapa Yohan tanpa rasa canggung.
"H-halo. Selamat sia--"
"Ayo kita menikah," kata Yohan datar.
"Apa?" Misellia mengernyit. Lalu menarik-narik telinganya. "Sepertinya telingaku tersumbat?"
Yohan menghela napas, lalu menarik lengan Misellia untuk mendekat. Membuat wanita itu beralih menatapnya. Kini jantung Misellia mendadak berdetak tidak karuan. Jarak Yohan yang begitu dekat, membuat dirinya menahan napas dengan mata yang hampir mencelat.
"I-ini terlalu dekat," cicit Misellia sambil menarik tangannya, namun Yohan tidak membiarkannya.
"Ayo kita menikah, Misellia."
Yohan mengulang kalimat itu dengan nada yang begitu rendah dan membuat Misellia terdiam. Kini ia bertanya-tanya, mengapa pria itu mendadak berlaku demikian?
"Maaf karena semalam aku sudah menyentuhmu tanpa izin. Meski itu kulakukan atas pengaruh obat, tapi tetap saja aku melakukannya. Oleh karena itu, sebaiknya aku bertanggung jawab padamu."
Tatapan Yohan yang tulus membuat Misellia tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu. Kamu minta maaf aja, aku udah senang kok. Kamu juga udah biarin aku tinggal di sini. Aku gak mau nuntut lebih dari ini."
Yohan menaikkan alisnya sebelah. "Sungguh?"
"Iya. Aku baik-baik aja kok." Misellia mengalihkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tanpa sadar ia masuk ke dalam rumah Yohan.
"Setelah aku gajian, aku bakal bayar semua biaya yang kamu keluarin selama aku tinggal di sini dan segera pergi. Aku wanita yang cukup mandiri kok."
"Syukurlah kalau begi--" Yohan meringis karena Afif tiba-tiba mencubit lengannya. Misellia menoleh ke belakang.
"Kamu ngomong sesuatu?" tanya Misellia dengan raut polos.
"Ah, tidak. Yohan cuma batuk tadi," tangkas Afif dengan nada akrab.
"Ooo." Misellia kembali melihat-lihat seisi rumah Yohan dengan intens.
Tidak membiarkan pria itu melanjutkan kalimatnya, Afif menunduk dan berbisik ke telinga Yohan.
"Bego kamu. Wanita kayak dia mana mau ngaku. Gengsinya tinggi. Dia ngomong baik-baik aja, udah pasti itu kebalikannya. Mustahil banget tau," jelas Afif sangat yakin.
"Ah, begitukah?" Yohan sedikit mendekatkan diri pada Afif dan berbisik, "Jadi aku harus gimana? Dia gak mau sama aku. Masa dipaksa?"
"Pikirinkan sendiri," tukas Afif, lantas meninggalkan Yohan di sana. Ingin marah, namun pria yang duduk di kursi roda itu sudah terbiasa dengan sikap kurang ajar Afif. Bahkan terkadang, Yohan mempertanyakan posisi bos di sini sebenarnya siapa?
Pria itu menghela napas sesaat. "Misellia," panggil Yohan.
Misellia menoleh lagi pada Yohan. "Iya. Ada apa?"
"Kamu beneran gak mau nikah sama aku? Seenggaknya kalau kamu ketahuan hamil, gak akan ada yang gosipin kamu hamil di luar nikah." Yohan mengerutkan alisnya, lalu menghela napas pasrah. "Jujur aja, aku merasa sangat bersalah ke kamu."
"Tadi pagi kayaknya enggak tuh," sahut Misellia dan berhasil membuat Yohan tertohok mendengarnya.
"Itu tadi, sekarang beda lagi."
Misellia tidak mengatakan apa pun. Memilih berbalik dan kembali menyibukkan diri sembari melihat-lihat lukisan yang terpajang di dinding. Sayangnya, Yohan adalah pria yang cukup gigih. Kalimat sindiran seperti tadi tidak akan mematahkan keputusannya.
"Aku dengar-dengar, kamu kepala sekolah ya? Aku jadi mikir ...."
Misellia mengernyit. Kalimat elipsis itu membuatnya tidak nyaman. Dengan segera ia menoleh pada Yohan.
"Mikir apa?" tanya Misellia terdengar ketus.
Yohan menatap Misellia, mengerjap sekali dan berkata, "Coba kamu pikirkan bagaimana reaksi siswa beserta guru-guru yang ada di sekolah kamu kalau suatu saat ... tiba-tiba tersebar kabar kalau kepala sekolah mereka hamil dan saat itu, kamu bahkan belum menikah."
Penjelasan Yohan sukses membuat Misellia tersentak. Matanya membulat sempurna, menandakan ia tidak menyangka akan perkataan pria di depannya ini.
"Kok kamu bisa mikir sampai sana sih?" tanya Misellia lagi. Bingung dengan sikap Yohan yang mendadak peduli. Bahkan dirinya saja tidak berpikir sekeras itu dengan kehidupan sendiri. Lalu kenapa pria yang tadinya hanya akan menjadi kakak iparnya ini mau repot-repot berpikir sejauh itu?
"Entahlah. Mungkin aku mulai peduli padamu."
Misellia memutar bola matanya. Yang benar saja? Tidak ada gunanya bagi Yohan peduli padanya.
"Oh?"
Sabar. Sabar. Sabar. Hanya itu yang Yohan tanamkan dalam hati kecilnya saat mendengar respon Misellia yang seolah tidak menghargai usahanya.
"Kamu tau kan negara kita gimana, Lia?" tanya Yohan dengan senyum yang agak dipaksakan.
"Plus enam dua," jawab Misellia acuh tak acuh. Yohan yang tadinya ingin membenarkan mendadak kehilangan senyuman palsunya.
"Gak gitu konsepnya, hei."
"Trus?"
"Mereka bakal gosipin kamu sampai ke tudung akar. Orang tua kamu pasti dibawa-bawa juga tuh," jawab Yohan penuh yakin.
"Aku bakal gugurin."
"Apa?" Yohan tidak habis pikir sekarang. Bisa-bisanya wanita di depannya itu mau bertindak sampai sejauh itu. "Kamu gila banget. Itu darah daging kamu sendiri."
Misellia tersenyum hambar. "Calon istri kamu lebih gila, Yohan."
Yohan menggeleng-geleng. Kini ia lelah membujuk Misellia.
"Udahlah. Aku nyerah, Pip!" teriak Yohan sambil memutar roda kursinya dan beranjak dari hadapan Misellia dengan raut yang kesal.
Setelah Yohan menghilang dari pandangannya, Misellia pun memilih keluar dari rumah itu. Kemudian ia duduk di tangga yang tersedia di beranda rumah.
Misellia melamun cukup lama di sana. Hatinya gundah memikirkan kehidupannya yang sudah hancur. Dalam bungkam ia menyimpan segala sedihnya. Bahkan saat dirinya mencoba menatap pohon-pohon berdaun hijau yang hampir setinggi rumah itu, Misellia tetap saja tidak merasa lebih baik.
"Apa yang harus aku lakuin?" Misellia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Jika boleh jujur, semua yang dikatakan Yohan memang benar. Bahkan berhasil membuat dirinya takut.
"Boleh saya bicara?"
Suara yang datang dari belakangnya itu, membuat Misellia terkejut dan segera menata wajahnya. Rasanya ia cukup berantakan untuk berbincang dengan seseorang.
"Sebelumnya, izinkan saya memperkenalkan diri." Afif yang sudah duduk di sebelah Misellia mengajukan tangan kanannya untuk berkenalan. "Saya Afif Ardianto, asisten pribadi Yohan."
Misellia tersenyum sinis. "Sekarang saya paham kenapa Yohan terdengar kasar saat menelponmu tadi pagi," kata Misellia sedikit menyinggung.
"Saya gak ngerti maksud anda," ucap Afif dan membuat Misellia tertawa kecil.
"Alih-alih nyebut nama Yohan pake tuan, kamu justru langsung nyebut namanya aja. Yah ... kalau saya pikir-pikir lagi, pria itu memang gak cocok dipanggil pake tuan." Misellia tertawa lagi ketika Afif menatapnya seperti baru saja melihat hantu.
"Apa saya salah?"
"Y-ya. Tidak sepenuhnya salah juga." Afif beralih menatap daun-daun yang tengah berjatuhan di dekat gerbang masuk kediaman itu. "Saya kira anda ingin Yohan bertanggung jawab atas perbuatannya."