Goresan 26 ; Dua Kepribadian
----
Arunika menatap tumpukan buku didepannya dengan wajah kesal, ia bahkan harus mencari buku-buku ini kembali dikardus yang gadis itu taruh paling atas lemari.
Buku yang menjelaskan tentang kepribadian, anggaplah Arunika sudah gila karena laki-laki itu sendiri yang membuat Arunika seperti ini.
Gadis itu jadi kepikiran dengan isi hatinya, yang mengatakan jika mungkin saja Sandyakala memiliki dua kepribadian yang pasti akan bertukar disaat ia bersama dengannya, namun mengapa sangat dingin dan sarkas? Apakah kepribadian itu mempunyai dendam tersembunyi pada Arunika.
Gadis itu menggeleng dan mulai kembali membaca, buku-buku yang ada didepannya, hingga ia tidak menyadari jika setelahnya ia malah tertidur diatas buku itu, karena rasa ngantuk yang menyerang membuat gadis itu tidak bisa terjaga kali ini.
Sandyakala berjalan kearah balkon, dan menatap sosok gadis yang tertidur diatas meja belajar, ia bisa melihat bayangan gadis itu dari tirai transparan berwarna putih itu.
Sejenak, ia menghela nafas. Semua memang jadi runyam hanya karena kedatangan Arunika, padahal ia mau hidup lebih tenang di Jakarta, dan tidak mau lagi mendekati apa yang sangat membuatnya tertekan di Bandung dan masa lalu yang tak hentinya masih menghantui sosok Sandyakala.
Langkah kakinya kembali membawa ia masuk kedalam kamar, tapi tanpa ia sadari jika lengkungan tercipta setelah melihat gadis itu sudah tertidur disana. Dan ya, tanpa Sandyakala juga sadari jika Arunika sedang membaca beberapa buku yang membahas tentang dua kepribadian.
°°°
Malam berganti tugasnya dengan pagi, sinar mentari mulai muncul meski jam belum menujuk keangka tujuh tepat.
Gadis dengan kuncir kuda itu, berjalan menuju meja belajar miliknya dan menatap beberapa tumbukan buku yang membahas kepribadian itu, ia mengambil salah satu yang lebih banyak membahas tentang masalah dua kepribadian.
Dan juga menggapai handphone yang ada disampingnya, setelah selesai gadis itu berjalan keluar dari kamar dan menatap keluarganya yang sudah melakukan aktifitas sarapan tanpa menunggu dirinya, helaan nafas terdengar kala pagi-pagi ia sudah harus dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit, kalau ia hanyalah anak yang dituntut dan tidak dianggap dirumah ini, ia akan dianggap jika hanya ada teman kolega Papanya, menjadi manekin hidup, tentu saja.
Langkah kakinya sama sekali tidak membuat dua orangtuanya itu melihat kearahnya, ia hanya melangkah kan kaki terus menuju pintu. Tanpa, menyapa atau ikut bergabung bersama mereka, karena percuma akan ada ceramah lainnya, tuntutan atau bahkan perintah lainnya yang harus ia turuti, sangat mirip dengan manekin hidup.
"Arunika."
Panggilan dari suara berat itu, membuat Arunika menghentikan langkahnya, sejenak ia menghela nafas dan berbalik. Menatap Papanya yang sedang sibuk memakan nasi goreng didepannya tanpa mau melihat kearahnya.
"Nanti malam ada acara bersama teman-teman kolega Papa, kamu harus ikut." Arunika menghela nafas dengan perkataan sang Papa.
See? Dia memang tidak diperbolehkan hidup tenang dengan banyak tuntutan dan beban yang terlalu berat ia pikul hanya demi citra baik bahkan pandangan mata orang lain.
"Iya, Pa."
Arunika berbalik dan melanjutkan langkahnya, namun kembali teriakan dari namanya membuat Arunika berhenti.
"Bibi?" Arunika menatap Bibi yang keluar dari rumah dengan kotak bekal juga jus alpukat kesukaan Arunika.
"Ini Nona Arunika, buat sarapan ya. Jangan lupa dihabiskan." Arunika tersenyum begitu lebar dan mengangguk berlebihan.
"Makasih Bu.." gadis itu memeluk Bibi begitu erat, membuat Bibi tersenyum dan menepuk bahu gadis itu supaya ia lebih tegar lagi menerima apa yang sudah digariskan.
"Arunika berangkat ya, Bi." Gadis itu tersenyum dan menatap Bibi Sumi dengan wajah ceria miliknya, sangat pintar menutupi keadaan.
Bibi menatap punggung Arunika yang mulai hilang ditelan belokan, beliau menghela nafas kala melihat anak majikannya itu yang tidak mendapatkan kasih sayang yang layak dan terlalu ditekankan dengan berbagai hal yang begitu membuat Arunika sakit, bukan sakit fisik saja namun batin.
Langkah Arunika membawa gadis itu terus berjalan keluar Kompleks, semalam setelah menyanyi Abang Pandu pemilik cafe memberikan Arunika gaji pertama menyanyinya, membuat gadis itu sangat antusias dengan apa yang ia terima.
Bang Pandu adalah sosok mantan pacar dari kakaknya Gina, mereka sudah berpacaran lima tahun lamanya, dan ya Bang Pandu belum benar-benar bisa melepaskan kepergian kak Gina.
Arunika terus berjalan dipinggir trotoar, menyusuri trotoar dengan lambang kuning hitam itu dengan langkah pelan, bahkan sesekali ia menatap kearah lainnya dan melihat banyak aktifitas pagi ini yang terjadi.
"Arunika!" Teriakan milik seseorang yang Arunika kenali, masuk kedalam indra pendengaran miliknya.
Ia berbalik dan menatap sosok yang berhenti disebelahnya dengan motor sport merah yang selalu menjadi lambang kembar dua saudara itu.
Iya, Alterio dan Alerio. Namun, kali ini Alerio yang berhentinya disebelahnya dengan wajah menjengkelkan.
"Apa panggil-panggil?" Tanya Arunika sarkas membuat Alerio menggaruk tengkuknya gatal.
"Nggak papa Anjir, cuman manggil. Lagian ya ngapain orang kaya jalan?" Tanya Alerio tidak jelas.
"Kenapa? Emang jalanan ini nggak boleh buat orang kaya?" Tanya Arunika balik, membuat Alerio menggaruk tengkuknya yang tak gatal kala melihat sosok Arunika yang tumben sekali sangat sarkas pada dirinya.
"Kenapa sih? PMS lo ya?" Tanya Alerio membuat gadis itu menggeleng, menandakan ia tidak sedang kedatangan tamu bulanan.
"Gue lagi nggak mau bercanda, Al." Alerio terkekeh pelan dan mengangguk-angguk kepalanya.
"Ayo naik, nanti Abang gue bisa ngamuk kalau gue lihat lo tapi nggak gue ajak bareng." Arunika menarik alisnya bingung dengan perkataan Alerio.
"Kenapa? Kok ngamuk? Kan bukan salah lo gue jalan?" Tanya gadis itu.
"Ya karena..." Alerio menggantung perkataanya, membuat Arunika memincing kan matanya, ingin mendengar perkataan Alerio selanjutnya.
"Karena kalian temenan lah, apalagi?" Arunika memutar bola matanya malas.
"Sumpah nggak jelas banget Al, gue tuh bingung deh sama lo dan Alterio satunya dingin satunya gak jelas."
"Menyempurnakan." Sahut Alerio tidak jelas.
"Udah ayo naik." Arunika menggeleng.
"Gue bisa jalan."
"Ayo naik, gue nggak nerima penolakan." Arunika mengerutkan dahinya merasa ada yang janggal.
"Jangan bilang lo mau bantu gue cuman demi tahu bulat?" Tanya gadis itu, mampu membuat Alerio tertawa dibalik helm full face miliknya.
"Ya kali anjir, nggaklah." Alerio menarik lengan Arunika supaya cepat duduk dijok belakang.
Akhirnya Arunika mulai mengambil helm yang Alerio ulurkan dan gadis itu gunakan, lalu dengan kesusahan ia menaiki jok motor belakang laki-laki itu.
"Kalau susah pegang bahu gue aja." Kata Alerio, yang membuat Arunika mengangguk dan langsung naik keatas motor sport milik Alerio dengan memegang bahu laki-laki itu.
Setelah selesai motor sport merah milik Alerio, berjalan meninggalkan trotoar jalan raya dan mulai melaju dengan kecepatan rata-rata menuju sekolah SMA Semesta.
••••