"Papa ada kerjaan," kata Langit sambil mengiris steak-nya. "Nggak makan di rumah malam ini. Jadi daripada ribet mesen mesen lagi, aku mampir aja makan disini sekalian. Lagian, males juga makan sendirian di rumah. Sepi!"
"Bukannya disini lo juga sendiri?"
"Kan ada mba mba pelayannya. Dan ada pengunjung lain, biarpun nggak kenal... hehe.. dan eh terus ada lo! Kan kenal! Jadi gue nggak sendiri lagi!"
Celoteh Langit yang ringan seakan tanpa beban, ceria dan diucapkan apa adanya itu terasa seperti candu untuk telinga bumi. Rasanya dia nggak akan permah bosan mendengar gadis ini berbicara.
"Nyokap lo emang dimana?" tanya Bumi, sambil meminum es kopinya. "Kerja juga? Pulang malem juga?"
"Jadi lo nggak tau?" tanya Langit. "Papa mama kan cerai. Jadi ya mereka nggak tinggal bareng lagi!"
Bumi tercekat.
"Oya?"
"Udah lama lagi. Sejak gue kecil."
Bumi takjub melihat bagaimana Langit bisa menceritakan topik yang berat ini dengan begitu lancarnya, sambil tetap makan, mengunyah, menambah saus, dan menyerutup minumannya.
Padahal orang tua Bumi juga bercerai. Tapi Bumi selalu merasa sulit ketika harus membahas soal itu. Karena itu biasanya dia memilih menghindar.
"Ortu lo sendiri?"
Sekejap Bumi ragu hendak menjawab. Tapi Langit tadi sudah menjawab pertanyaannya tanpa ragu. Rasanya nggak adil kalo dia menghindar.
"Ortu gue juga pisah."
Mata Langit membulat.
"Waaaah.. Kita sama dong!!!" sahutnya dengan nada seperti anak kecil yang hepi karena tau temannya punya mainan baru yang sama.
Lalu dia ngajak toss.
Dan Bumi merasa bodoh saat dia membalas toss itu dengan muka sama gembiranya dengan gadis itu. Ini pertama kalinya. Pertama kalinya dia membahas masalah perceraian kedua orang tuanya dengan riang gembira seakan sedang membicarakan kenangan tentang liburan di suatu tempat indah. Tapi ini juga pertama kalinya, pembicaraan soal hal yang sensitive ini, tidak membuat hatinya sakit.
"Lo ikut mama atau papa?"
"Mama."
"Jarang ketemu Papa dong? Kangen nggak?"
"Kadang kadang."
"Gue juga," sahut Langit. "Tapi terutama, gue lebih sering kangen sama adik gue."
"Lo punya adik?"
Langit mengangguk.
"Mau liat fotonya?"
Bumi mengangguk, dan Langit kasih liat sebuah foto di hpnya. Tampak di foto itu, Langit berangkulan dengan gadis lain yang sangat mirip dia, tapi versi lebih muda. Keduanya tampak sangat akrab dan gembira.
"Mirip banget sama lo," komentar Bumi.
Langit mengangguk.
"Dan kita juga klik banget tau soal apapun. Makanya, kadang gue mikir. Seandainya Papa dan Mama nggak cerai, mungkin, hidup gue bakal lebih bahagia... karena gue nggak perlu kehilangan adik gue. Dan kita bisa sama sama terus... setiap hari," sekejap wajah Langit berubah sedih, dan saat itu Bumi tau, gadis itu bukannya nggak menyimpan beban di hatinya.
Tapi lalu Langit mengerjap, dan seperti jendela yang ditutup, semua kesedihan di matanya hilang, berganti ceria lagi.
"Tapi namanya masa lalu nggak ada yang bisa ubah kan? Jadi ya gue ikhlasin aja. Sambil bersyukur, karena sekarang, gue masih punya Papa, yang bisa gue sayangi, yang bisa gue temui, bisa gue liat setiap hari."
Bumi jadi malu karena kemarin sudah mengata-ngatai anak ini alay. Langit ternyata sama sekali nggak alay. Bahkan mengingat umurnya, cara pikirnya termasuk dewasa.
Kemudian mereka bicara soal macam macam hal lain dan menit berlalu seperti detik, jam berlalu seperti menit. Dan semakin dalam topik yang mereka bahas, semakin Bumi merasa, mengobrol dengan gadis ini, dia seperti menemukan "someone who just gets you", seseorang yang bisa mengerti dirinya, apa yang dia pikirkan, apa yang dia rasakan, bahkan sebelum dia menjelaskannya.
-----------------------------------------------------------------------------------
Makasih buat semua yang udah baca :)
Jangan lupa baca bab berikutnya yaa...sy usahain update tiap hari.
Jangan lupa juga follow, vote dan tinggalin koment...
Dan buat temen2 yang punya cerita, silakan promosi cerita kalian di kolom komentar dengan masukin : nama penulis, genre, judul, deskripsi, dan link.